Search This Blog

REMEMBERING OUR PRECIOUS DAUGHTER, HARRIETT ELIZABETH TEJALAKSANA (June. 27, 2015)

Benaiah is already with us. He is so precious boy.

Saturday, December 26, 2009

Pelayanan Konseling Bagi Anak-Anak Panti Asuhan


SERI KONSELING ANAK

KONSELING ANAK / REMAJA YANG MENGALAMI
EMOTIONAL DEPRIVATION DARI ORANG TUA

(KONSELING BAGI ANAK-ANAK PANTI ASUHAN)


Oleh : Rudy Tejalaksana, M.K.



PENDAHULUAN
Suatu hari dua orang anak sebuah panti asuhan di Surabaya datang kepada saya untuk konseling. Sebut saja nama mereka Ita dan Siska. Awalnya mereka bercerita mengenai keluh kesah mereka mengenai segala hal yang tidak mengenakkan ketika hidup di panti asuhan. Selang ½ kemudian, dengan berurai air mata, keduanya menceritakan kisah sedih yang merupakan rahasia besar mereka selama ini. Selama ini mereka tidak pernah berani menceritakan hal ini. Tapi hari itu, semua kisah sedih itu tumpah dan penuh keharuan. Ita, seumur hidup tinggal di panti asuhan. Dia tidak pernah mengenal siapa papa dan mamanya. Sambil menangis, Ita berkata dia ingin sekali bertemu dengan orang tuanya. Air mata kesedihan terus mengalir dengan deras, tanpa saya tahu apa yang harus saya lakukan, selain mendengar kisahnya sambil menangis bersamanya. Siska jauh lebih beruntung, karena masih memiliki papa, namun begitu benci kepada mamanya. Siska bercerita ketika kecil, mama pernah ingin membunuhnya beberapa kali. Namun kisah yang penuh kepedihan adalah ketika mama mulai menyiram minyak tanah ke tubuh Siska kecil. Hanya karena pertolongan Tuhan lewat papa Siska yang membuat Siska selamat. Namun trauma itu terus membekas dalam hati Siska yang penuh kebencian. Betapa berat beban yang harus mereka tanggung sejak masa kecil mereka.

Ita dan Siska hanyalah dua dari sekian juta anak Indonesia yang mengalami kepahitan hidup karena ditinggalkan, ditolak, dan terlantar secara emosi di panti-panti asuhan, pada saat mereka membutuhkan orang tua mereka. John McCall, seorang psikolog, dalam tulisannya Research on the Psychological Effects of Orphanage Care – A Critical Review, mengatakan, “All of us agree that growing children need strong, interactive relationships with responsible adults. Besides giving emotional and physical security, such ties help the child grow and learn to cope with an ever-changing world. In most societies, the child's parents are considered the optimal social arrangement for child care and mothers are expected to play the central role”. Ketika anak kehilangan kehadiran orang dewasa, khususnya ibu, ada banyak aspek penting pertumbuhan anak yang akan mengalami gangguan.1 Mereka tumbuh dalam akar pahit yang terus menggerogoti hidup dan perkembangan diri mereka. Beberapa di antara mereka berhasil survive dan bertahan hidup dan mengalami pemulihan gambar diri. Sebagian lagi gagal dan jatuh ke dalam jurang yang sepertinya tidak berujung, bahkan beberapa mengakhiri hidup secara tragis di dalam perasaan ketidakberhargaan diri yang amat dalam. Siapakah yang akan menolong mereka ? Semoga tulisan ini menggugah hati kita dan mulai melakukan sesuatu untuk mereka, anak-anak diterlantarkan ini.2


MEMAHAMI REALITAS EMOTIONAL DEPRIVATION PADA ANAK YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN.
Pada awal abad 20an, panti asuhan dipandang sebagai tempat terbaik anak dari keluarga yang bermasalah, atau bahkan yang tidak memiliki keluarga. Namun beberapa tahun terakhir, pandangan ini mulai berubah. Anak-anak yang tinggal di panti asuhan sejak kecil, seringkali mengalami masalah di dalam perkembangan baik secara sosial, emosi, maupun fisik. Seringkali perkembangan mereka dari satu tahap ke tahap berikutnya mengalami delay oleh karena berbagai faktor yang hadir di sekitar hidup mereka. Peran pengasuh, anggota keluarga di panti, dan keadaan lingkungan di sana seringkali menjadi faktor penentu apakah anak-anak berkembang sesuai tahap normal, atau bahkan mengalami delay dan bahkan penyimpangan.3 John Bowlby, seorang psikoanalis terkenal dari Tavistock Clinic di London, diberi tugas oleh World Health Organization (WHO) untuk meneliti mengenai maternal deprivation dan memberi solusi terhadap permasalahan ini. John Bowlby memberi kesimpulan sebagai berikut, “ I concluded that institutional child care was in a terrible state. In too many cases, the physical care of children was inadequate. Even more serious was the psychological damage which many institutional children suffer despite good physical care. The cause, was disruption of the special mother-child bond needed for healthy psychological development”.4 John Bowlby akhirnya memberi saran untuk mengubah pola pengasuhan dari pola panti asuhan kepada pola pengasuhan keluarga angkat.5 Ketika anak-anak, sejak kecil tidak memiliki sarana untuk mengembangkan pertalian hubungan (bonding relationship) dengan orang-orang terdekatnya, di sinilah sumber masalah yang sangat besar yang berakibat kepada psychological damage yang mempengaruhi hampir seluruh aspek pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.

Rene Spitz, seorang psikiater, pada tahun 1945 juga melakukan penelitian terhadap perkembangan anak-anak panti asuhan dan menemukan adanya regresi secara emosi dan psikologis pada diri anak-anak yang terpisah dari pertalian hubungan dengan orang tua (khususnya ibu) pada masa awal hidupnya.6 Studi pada masa berikutnya bahkan memperkuat hasil penelitian John Bowlby ini. Ford and Kroll, yang menjadi aktifis pendukung adopsi (1995) bahkan menyimpulkan demikian, "Fifty years of research reconfirms the same findings: long-term institutionalization in childhood leads to recurrent problems in interpersonal relationships, a higher rate of personality disorders, and severe parenting difficulties later in life."7 Tapi bukankah di panti asuhan peran orang tua diambil alih oleh para pengasuh ? Beberapa ahli medis mencoba menjawab hal ini dalam beberapa penelitian, yang membuktikan signifikansi kehadiran orang tua (khususnya mama) pada pertumbuhan di usia awal anak dan peran orang tua pengganti (pengasuh) tidak sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan anak-anak.8 Kekuatan ikatan batin dan emosi orang tua dan anak adalah ikatan hubungan natural yang paling kuat dibanding dengan ikatan hubungan lainnya. Fakultas kedokteran Universitas Wisconsin (Madison- Amerika Serikat) mencoba meneliti hal ini.

