Search This Blog

REMEMBERING OUR PRECIOUS DAUGHTER, HARRIETT ELIZABETH TEJALAKSANA (June. 27, 2015)

Benaiah is already with us. He is so precious boy.

Thursday, December 31, 2009

Makna Sebuah Janji Pernikahan





SERI KONSELING PERNIKAHAN
MAKNA SEBUAH JANJI PERNIKAHAN
DASAR PERNIKAHAN YANG KOKOH

Oleh: Rudy Tejalaksana, M.K.

Pendahuluan
          Salah satu momen yang paling mengharukan dalam setiap pernikahan Kristen adalah momen pengucapan janji pernikahan di depan jemaat Tuhan. Bagi saya, hal itupun suatu hal yang paling mendebarkan, sekaligus momen terbaik dalam pernikahan kami. Ketika saya mengucapkan janji tersebut, ada perasaan haru yang sangat dalam di hati saya. Sebuah janji, yang saya tahu, merupakan sebuah komitmen ikat janji yang diungkapkan bukan hanya di hadapan istri saya, tapi di hadapan Tuhan. Sebuah janji yang mengikat seumur hidup. Sebuah janji yang harus ditepati dan diperjuangkan seumur hidup saya. Sebuah janji kudus - sebuah privilage terbaik dalam hidup - mengasihi, mencintai, dan menghormati pasangan seumur hidup. Sebuah janji yang membutuhkan pengorbanan, cucuran keringat, air mata, bahkan darah. Sebuah janji yang membutuhkan pengorbanan. Namun, seberapa pentingkah sebuah janji pernikahan ? Seberapa bermaknakah sebuah janji pernikahan ?

          Saya sudah menghadiri begitu banyak pernikahan Kristen diberbagai tempat di Indonesia, baik sebagai tamu, panitia, pelayan maupun saksi dalam pernikahan. Pernikahan selalu disertai dengan kebahagiaan, sukacita, ekspresi kepuasan yang mendalam, sebuah permulaan dari perjalanan panjang yang “penuh dengan bunga”. Di dalam pernikahan Kristen itu, pasti ada satu acara penting di dalamnya, yaitu acara pengucapan janji nikah. Setiap kali saya mendengar janji nikah diucapkan, setiap kali itu pula saya bertanya dalam hati saya, “Apakah mempelai berdua benar-benar mengerti apa yang sedang mereka ucapkan ? Bahwa janji yang sudah ucapkan tidak dapat dibatalkan lagi untuk selamanya ? Menyaksikan perpisahan dan perceraian keluarga Kristen membuat saya mengerti bahwa banyak pasangan pernikahan Kristen yang sebenarnya tidak mengerti apa yang mereka ucapkan. Apa dasar yang membuat kita yakin bahwa pernikahan kita adalah pernikahan “sampai maut memisahkan kita” ? Kita perlu meletakkan dasar yang tepat bagi sebuah pernikahan yang kuat.[1] Dasar yang kokoh inilah yang membuat kita berani mengucapkan janji pernikahan di depan Allah dan jemaat-Nya.

SEBUAH PILIHAN: MEMILIH DASAR PERNIKAHAN
            Apa yang menjadi dasar pernikahan Kristen ? Hampir semua orang Kristen memulai pernikahan-Nya "dengan“ Allah (atau lebih tepatnya dengan ritual Kristen. Namun seberapa pengaruh semua "ritual Kristen“ itu dalam pernikahan pada waktu goncangan datang, pada waktu bunga pernikahan tidak lagi indah, pada waktu perubahan dan ketidakpuasan terjadi ? Pada waktu sepertinya tidak ada harapan lagi dalam pernikahan ? Jack Mayhall, seorang konselor pernikahan Kristen mengatakan, "All marriage is a choice... one such choice is not a conscious one for most of us. Yet it is even more important than the choice of a partner for life. It is deciding the foundation on which the marriage will rest”.[2] Betapa pentingnya memilih sebuah dasar bagi pernikahan kita, bahkan lebih dari keputusan memilih dengan siapa kita menikah. Apa yang terjadi bila kita membangun sebuah rumah dan bangunan besar, tanpa terlebih dahulu membuat fondasi yang kuat dan tepat ? Lalu apa yang menjadi dasar pernikahan kita, yang menopang semua bangunan pernikahan yang lain? Apa dasar sehingga cinta kasih, komitmen, komunikasi, kebersamaan, kesetiaan, dan fokus Tuhan dalam pernikahan Kristen dapat dipertahankan dan pernikahan dapat diperkuat? Jawabannya adalah sebuah fondasi pernikahan yang kuat.