Menurut para peneliti Universitas Wisconsin, setiap orang memiliki dua macam hormon yang mengatur emosi manusia, yaitu hormon vasopressin dan hormon oxytocin. Dalam penelitian selama beberapa tahun kepada anak-anak ditemukan data sebagai berikut: Anak yang dibesarkan di panti asuhan memiliki level vasopressin dan oxytocin yang lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga yang dibesarkan di dalam keluarga. Demikian pula halnya dengan remaja berusia 18 tahun, yang selama hidupnya tinggal dan dibesarkan di panti asuhan menunjukkan data yang sama.

Universitas Wisconsin membuat percobaan sebagai berikut: Seorang anak diminta duduk di pangkuan orang tuanya dan bermain sebuah permainan interaktif dengan orang tuanya (saling berbisik, berpelukan, bercanda, mengitik-ngitik, dan sebagainya). Ternyata sentuhan fisik ini mengakibatkan meningkatnya oxytocin. Sedang anak yang tinggal di panti asuhan dan melakukan hal yang sama dengan pengasuhnya, tidak menyebabkan timbulnya respon yang sama. Para peneliti menyimpulkan adanya perbedaan mendasar antara kehadiran dan sentuhan orang tua anak dengan sentuhan oleh orang yang bukan orang tua anak itu sendiri. Istilah yang paling mudah diingat adalah ada hubungan emosional – batin antara orang tua dan anak dan hal ini tidak dapat digantikan oleh hubungan lain, dalam bentuk yang paling kuat dan baik sekalipun.9 Para ahli menemukan bahwa kedua hormon ini akan mempengaruhi tingkat hubungan dengan individu lain dalam kehidupan sosial mereka, terutama berkaitan dengan pertumbuhan kesehatan emosional anak.Semakin rendah hormon vasopressin dan oxytocin dalam diri anak, semakin kurang baiklah perkembangan emosi, psikologis, sosial dan fisik seseorang. Anna Freud juga menekankan hal yang sama. Dia berkata, “I believe the absence of a close, continuous relationship with a caring mother, or surrogate, spells doom for the psychological well-being of the infant. This bonding process is assumed to overlay unconscious ego and superego developments, necessary for later psychological health. Such imagery appeals to family-centered professionals who want the authority of scientific theory.10 Dr. Seth Pollack, ketua tim peneliti ini akhirnya menyimpulkan bahwa, “The researchers add that the present data provides a potential explanation for how the nature and quality of children's environments shape the brain-behavioural systems underlying complex human emotions”.11 Bahkan dalam beberapa kasus traumatis akibat kehilangan bond-relationship antara anak dan orang tuanya menimbulkan perubahan regulasi pada biological stress response system pada otak anak, khususnya terjadinya perubahan struktur dan kimiawi otak, yang akan seringkali mengarahkan anak mengalami disfungsi fisik, emosi, tingkah laku, perkembangan dunia sosial-kognitif anak pada masa dewasanya kelak.12

Teori-teori yang dikemukan di atas pun saya temui di dalam pelayanan saya kepada anak-anak panti asuhan tersebut. Banyak di antara mereka tidak pernah bertemu dengan orang tua kandung mereka. Di dalam hati mereka yang terdalam ada luka yang begitu besar karena ketidakhadiran orang tua mereka. Anak-anak itu tetap memiliki pengasuh di panti asuhan, mereka masih dapat tertawa, bertumbuh seperti layaknya anak-anak pada umumnya. Namun sampai pada suatu titik tertentu, kerinduan hati mereka untuk bertemu dan menerima kasih orang tua mereka sepertinya tidak tertahankan lagi. Kerinduan yang ”mungkin” tidak akan pernah terealisasi membuat mereka frustrasi, marah, tertekan, dan mulai mencari pihak yang dapat disalahkan. Dan ironisnya, mereka sering sekali menyalahkan diri mereka sendiri; mereka merasa tidak layak dikasihi, merasa tidak berharga sehingga dibuang oleh orang tua mereka. Emosi yang penuh luka menjadikan mereka justru semakin terluka.

Di dalam pelayanan kepada mereka saya menemukan bahwa kehadiran pengasuh dalam hidup anak-anak panti ini sedikit banyak meredam kebutuhan menggebu-gebu anak-anak ini terhadap kasih orang tua mereka. Namun, ketika anak menginjak usia lebih besar dan masuk ke dunia remaja, mereka benar-benar diperhadapkan pada realita yang menyakitkan – bahwa mereka tidak memiliki orang tua. Kehadiran pengasuh, yang dapat berganti-ganti setiap waktu atau bahkan pengunjung panti asuhan yang datang dan pergi setiap hari, seringkali membuat mereka tidak memiliki kesempatan untuk membangun bond-relationship dengan orang dewasa. Bila demikian, bagaimana mereka bisa mengembangkan kepercayaan pada diri dan orang lain ? Bila fase yang paling dasar dari anak saja tidak berlangsung dengan baik, maka fase-fase perkembangan berikutnya akan ikut terhambat, sehingga anak tidak berkembang sebagaimana mestinya. Menanggapi hal ini, Bowlby dan Freud memiliki pendapat yang sama. Mereka mengatakan, ” Staff turnovers in institutional practice is a serious risk to children, since bonding with a single adult is difficult.13

Ada beberapa fakta gangguan perkembangan yang dikemukan oleh para ahli mengenai anak-anak yang mengalami emotional deprivation ini, khususnya ketika mereka kehilangan bond relationship dengan orang tua pada masa perkembangan awal hidup mereka.