PRINSIP DASAR: Allah adalah dasar pernikahan Kristen
            Alkitab menggambarkan dengan sangat jelas bahwa Tuhanlah yang menjadi inisiator dan pencipta pernikahan. Karena Allah yang menciptakan pernikahan (Kej 2:18, 21-25), tentu Dialah yang tahu semua hal mengenai pernikahan. Oleh sebab itu, meletakkan dasar (bukan membuat pondasi) pernikahan di dalam Allah menjadi hal paling mendasar dari sebuah pernikahan. Allah menjadi pondasi dan sumber dari segala kebutuhan di dalam pernikahan. Jack Mayhall, sejalan dengan Yesaya 37:31 dan Yeremia 17:7-8, berkata, “ God is the source of love, of understanding, of acceptance. As we put our roots down deeply into Him, there flows into us a never ending supplies”.[3] Bergantung kepada kemampuan kita untuk mengasihi, mengerti, dan menerima pasangan kita hanya akan menimbulkan frustasi besar dalam pernikahan. Itulah sebabnya, pasangan yang menikah tanpa pondasi yang benar, akan sangat mungkin mengalami kegagalan dan keputusasaan, karena bangunan tanpa pondasi akan begitu mudah roboh ketika badai menerjang (bnd Mat 7:27). Lalu bagaimana konsep Alkitab mengenai pondasi pernikahan yang dibangun Allah? Dan Flournoy, seorang konselor pernikahan Kristen, mengatakan, “The Bible tells what a strong family foundation consist of. Please consider that a strong family is (1) United in Christ (spiritual compatibility), (2) A Committed relationship, (3) Based on mutual love and respect”.[4] Pada makalah ini, saya akan banyak menyorot mengenai a committed relationship dalam kaitannya dengan menjadi promise keeper terhadap janji pernikahan.

PERNIKAHAN KRISTEN: Sebuah Komitmen total
            Secara unik, Alkitab seringkali menggambarkan hubungan Allah dan umat-Nya sama seperti hubungan pria dan wanita dalam pernikahan. Di dalam Perjanjian Lama, Allah menyebut dirinya sebagai suami Surgawi bagi umat-Nya (Yes 54:5). Allah berinisiatif untuk “melamar” umat pilihan-Nya menjadi kekasih hati-Nya. Keluaran 19 memberi gambaran hubungan “intim” Allah dengan umat-Nya sebagai hubungan perjanjian yang kudus (Kel 19:5, yer 30:22, Ul 10:12-22), satu kali untuk selamanya, bersifat eksklusif dan unik. Inti dari perjanjian itu terdiri dari dua bagian: Israel akan menjadi umat Allah (Allah menerima umat-Nya) dan Allah akan menjadi Allah orang Israel (Israel merespon penerimaan Allah).[5]  Namun sungguh aneh ketika Tuhan mengikat perjanjian dengan orang Israel. Allah tahu siapa Israel, sangat tidak sepadan. Namun ketika Allah mengikat perjanjian dengan Israel ada satu penekanan penting dalam hal itu "AKU menerimamu dan mengikat Diri-Ku padamu“. Bukankah komitmen Allah ini dibuktikan secara nyata dalam kisah dalam kitab Hosea, ketika komitmen tidak berubah ketika israel "bersundal“ dan tidak setia lagi kepada Allah ? Inilah yang sebut sebagai komitmen total[6], tidak berubah dan tetap teguh dalam ikatan relasional, apapun yang terjadi. Komitmen adalah perjanjian yang diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata, apapun halangannya.[7] Banyak pasangan membuat komitmen yang baik diawal pernikahan. Janji di depan pemberkatan pernikahan di gereja sering hanya menjadi simbol ritual belaka. Janji yang sangat mudah diucapkan namun begitu mudah pula dilupakan. Padahal dengan selalu mengingat janji pernikahan akan membuat pernikahan itu menjadi sangat powerful.
            R. Paul Stevens mengatakan setidaknya ada dua kekuatan luar biasa ketika kita selalu mengingat dan melakukan komitmen janji pernikahan kita. Pertama: Mendewasakan pasangan. Janji pernikahan membuat pasangan bertumbuh semakin indah untuk saling menguatkan, menopang dan menolong pasangan untuk tumbuh dalam semua aspek kehidupan. Kedua: Menjadi dasar untuk berharap. Ketika sewaktu-waktu keadaan berubah, komitmen dalam janji pernikahan membuat pasangan selalu memiliki pengharapan untuk meraih pernikahan yang sukses.[8]