Pertama: Adanya resiko problem medis dan gangguan kesehatan. Keadaan sedih pada bayi dan anak menghambat sekresi hormon kelenjar di bawah otak (pituitary Hormones) sehingga menghambat hormone pertumbuhan juga.14 Anak-anak ini dua kali lebih beresiko untuk mengalami gangguan kesehatan yang serius, misalnya: gangguan kelelahan yang berlebihan, gangguan fungsi tiroid, gangguan fungsi imun, gangguan makan, obesitas, asma, hipertensi, dan sebagainya. Bahkan, anak-anak yang tumbuh tidak dengan kedekatan emosi (bound-relationship) dengan orang tua / pengasuhnya akan terus mencari kebutuhan emosinya itu ketika menginjak usia dewasa. Maka mereka semakin beresiko untuk hamil pada usia muda, gonta-ganti pasangan (penyakit kelamin dan HIV AIDS), yang justru memperparah resijo gangguan kesehatan yang lebih serius kemudian (Coba perhatikan footnote nomer 14).15
 
Kedua: Adanya resiko disfungsi perkembangan: Anak-anak ini seringkali mengalami gangguan pada wilayah perkembangan motorik dan kognitifnya, khususnya kemampuan belajarnya. Kemampuan menaruh perhatiannya yang rendah, kesulitan belajar, dan bahkan (dalam beberapa kasus) terjadi penurunan tingkat IQ anak secara perlahan. Beberapa mengalami kesulitan dalam berbahasa. Beberapa mengalami problem sosial. Namun sebagaian besar mengalami problem emosional, yang bila tidak ditangani akan menuju ke arah gangguan mental dan kepribadian.16 (Untuk data-data selengkapnya, dapat dilihat pada tabel-tabel yang saya sisipkan diakhir dari makalah ini).
 
Ketiga: Adanya resiko gangguan kesehatan mental dan emosi. Data penelitian menunjukkan bahwa 1/3 – ½ anak yang mengalami trauma karena abused dan neglected mengalami beberapa gangguan kesehatan mental, mulai dari mood and anxiety disorder, eating disorder, personality disorder17, bahkan cukup banyak mengarahkan diri kepada kasus bunuh diri sebagai alternatif terakhir untuk pemecahan masalah pribadi. Bahkan pada usia 8 tahun, ada hampir 10 % dari anak-anak yang merasa tertolak dan tidak dipedulikan ini mulai mengembangkan ide untuk bunuh diri.18 Penelitian lanjutan Rene Spitz, dalan longitudinal Study yang membuktikan bahwa kehilangan bonding relationship dengan orang tua (khususnya ibu) memberi efek sindrom of disorder yang disebut oleh Spitz dengan hospitalism.19 Bahkan beberapa penelitian yang ditulis dalam artikel London Guardian menyatakan:


Psychiatric problems were three and a half times more common among institutionalised children, but moving them to stable family environments did not always improve their mental condition. While the study showed children in foster homes had fewer psychiatric problems, with less anxiety and depression than those in orphanages, their behavioural problems, including being aggressive and confrontational, did not subside. The children's response was different depending on gender, with girls more likely to have emotional problems and boys more prone to behavioural disorders.20


Keempat: Adanya resiko gangguan perilaku ketika anak menginjak usia dewasa (Revictimization). Anak-anak yang tumbuh dalam situasi dimana mereka tidak mendapatkan bond relationship dari orang tua natural, anak mengalami banyak kesulitan dan gangguan perilaku, khususnya dalam usaha mereka menemukan sesuatu yang hilang, kosong, dan sudah begitu lama dirindukan. Beberapa anak tumbuh menjadi orang dewasa yang haus akan keintiman dan berusaha mencarinya di tempat-tempat yang menyediakan keintiman instant. Sebagian lagi tumbuh menjadi anak yang kering, yang mengalami kesulitan dalam hal keintiman, menjauhkan diri dari keintiman, dan hidup di dalam gua kesendirian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang lack of bonding relationship karena maltreatment atau abuse beresiko dua kali lebih besar untuk melakukan sexual assults, domestic violence, dan bahkan empat kali lebih berisiko untuk menyakiti dan merusak dirinya sendiri, dibandingkan dengan anak-anak yang mengalami bond relationship dengan orang tua mereka.21 Dan bahkan anak-anak ini tumbuh tanpa memahami bagaimana memiliki bond-relationship dengan orang lain. Dapatkah kita membayangkan, ketika anak-anak ini masuk di dalam pernikahan, dimana dua pribadi saling berbagi dalam segala hal, termasuk di dalamnya keintiman. Apa yang terjadi dengan mereka ? Hampir dapat dipastikan bahwa anak-anak korban family maltreatment ini kelak akan mengalami disfungsi dalam perkembangan hubungan pernikahan, bila mereka tidak segera ditolong.


EFEK PSIKOLOGIS EMOTIONAL DEPRIVATED CHILDREN
Anak-anak panti asuhan adalah anak-anak yang mengalami penelantaran (neglected) oleh orang tua mereka, baik secara fisik, kesehatan, sosial, dan secara khusus emosi. Anak-anak ini tumbuh dengan beberapa efek besar22, yang sangat mempengaruhi hidup mereka. Pertama: Perasaan bersalah (guilt). Anak-anak ini adalah anak-anak yang menjadi korban dan tidak dapat disalahkan untuk kondisi yang mereka alami. Namun anak-anak ini seringkali menyalahkan diri mereka untuk kondisi yang mereka alami. Seringkali mereka mengembangkan false thought, yaitu merasa diri tidak berharga, tidak pantas dikasihi, dan tumbuh dalam perasaan bersalah, bahwa karena merekalah maka orang tua mereka tidak menginginkan mereka dan meninggalkan mereka di panti asuhan.  
Kedua: Kesulitan untuk mempercayai orang lain (mistrust). Menurut Teori perkembangan psikososial Eric Ericsson, anak-anak mengembangkan trust kepada orang lain, khususnya lewat bond-relationship dengan ibu pada masa awal kehidupan (1-2 tahun). Apa yang terjadi dengan anak-anak panti, yang harus berbagi perhatian dari pengasuh di panti asuhan, yang harus memperhatikan banyak anak sekaligus ? Kebutuhan anak-anak akan exclusive relationship tidak diperoleh secara cukup. Akibatnya adalah anak-anak mengembangkan mistrust baik kepada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosialnya. Josh McDowell mengatakan, ”Such a young person is often presented with a cruel dilemma: He/she is starved for affection, for unable to trust such expressions, no matter who initiates them nor how fervent they may be. The young (children) will, without intervention, remain skeptical of others’ intentions and doubtful of his or her own self-worth”.23  
Ketiga: Perilaku agresi (aggression) atau menarik diri (withdrawal). Anak-anak yang ditolak ini seringkali memunculkan sikap agresif, khususnya dalam mengisi sesuatu yang kosong dalam diri mereka. Kebutuhan akan kasih sayang, perlindungan, perasaan diterima dan dikasihi seringkali mendesak mereka untuk dipenuhi. Anak-anak yang tertolak ini seringkali mengekspresikan agresifitas mereka sebagai jalan keluar untuk setiap masalah yang mereka hadapi, entah itu agresif melawan dan menyerang, atau secara agresif menarik diri, dan bersembunyi di balik tindakan agresif dan violence mereka.24  
Keempat: Anak-anak ini cenderung mengalami kesulitan dalam hubungan sosial mereka. Kebutuhan untuk dipenuhi, dikasihi, diterima, membuat mereka cenderung menuntut, terlibat konflik, dan sedikit sekali kesempatan untuk memberi. Bukankah dalam praktek hidup sosial, unsur take-give adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Keadaan ini membuat anak-anak yang ditolak ini mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain.


KECENDERUNGAN DEPRESI PADA ANAK-ANAK YANG MENGALAMI EMOTIONAL DEPRIVATION DARI ORANG TUA
Anak-anak yang mengalami emotional deprivation khususnya dalam masa kecil mereka seringkali menimbulkan resiko tinggi hidup dalam keadaan depresif dikemudian hari. Anak-anak yang mengalami emotional deprivation seringkali mengalami kesedihan yang mendalam akibat kehilangan obyek yang dikasih pada masa kanak-kanak dan kurangnya mendapat kasih sayang di panti asuhan karena harus berbagi kasih pengasuh dengan sekian banyak anak. Karena usianya yang masih dini, seorang anak tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah emosional ini sendirian. Hal ini membuat anak tidak mampu berbuat apa-apa dan seringkali jatuh dalam perasaan depresi yang dalam (meski dalam bentuk yang berbeda dari depresi orang dewasa). Keadaan kehilangan di masa kecil ini sering mengakibatkan kemarahan yang besar terhadap objek yang meninggalkan, namun lebih sering kemarahan itu diarahkan kepada dirinya sendiri.25 Kemarahan ini seringkali merupakan kemarahan yang tersembunyi, sebab anak-anak tidak mengerti bagaimana cara menyalurkan kemarahan ini. Dapatkah kita bayangkan apa yang terjadi dengan anak yang memendam kemarahan, ketakutan dan kecemasan itu di dalam dirinya ? Seperti pada bahasan sebelumnya, anak-anak seringkali menunjukkan rasa kehilangan, ketakutan, dan kemarahan itu dalam bentuk tindakan-tindakan negatif, yang bahkan tidak disadarinya. Hal ini tentu saja memperburuk keadaan anak-anak ini, dan akhirnya anak semakin jatuh ke dalam jurang depresi yang berat. Anak-anak memerlukan orang lain untuk mengangkat mereka dari keadaan yang berat ini. Anak-anak yang mengalami emotional deprivation cenderung mengalami depresi dalam pengalaman-pengalaman hidup selanjutnya.


APA KATA ALKITAB ?
Alkitab memberi beberapa prinsip utama mengenai anak-anak dan kebutuhan mereka akan kehadiran orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam rencana kekal Allah pun, kehadiran orang tua dalam hidup anak memberi dampak yang sangat besar. Beberapa ayat tersebut adalah:
Pertama: Sons are the heritage from the Lord, Children a reward from HIM (Psalm 127:3). Anak-anak adalah milik pusaka Tuhan. Milik pusaka berarti milik yang sangat berharga dan benar-benar dijaga dan dilindungi keberadaannya. Tuhan hanyalah meminjamkan anak-anak itu kepada orang tua. Bila orang tua, yang dipinjami oleh Tuhan tidak menjaga anak sesuai dengan harapan-Nya, ada konsekuensi besar yang akan dihadapi. Kisah orang tua Israel yang mempersembahkan anak kepada dewa Molokh sebagai persembahan adalah tindakan yang mendapat murka Tuhan (Imamat 20:1-5). Tindakan mempersembahkan anak kepada molokh adalah tindakan yang bukan hanya melakukan apa yang tidak disukai Tuhan, namun juga menentang Tuhan. Alkitab memberi gambaran konsekuensi berat pada saat seseorang yang dengan sengaja mencelakakan dan membahayakan anak-anak yaitu, ”It would be better for you if a millstone were hung around your neck and you were thrown into the sea than for you to cause one of these little ones to stumble (Luk 17:2). Tuhan mengasihi anak-anak (Mark 10:16) dan tidak ada seorangpun, siapapun juga, yang boleh merusak hidup buah hati dan milik pusaka-Nya itu.
Kedua: Train a child in the way that he should go, and when he is old he will not turn from it (Prov 22:6). Tuhan mengutus orang tua untuk menjadi tangan Allah bagi anak-anak mereka. Prinsip ini sangat jelas memberi penekanan kepada kewajiban orang tua untuk melakukan kehendak Tuhan bagi anak-anak mereka, yaitu dengan mengajar mereka jalan yang Tuhan inginkan. Ulangan 6:1-9 benar-benar memberi gambaran kedekatan dan keintiman fisik, emosi, sosial, dan spiritual antara orang tua dan anak pada waktu keluarga mempelajari jalan-jalan Tuhan. Bonding-relationship ini memberi gambaran betapa besar kehadiran orang tua dalam hidup anak-anak, khususnya dalam realitas hidup ketika anak-anak belajar mengenai Allah dari orang tua mereka. Kehilangan bond-relationship orang tua-anak akan menimbulkan luka, kepahitan dan kepedihan, yang akan mengakibatkan anak kehilangan / mengalami distorsi gambar dan konsep tentang Allah dalam diri mereka, karena mereka tidak memiliki gambar ayah-ibu dunia yang benar.
Ketiga: Can a mother forget the baby at her breast and have no compassion on the child she has born ? God will not forget you (Isa 49:15a). Ayat ini ingin memberi penekanan penting bahwa seorang ibu (orang tua) secara naluriah alami tidak akan pernah meninggalkan anak-anak buah hati mereka. Namun, bila hal itu terjadi pun, Allah akan menjadi ayah dan ibu yang dibutuhkan oleh anak-anak tersebut, yang tidak akan pernah meninggalkan anak-anak itu. Bukankah begitu banyak anak yang terluka, teraniaya, ditinggalkan sendiri, dan terlupakan oleh orang tuanya sendiri ? Allah yang baik, selalu menjadi ayah bagi semua mereka yang tidak memiliki ayah. God is the Father of the fatherless. Tuhan tahu bahwa anak-anak yang ditinggalkan ini akan mengalami kepahitan, trauma, luka, kepedihan, dan penyimpangan dalam perkembangannya. Oleh sebab itu, Allah memanggil banyak orang menjawab panggilan-Nya, menjadi ayah dan ibu bagi mereka yang tidak berbapak dan beribu. Saya sendiri mengerti dengan jelas panggilan Allah ini dalam diri saya, Fathering the fatherless. Panggilan ini merupakan panggilan membalut luka dan memulihkan rancangan agung Allah bagi anak-anak yang dikasihi Allah ini.