            Di dalam Perjanjian baru, Tuhan Yesus memberi pemahaman yang benar-benar radikal mengenai pernikahan. Tuhan Yesus hadir dan melakukan mujizat pertama-Nya justru di dalam sebuah pesta pernikahan (Yoh 2:1-11). Tuhan Yesus sering menggambarkan kerajaan Allah seperti pernikahan (Mat 22:1-14). Dia adalah mempelai laki-laki (Mat 25:5) dan jemaat adalah mempelai perempuan (Ef 5:25). Pernikahan digambarkan seperti Kristus dan umat-Nya. Ini adalah gambaran yang paling sakral dalam semua konsep pernikahan yang pernah ada di dunia. Konsep ini adalah konsep perjanjian yang baru, Allah yang datang kepada umat-Nya, untuk menebus dan mati bagi umat-Nya. Karya Kristus bagi kita inilah yang memberi pemahaman baru bagi sebuah hubungan, sebuah komitmen total – Dia mengosongkan diri, mengambil rupa sebagai pelayan, dan menyerahkan diri bagi umat-Nya (Fil 2:5-8). Ketika kita menghayati pernikahan kita seperti apa yang Kristus lakukan, maka kita tidak akan pernah bermain-main dan memandang remeh kepada pernikahan dan janji nikah yang kita ikrarkan di dalam pernikahan kita.
            Larry Crabb, dengan inspirasi dari inkarnasi dan pengorbanan Kristus, secara luar biasa menggambarkan 3 pilar utama dari semua pernikahan Kristen[9]. Pilar paling dasar adalah Anugerah (Grace). Pernikahan memerlukan Anugerah Allah yang besar bagi pasangan. Anugerah yang Allah berikan akan selalu memampukan pasangan bertahan dalam semua kondisi yang paling berat sekalipun. Ketika ada kesulitan dan goncangan, Allah akan berkata, "My Grace is sufficient for you“ (II Kor 12:9). Karya Kristus di kayu salib menawarkan anugerah bagi setiap orang yang menerima kasih-Nya. Setiap orang Kristen terpanggil untuk mengasihi bukan dengan cinta natural (yang ada pada manusia) saja, tapi dengan kasih yang merupakan anugerah Allah (I Yoh 4:7).[10] Pilar yang kedua, yang dibangun di atas anugerah Allah adalah komitmen (Commitment). Larry Crabb berkata, “Building Blocks 2: A deep desire to obey God by honoring the marriage commitment, a desire growing naturally out of the conviction that God is good”.[11] Komitmen adalah tindakan nyata memfokuskan kasih, emosi, hubungan, perasaan, dan sebagainya kepada Firman Tuhan dan menghormati janji pernikahan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Karya Kristus di kayu salib menunjukkan kebaikan Allah yang luar biasa. Pilar yang ketiga, yang dibangun di atas anugerah dan komitmen adalah penerimaan (acceptance). Larry Crabb berkata, “ to accept our mates dose not require that we enjoy everything they do. To accept our mates means more than remaining faithful to the commitmen to minister. To accept a mate involves deeper work.. the work of forgiveness…[12] Bukankah ini karya Kristus bagi umat-Nya, pengampunan dan penerimaan, di dalam kasih dan karya agung-Nya di kayu salib. Anugerah memberi kita kesempatan untuk menerima kebaikan Tuhan, dan membuat kita mengerti bahwa Allah menerima kita di dalam Kristus, bagaimana pun keadaan kita. Semua dimulai dari sebuah komitmen – sebuah janji yang dibuktikan lewat tindakan.
            Ketiga pilar ini sangat jelas menggambarkan betapa seriusnya sebuah janji pernikahan yang diungkapkan di dalam pemberkatan pernikahan kita. Oleh sebab itu, kita perlu cermat melihat mempelajari janji pernikahan kita sebelum kita mengucapkannya, satu kali dan mengikat diri dan memberi diri seumur hidup kepada pasangan kita, berdasarkan janji pernikahan yang kudus. Inilah komitmen total.[13]