PELAYANAN KEPADA EMOTIONAL DEPRIVATED CHILDREN DI PANTI-PANTI ASUHAN
Setidaknya ada tiga intevensi yang dapat dilakukan oleh para konselor untuk menolong dan meminimalkan efek negatif perkembangan anak-anak yang tinggal di panti asuhan.
Pertama: Tindakan preventif, yaitu tindakan untuk mencegah timbulnya anak-anak yang mengalami penelantaran (neglect) oleh orang tua; (1) Sex Reformation Campagn.Kampanye hidup seks yang benar dan sehat (untuk mencegah kehamilan di luar pernikahan dan aborsi). (2) Adoption Campagn. kampanye kebutuhan rumah-rumah penampungan dalam keluarga-keluarga Kristen. Panti asuhan bukan lagi solusi terbaik untuk anak yang homeless atau parentless. Adopsi (oleh keluarga Kristen yang sehat) adalah solusi terbaik. Elisabeth Hurlock mengatakan bahwa adopsi dapat menjadi pencegah kerusakan akibat keterlantaran emosi. Kehadiran orang tua baru yang mengasihi anak akan memberi pengaruh signifikan terhadap perkembangan anak.26(3) Social Awareness Campagn, bahwa hal ini merupakan tanggung jawab bersama untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih sehat di kemudian hari.
Kedua: Tindakan Preventif 2, yaitu tindakan untuk mengurangi dampak negatif dalam kehidupan anak di panti asuhan. Yang dapat dilakukan adalah: (1) Menemukan tempat-tempat (panti asuhan) yang high risk terhadap masalah perkembangan anak, serta menolong pembina dan pengasuh – dengan memberi gambaran pengaruh keadaan high risk tersebut dengan perkembangan anak dikemudian hari. Reedukasi adalah faktor penting keberhasilan pendekatan ini. (2) Menyadarkan pentingnya peran pengasuh dan pendidik di panti asuhan, baik dari segi kualitas (mencukupkan kebutuhan utama dan mendasar anak secara holistik-menyeluruh), maupun dari segi kuantitas (cukupnya ketersediaan pengasuh untuk jumlah anak tertentu. Rasio 1:5 adalah rasio yang cukup rasional, meski ada kemungkinan masalah timbul. (3) Mengingatkan pengasuh bahwa mereka tidaklah dapat menggantikan peran orang tua natural / biologis anak, yang memiliki ikatan batin yang kuat. Namun para pengasuh memiliki peran pengganti yang sangat krusial, untuk menghadirkan kasih sayang, kepeduliaan, dan kehangatan orang tua. Mungkin hal ini tidak akan mengisi seluruh slot kebutuhan batiniah anak, namun menjadi trigger untuk menumbuhkan harapan dan semangat hidup dalam perkembangan yang lebih sehat.
Ketiga: Tindakan Kuratif, yaitu tindakan untuk mengobati anak-anak yang sudah terlanjur tumbuh dan berkembang dalam pengaruh negatif neglecting parents di panti-panti asuhan. Dalam hal ini, pendekatan konseling pribadi dan terapi kelompok adalah dua hal utama untuk menolong anak-anak ini kembali bertumbuh dalam jalur yang jauh lebih baik dan lebih sehat dari sebelumnya.
Mazmur 139:14 memberi kekuatan dan harapan untuk pembaharuan dan pemulihan, ” I will praise Thee; for I am fearfully and wonderfully made: Marvelous are Thy works: And that my soul knoweth right well “ (NKJV). Tuhan membentuk anak-anak ini dengan begitu mempesona. Dosa menghancurkan dan merusak ciptaan indah itu. Namun Kristus datang untuk memulihkan anak-anak, memungut keping-keping yang berserakan, membalutnya dengan kasih sayang dan memulihkan keindahan anak-anak itu kembali. Oleh sebab itu, sebagai konselor Kristen, kita perlu menyadari bahwa kita hanyalah alat-Nya, dan sumber pemulihan ada di dalam tangan-Nya. Oleh sebab itu, jadilah alat yang siap dipakai oleh-Nya.

LANGKAH-LANGKAH KONSELING
Pertama: Bangun hubungan yang mendalam dengan anak / remaja yang menjadi konseli kita. Seringkali proses membangun hubungan memerlukan waktu yang cukup panjang dan memerlukan kesabaran dari konselor. Hal ini disebabkan karena anak-anak ini sedang terluka, hidup dalam fakta-fakta negatif yang dibangunnya selama ini, tidak mudah mempercayai orang lain, ketidakstabilan emosi, ada banyak kemarahan terhadap orang dewasa dan diri sendiri karena pengaruh agresi dalam diri, dan sebagainya. Oleh sebab itu, proses membangun hubungan (joining) seringkali dipandang sebagai faktor penentu keberhasilan sebuah konseling terhadap anak-anak terluka ini. Ketrampilan pertama yang diperlukan adalah mendengar secara aktif (active listening). Dengan mendengar dengan baik, konseli akan merasa diperhatikan, merasa penting, dan diperhatikan. Hal ini menolong dia untuk mengembangkan kepercayaannya kepada konselor. H. Norman Wright mengatakan bahwa pada tahap permulaan dalam konseling, teknik menopang harus dipakai. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kegelisahan, rasa bersalah, ketegangan dan kemarahan, serta untuk memberi dukungan emosi, dorongan semangat untuk kekuatiran.27 Informasi verbal dan non-verbal dalam pertemuan-pertemuan awal sangatlah berharga untuk proses konseling selanjutnya. Yang perlu diperhatikan oleh konselor dalam mendengar adalah mengumpulkan informasi yang benar dari konseli, bukan dari tafsiran / kemungkinan pribadi. Oleh sebab itu, beri feedback untuk info yang diterima, pertajam informasi dengan bertanya secara lembut dan penuh perhatian, bukan mencecar dengan pertanyaan selidik yang membuat konseli merasa tidak nyaman. Bersabarlah, proses ini memerlukan waktu!28
 
Kedua: Ketika hubungan sudah terbangun dengan baik, anak sedikit demi sedikit mulai membuka diri, bahkan mulai masuk ke wilayah diri yang lebih dalam. Sikap yang dibutuhkan adalah sikap empathy dan understanding, yang memberi keyakinan bahwa konselor ada di sana untuk mendampingi, memahami, dan mengasihi konseli. Josh McDowell berkata, ” Hurting people don’t need instruction as much as they need someone to cry with, someone who will love them and hurt with them. Preaching doesn’t cas out fear; love casts out fear (I John 4:18). Instruction doesn’t assuage pain; comfort does (2 Cor 1:1-7).29 Mungkin ada banyak kemarahan, tangisan, dan penyaluran katarsis pada fase ini. Anak ditolong untuk mengungkapkan perasaan / emosi mereka akibat penelantaran secara emosi yang mereka terima bertahun-tahun sebelumnya, karena dasar dari segala pola emosi terletak di awal kehidupan (di masa kecil) yaitu berupa semua pengalaman penelantaran emosi yang dilakukan oleh orang tua.30 Anak mengungkapkan rasa frustasinya, ketidakadilan yang diterima, penolakan dan perasaan tidak berharga yang dialaminya karena penelantaran ini. Pada fase ini, kemungkinan besar konseli akan masuk ke dalam jurang perasaannya dan hal ini akan sangat melelahkan, memberi efek shock, namun berada dalam track yang benar. Tetaplah menjadi pendengar yang baik.
 
Ketiga: Konselor memberi affirmasi (penegasan) mengenai apa yang dia rasakan, perhatikan, dan pelajari dari semua info yang diterima sejak pertemuan pertama dan memberi penegasan bahwa apa yang konseli rasakan dan alami sangatlah berat dan ekspresi yang diungkapkan konseli adalah ekspresi yang mungkin akan dilakukan oleh orang lain yang mengalami hal yang sama. Pada fase ini, konselor mulai menolong anak menemukan sesuatu yang positif, kualitas dan kemampuan konseli. Hal ini perlu dilakukan untuk membangun self-esteem dan self confidence setelah melewati lembah emosi yang terdalam pada fase sebelumnya. Inilah yang disebut fase naik. Pada fase ini, konseli mulai memperkenalkan kasih Allah yang tidak bersyarat, yang menjadi kasih yang membalut luka dan mengisi kebutuhan akibat penelantaran oleh orang tua di masa lalunya. Konselor perlu selalu mengingat bahwa Allah adalah inti dan pemenuh kebutuhan yang sejati dari anak, dan konselor hanyalah menjadi alat / saluran dan kepanjangan tangan Allah bagi anak-anak ini. Ingat: Anak akan belajar mengenai kasih Allah yang tidak bersyarat dari kasih tak bersyarat yang kita tunjukkan kepada mereka.
 
Keempat: Konselor menolong konseli untuk memisahkan ketakutan dan perasaan kehilangannya, yaitu antara kehilangan yang konkrit dengan yang Abstrak, dan antara kehilangan yang dibayangkan saja atau kehilangan yang mengancam.31 Kehilangan yang konkrit lebih mudah dilepaskan daripada kehilangan yang abstrak. Kehilangan abstrak lebih sulit dipahami sehingga memerluka waktu untuk melepaskannya. Namun perlu selalu diingat bahwa kehilangan konkrit juga memiliki kehilangan abstrak yang mengiringinya. Oleh sebab itu, diperlukan kesabaran dan waktu bagi konselor untuk membimbing konseli menemukan dan melepaskan kehilangan itu pada waktunya. Perlu diingat bahwa, kita hanya dapat berduka untuk kehilangan yang konkrit dan nyata. Bila dalam kehilangan ada komponen bayangan, maka konselor perlu menolong konseli untuk mengubah kehilangan bayangan itu menjadi kehilangan yang nyata. Namun bila tidak dapat, tolong klien untuk mengabaikannya saja. Namun tindakan ini haruslah lewat penilaian yang cermat dan mendalam terlebih dahulu.32
 
Kelima: Konselor perlu memfasilitasi proses berduka yang benar dan sehat, karena hal ini akan menimbulkan efek terapeutik yang sangat kuat untuk memperoleh pemulihan. Namun untuk kasus anak-anak yang ditinggalkan di panti asuhan, problem emosi yang mereka alami jauh lebih sulit dan kompleks, karena hampir sebagian besar di antara mereka tidak pernah memiliki gambaran mengenai keberadaan orang tua. Hal ini menimbulkan kepedihan yang benar-benar mendalam, yang bahkan sulit dimengerti oleh konselor. Oleh sebab itu, memfasilitasi proses inner healing33 lewat campur tangan langsung kuasa Ilahi seringkali menjadi satu-satu cara untuk benar-benar memulihkan hati yang hancur ini. Konselor perlu benar-benar menempatkan diri di dalam kepekaan terhadap suara Tuhan untuk masuk dalam proses bimbingan inner healing ini dan mengijinkan Tuhan berkarya di dalam diri konseli.
 
Keenam: Menolong Konseli untuk mengubah Unhelpful thought menjadi helpful thought, yaitu bahwa keadaanya pada masa lalu bukanlah kesalahannya, tapi sesuatu yang tidak mampu dihindarinya. Selain itu memberi kesadaran bahwa berkubang terus dalam keputusasaan masa lalu tidak memberi efek positif. Anak ditolong untuk menyadari bahwa harus ada keputusan perubahan yang perlu diambil untuk mengubah hidupnya sendiri. Konselor mendampingi anak menemukan dan menghadapi realita hidup yang tidak dapat diubah lagi (misalnya anak mungkin tidak akan dapat bertemu dengan orang tua kandungnya selamanya, namun banyak orang yang memberinya kasih, lebih dari yang orang tua kandungnya dapat lakukan). Hal ini akan menolong anak untuk bangkit dan menemukan harapan hidupnya kembali.

Ketujuh: Dalam fase ini, konselor memberi direksi (Arahan) terhadap tindakan yang perlu dilakukan.34 Dalam fase ini, anak ditolong untuk menguasai skill yang baru mengenai caranya mengatasi ledakan emosi, kemarahan, problem solving dan sebagainya. Untuk anak yang mengalami kesulitan secara akademis karena problem emosi ini, konselor perlu memberi jalan keluar, yaitu dengan mengadakan kerjasama antara konselor, guru, dan pihak panti asuhan. Hal ini akan sangat menolong anak secara menyeluruh dan tuntas.
 