Janji Pernikahan dan maknanya bagi pasangan Kristen:
Tuhanlah yang menetapkan pernikahan ini. Karena itu, Saya (nama) mengambil engkau (nama) menjadi istri / suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang. Pada waktu kelimpahan maupun kekurangan. Pada waktu sehat maupun sakit. Untuk saling mengasihi dan menghargai. Sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus. Dan inilah janji setiaku yang tulus.[14]

Isi Janji Pernikahan
Dasar Alkitab
Makna bagi pernikahan
TUHANlah yang menetapkan pernikahan ini
Saya mengambil engkau
Allah berinisiatif memilih israel sebagai satu-satunya umat pilihan secara eksklusif
(Ul 7:7-9, Kel 19:5-6, II Tes 3:17)
Inisiatif : Tindakan sadar seseorang untuk memilih seseorang menjadi pasangan hidupnya
Eksklusif : Suatu pilihan yang dijatuhkan kepada satu-satunya orang tertentu, yang tidak dapat digantikan oleh siapapun juga.

Menjadi istri / suami
Allah menghargai umat-Nya dalam hubungan yang unik, pribadi dan mendalam (Kel 19:6, Yes 43:4)
Pernikahan adalah hubungan antar pribadi yang mendalam, intim dan kuat satu dengan yang lain. Pernikahan bukanlah sebuah wadah untuk memenuhi kebutuhan pribadi, menuntut dari pihak satu memuaskan pihak lain. Pernikahan adalah penghargaan keunikan pribadi, mencintainya sebagai pribadi yang unik, dan menjadi kekasih pilihian untuk seumur hidup
Untuk saling memiliki dan menjaga
Perjanjian Allah – umat-Nya adalah hubungan yang intim dalam tanggung jawab yang harus dijalankan (Kel 19:5, Ef 5:21-33)
Pernikahan adalam memberi diri sendiri dan menerima pasangan untuk saling menopang dan menjaga sesuai dengan peran masing-masing untuk mencapai tujuan pernikahan yang Allah inginkan.
Dari sekarang sampai selamanya
Perjanjian Allah – Umat-Nya adalah perjanjian kekal, yang tidak dapat dibatalkan lagi. Never ending relationship (Yes 37:31, Yer 17:7-8, Mal 2:16, Mat 19:6)

Pernikahan adalah ikatan seumur hidup dan tidak dapat dibatalkan lagi untuk selamanya. Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (Mat 19:6)
Dalam susah / senang, kelimpahan/kekurangan
Allah setia pada umat-Nya, bahkan ketika umat tidak setia kepada-Nya (Hosea 11, Ef 4-6, Yes 54:6,10)
Pernikahan terus harus bertahan dalam segala keadaan, goncangan, dan pergumulan. Dibutuhkan dua orang yang berkomitmen kepada Tuhan untuk bertahan di dalam segala keadaan.
Sesuai hukum Allah
Allah adalah Allah yang kudus, yang menuntut umat-Nya untuk hidup kudus, karena dari hal itulah sebuah hubungan kudus dibangun (Kel 19:10-24, I Kor 1:2, I Tes 4:7, II Tim 1:9)
Allah yang menjadi sumber dan pondasi (dasar) pernikahan, yang menopang, menguatkan, memperkaya, dan menumbuhkan pernikahan. Pernikahan hanya bisa menjadi pernikahan yang saling menopang, menguatkan, memperkaya dan bertumbuh jika pasangan hidup di dalam hukum Allah: hidup kudus
Inilah janji setiaku yang tulus
Allah adalah Allah yang memegang janji setia-Nya. Kesetiaan-Nya dibuktikan dengan memberi diri-Nya untuk menyatakan anugerah-Nya, komitmen-Nya, dan penerimaan-Nya kepada umat pilihan-Nya (Kel 19:6, Mzm 136, Yes 59:2, Yes 53:5)
Janji setia yang diucapkan adalah janji setia dari hati yang paling dalam dan suci. Tanda paling utama dari ketulusan adalah kesiapan memberi diri dan berkorban untuk pasangan. Oleh sebab itu diperlukan Anugerah Allah, komitmen, penerimaan, yang akan terus menopang pernikahan sampai seumur hidup. Tuhan Yesus memberi contoh terbaik kita, memberi anugerah keselamatan dengan komitmen-Nya mati di kayu salib, agar kita dapat diterima kembali di pangkuan Bapa yang kudus.