Kedelapan: Konselor perlu melakukan follow up terhadap apa yang sudah dicapai saat itu. Anak-anak di panti asuhan perlu masuk ke dalam terapi kelompok, untuk menolong mereka menemukan kebenaran indah dari hidup mereka; mereka sama-sama pernah terluka dan dilukai. Hal ini membawa mereka kepada perasaan senasib dan menumbuhkan harapan yang besar untuk bangkit bersama dengan cara saling menolong, membalut luka, dan menopang ketika ada yang jatuh. Inilah support group – peer yang sangat dibutuhkan anak-anak ini. Di atas semua itu, anak-anak ini menemukan bahwa hidup mereka benar-benar berharga, bukan karena apa yang orang lain perbuat atas hidup mereka, namun karena Tuhan mengasihi mereka, memulihkan hidup mereka, dan bahkan akan memakai mereka suatu hari untuk pekerjaan-Nya yang mulia di dunia yang gelap ini.


PENUTUP
Pelayanan kepada anak-anak panti asuhan yang mengalami emotional Deprivation bukanlah pelayanan yang mudah, sebab anak-anak ini benar-benar rapuh dan haus akan kasih sayang, penerimaan, dan kasih. Tuhan memerlukan orang yang memberi hati bagi-Nya untuk dapat dipakai dalam pelayanan ini. Pelayanan yang bukan hanya menolong anak untuk dipulihkan secara psikologis, emosi, sosial, intelektual, namun juga menolong mereka bertemu dengan Tuhan Yesus secara pribadi. Siapakah yang akan mengulurkan tangan untuk menolong anak-anak yang terluka, terlantar dan kesepian ini. Andakah orang itu ? (Only by HIS GRACE – rudytejalaksana@yahoo.com)


DAFTAR PUSTAKA


BUKU ACUAN


Dumas, Jean E. & Nilsen, Wendy J. Abnormal Child and Adolescent Psychology. Boston: Allyn & Bacon, 2003.


Hurlock, Elisabeth B. Perkembangan Anak – Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997.


McDowell, Josh & Hostetler,Bob Josh McDowell’s Handbook on Counseling Youth. Dallas:Word Publishing, 1996.


Narramore, Clyde M. Encyclopedia of Pyschological Problems. Michigan: Zondervan Publishing House, 1969.


Olson, Keith. Counseling Teenagers. Loveland: Group Books, 1984.


Santrock, John W. Life – Span Development (Perkembangan Masa Hidup) Jilid 1. Jakarta: Erlangga, 2002


Wright,H. Norman. Konseling Krisis. Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1996.




INTERNET
Child Health News. “Early neglect has a physical as well as psychological effect” (Published: Tuesday, 22-Nov-2005). http://www.news-medical.net/?id=14620.


Glennen, Sharon Orphanage Care and Language,” http://pages.towson.edu/sglennen/OrphanageCareandLanguage.htm.


Groza, Victor. Adverse Impacts on Children Living in Orphanage Institutions”, http://www.adoptvietnam.org/ adoption/health-institutional-impacts.htm.


Hagele,Dana M. “The Impact of Maltreatment on the Developing Child”, NC Med Journal September/October 2005, Volume 66, Number 5.


London Guardian. “ Depriving children of loving environment damages intelligence,” (Published February, 18. 2006. http://www.prisonplanet.com/articles/february2006/180206environment.htm.


McCall, John. Research on the Psychological Effects of Orphanage Care: A Critical Review
http://www.merage.uci.edu /~mckenzie / rethink/mck97-ch8.htm.


LAIN-LAIN
Mamahit, Aileen. Diktat Kuliah Psikologi Pembimbingan 2 (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2008)


END NOTES:


1 John McCall, Research on the Psychological Effects of Orphanage Care: A Critical Review
http://www.merage.uci.edu /~mckenzie / rethink/mck97-ch8.htm
2 Elisabeth B. Hurlock menggunakan istilah emotional Deprivation untuk anak-anak yang diterlantarkan orang tua mereka di panti-panti asuhan. Hurlock mengatakan bahwa anak-anak ini mengalami peniadaan pengalaman emosional yang menyenangkan dan sebaliknya dipaksa masuk ke dalam pengalaman emosional yang tidak menyenangkan; kemarahan, ketakutan, iri hati dan kecemburuan. Kekurangan pengalaman emosional yang menyenangkan inilah yang membuat anak disebut sebagai korban emotional Deprivation. Dampak negatif akan sangat besar untuk perkembangan hidup anak-anak ini selanjutnya. Elisabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak – Jilid 1 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997) 234-238


3 Victor Groza, “Adverse Impacts on Children Living in Orphanage Institutions”, http://www.adoptvietnam.org/ adoption/health-institutional-impacts.htm


4 John McCall, Research on the Psychological Effects of Orphanage Care: A Critical Review


5 Saya membayangkan bila semua orang Kristen membuka rumahnya dan menampung satu anak saja di tiap keluarga, maka tidak perlu ada panti asuhan di seluruh dunia. Bila ada 2 Milyar orang Kristen di seluruh dunia, dan ada 700 juta keluarga Kristen, itu artinya ada 700 juta anak yang akan memperoleh kasih sayang di dalam keluarga yang sebenarnya. Seandainya…


6 John McCall, Research on the Psychological Effects of orphanage Care. Rene Spitz menemukan bahwa anak-anak ini mengalami banyak kesulitan dalam mengembangkan kemampuan berbicara, intelektual, kepribadian, dan perkembangan sosial yang terhambat karena kehilangan sosok ibu dalam masa awal pertumbuhannya.


7 Ibid.


8 Elisabeth B. Hurlock menyatakan bahwa usia kritis penelantaran emosi berkisar antara 6 bulan – 5 tahun. Penelantaran setelah usia 5 tahun berdampak lebih ringan karena anak sudah dapat menemukan pemuasan pengganti. Sebelum saat itu, pemuasan pengganti mempunyai pengaruh yang sangat kecil karena kelekatan emosional yang menetap belum pernah dibina (Hurlock, 238)


9.Child Health News, “Early neglect has a physical as well as psychological effect” (Published: Tuesday, 22-Nov-2005), http://www.news-medical.net/?id=14620) .. John McCall, “Research on the Psychological Effects of Orphanage Care: A Critical Reviewhttp://www.merage.uci.edu /~mckenzie / rethink/mck97-ch8.htm
10 John McCall, “Research on the Psychological Effects of Orphanage Care: A Critical Review”http://www.merage.uci.edu /~mckenzie / rethink/mck97-ch8.htm


11 Ibid.


12 Dana M. Hagele, “The Impact of Maltreatment on the Developing Child”, NC Med Journal September/October 2005, Volume 66, Number 5, 1.


13 John McCall, Research on the Psychological Effects of Orphanage Care: A Critical Review
14 Elisabeth Hurlock 236


15 Dana M. Hagele, The Impact of Maltreatment on the Developing Child, 357.


16 Sharon Glennen, “ Orphanage Care and Language,” http://pages.towson.edu/sglennen/OrphanageCareandLanguage.htm (Lihat Elisabeth B. Hurlock halaman 236-237)


17 Jean E. Dumas & Wendy J. Nilsen, Abnormal Child and Adolescent Psychology (Boston: Allyn & Bacon, 2003) 335


18 Dana M. Hagele, “The Impact of Maltreatment on the Developing Child”, NC Med Journal September/October 2005, Volume 66, Number 5, 357


19 Rene Spitz meneliti akibat dari hubungan maternal Deprivation dengan kecenderungan penyimpangan dalam perkembangan. Dia memulai penelitian terhadap ibu-ibu yang baru melahirkan anak dan merawat anak-anak itu sendiri dalam beberapa minggu / bulan dan kemudian memberikan anak mereka untuk dijaga / pelihara oleh orang lain. Dengan menggunakan Hetzer – Wolf Baby Test untuk meneliti perkembangan fisik dan sosial bayi-bayi itu dan membandingkan perbedaan data ketika ibu menjaga bayi itu atau ketika orang lain yang melakukannya. Spitz mencatatnya dalam Developmental Quotients (DQ) dan hasilnya adalah anak-anak yang dipisahkan dari ibu mereka lebih dari enam bulan akan mengalami symptom of disorder, yang disebut hospitalism. Hal ini dapat dilihat dari ciri tangisan anak, tatapan mata anak, dan beberapa tanda yang menunjukkan adanya depresi dan DQ yang menunjukkan penurunan yang drastis. Bahkan 30 % dari bayi-bayi yang diteliti itu mati dalam usia kurang dari 1 tahun. Memang ada banyak kelemahan dari penelitian Spitz ini. Namun setidaknya penelitian Spitz ini sedikit banyak menunjukkan urgensi kehadiran orang tua (khususnya ibu) dalam tahun-tahun awal perkembangan anak. J. Ribble, seorang psikiatri, juga menekankan mengenal urgensi ini. Dia berkata, ” Emotional bonding during the first weeks of life is absolutely essential if underlying brain cell connections are to be completed, along with other physiological developments. Failures to bond interrupt these changes and causes serious physical damage”. (John McCall, Research on the Psychological Effects of orphanage Care).
20Depriving children of loving environment damages intelligence,” London Guardian- Ian Sample, February 18 2006, http://www.prisonplanet.com/articles/february2006/180206environment.htm (Baca Hurlock hal. 237)


21 Dana M. Hagele, “The Impact of Maltreatment on the Developing Child”, NC Med Journal September/October 2005, Volume 66, Number 5, p. 2
22 Disarikan dari beberapa sumber, khususnya dari buku Josh McDowell’s Handbook on Counseling Youth oleh Josh McDowell dan Bob Hostetler, terbitan Word Publishing, Dallas (1996), halaman 360 – 362


23 Josh McDowell & Bob Hostetler, Josh McDowell’s Handbook on Counseling Youth (Dallas:Word Publishing, 1996) 361


24 Pengalaman melayani di panti asuhan selama 3 tahun terakhir membuat saya mengambil kesimpulan ini. Anak-anak yang jauh lebih kecil secara agresif mendekati setiap orang yang datang ke panti asuhan dan meminta kasih dan perlindungan dari mereka. Anak-anak yang lebih besar cenderung bertindak lebih dewasa dalam usaha mendapatkan perhatian. Mereka sering terlihat begitu ramah agar diterima, namun rawan sekali merasa ditolak dan seringkali menolak orang lain sebelum dirinya ditolak. Hal ini membuat orang-orang yang melayani anak-anak ini perlu sabar, telaten, dan menyediakan diri untuk mengisi kebutuhan mereka yang hilang, akibat penolakan dan pembiaran (neglected) yang dilakukan orang tua mereka.

25 Aileen Mamahit, Diktat Kuliah Psikologi Pembimbingan (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2008)
26 Hurlock 238
27 H. Norman Wright, Konseling Krisis (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas) 70


28 Catatan: Untuk anak usia 4 – 13 tahun, penggunaan play Therapy sangatlah efektif untuk menolong anak mengeksplorasi diri dan perasaannya mengenai apa yang terjadi pada diri mereka. Beberapa media yang dapat dipakai untuk konseling anak ini adalah animal miniature, clay, drawing, comic strips, symbol and sand tray, dan sebagainya. Beberapa aktifitas dari berbagai buku play therapy juga merupakan referensi yang sangat bagus, misalnya buku Creative Intervention for Troubled Children & Youth (Liana Lowenstein), Creative Therapy with Children and Adolescent (Angela Hobday dkk.), The Playing Cure (Heidi Gerard dkk.), Using drawings in Assesment and Therapy (Gerald Oster dkk) akan sangat membantu.
29 Josh McDowell, Josh McDowell’s Handbook on Counseling Youth 363


30 Elisabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak – Jilid 1, 234-235


31 Aileen Mamahit, Diktat Kuliah Psikologi Pembimbingan 2


32 Aileen Mamahit, Psikologi Pembimbingan 2


33 Sharing dan kesaksian Ibu Aileen Mamahit dalam Mentoring Kelompok MK sangat memberi inspirasi untuk mendapatkan salah satu pelayanan konseling yang mampu menjangkau sampai tuntas, yaitu lawat inner healing


34 Dalam keadaan tertentu, konselor juga perlu mengijinkan konseli untuk masuk ke dalam griefing process yang benar sehingga memberi efek yang jauh lebih positif pada perkembangannya kelak.

No comments:

Welcome to my joyful blog

Dear all friends,



Hi, thanks for visiting this blog. We made this blog because We want to share love, joy, and faith to all in need. We love to serve and help you, especially children and adolescent, to find the purpose of your life.



If you are in need of someone who listen and care, please contact me. if you need me in private, contact us freely to our email: rudytejalaksana@yahoo.com or contact us through facebook. I want to help you.... please let me know ya.

God loves you, guys