Penutup : Janji Pernikahan – sebuah janji untuk menderita
            Saya ingin mengutip kalimat indah yang ditulis H. Norman Wright dalam bukunya So You Are Getting Marriage, “Janji pernikahan Anda adalah janji untuk menderita. Anda berjanji untuk menderita bersama. Masuk akal, karena orang yang Anda nikahi mungkin saja melukai orang yang terikat padanya. Dan Anda telah berjanji untuk menderita bersama pasangan Anda. Pernikahan adalah seumur hidup saling berbagi penderitaan”.[15] Alangkah kokohnya sebuah pernikahan, jika dibangun bukan saja oleh janji pernikahan yang indah di awal pernikahan, namun juga dijalani berdasarkan janji kudus itu, seperti Allah yang berjanji dan Dia selalu memegang, dan menepati janji bagi umat-Nya, bagi manusia sepanjang zaman. Terpujilah Allah.

PERTANYAAN REFLEKSI :

1.    Menurut saya menikah adalah
                  _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________
2.    Apa 3 hal terpenting yang perlu ada di dalam pernikahan ?
                  ___________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________
3.    Apakah Anda adalah orang yang dapat dipercayai ketika Anda mengucapkan sebuah janji kepada orang lain ? ________________________________________________________________________________ ____________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
4.    Hal apa yang biasanya menjadi penghambat / penghalang Anda menepati janji kepada orang lain ?
      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      Apakah hal itu sering terjadi ______________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      Mengapa hal itu bisa terjadi? ______________________________________________________________
      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
5.    Secara pribadi, seberapa pentingkah sebuah janji pernikahan bagimu ?
   _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      Mengapa demikian ?
                  _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________
6.    Dalam konteks janji pernikahan yang akan Anda ucapkan, apa yang Anda harapkan dari diri Anda dan pasangan Anda dalam rangka membangun pernikahan yang kuat ?
                  _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _________________________________________________________________________________­_____________________________________________________________________________________
7.    Coba pikirkan mengenai janji pernikahan yang telah kita pelajari sebelumnya. Coba tuliskan kembali isi janji pernikahan yang ingin Anda ucapkan kepada pasangan Anda di dalam pemberkatan pernikahan.Tulislah dengan bahasa Anda sendiri. Dan tuliskan pula apa yang Anda mengerti dari janji pernikahan itu; apa maknanya bagimu dan harapanmu setelah mengucapkan janji itu ? (isilah di dalam tabel dibawah ini:
Janji saya pada pasangan saya :
___________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
           
Isi Janji
Maknanya janji itu bagimu
Harapanmu terhadap janji itu





















8.    Dalam memegang janji pernikahan ini, hal-hal apa saja yang perlu dilakukan oleh pasangan Anda untuk menolong Anda menepati janji pernikahan ini ?
      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________      _____________________________________________________________________________________
9.    Tuliskanlah sebuah doa yang singkat mengenai apa yang Anda mengerti mengenai pentingnya sebuah janji pernikahan dalam perjalanan hidup bersama. Refleksikanlah hati Anda, sukacita Anda, kesulitan Anda, dan harapan Anda terhadap janji pernikahan yang akan Anda ikrarkan dalam acara pernikahan kelak


Semua bahan ini akan kita bahas dalam pertemuan berikutnya. Kejujuran, keterbukaan hati, dan ketulusan Anda sewaktu mengisi jawaban Anda akan sangat menolong Anda menyiapkan pernikahan yang kokoh dan sehat di dalam Tuhan. Jika ada pertanyaan atau kesulitan untuk memahami pertanyaan-pertanyaan ini, Anda dapat menghubungi saya. Terima kasih atas kerjasamanya. Saya mendoakan kalian berdua. Tuhan Yesus memberkati kalian berdua. (RT03112007)




[1] Inspirasi dari buku tulisan R. Paul Stevens. Seni Mempertahankan Pernikahan Bahagia. (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2004)    17-49.
[2] Jack and Carole Mayhall, Marriage Takes More Than Love (Colorado: Navpress, 1981), 13-14.
[3] Ibid. 22.
[4] Dan Flournoy, “The Foundation of a strong family,” http://www.christian-family.net/marriage.html.
[5] R. Paul Stevens, Seni Mempertahankan Pernikahan Bahagia 34.
[6] Untuk memahami mengenai Komitmen Total, baca buku Dr.Vivian A. Susilo, Bimbingan Pranikah (Malang: Seminari Alkitab    Asia Tenggara, 2001) 26-42.
[7] H. Norman Wright, So You Are Getting Marriage (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2005) 10.
[8] R. Paul Stevens, Seni mempertahankan Pernikahan Bahagia 23.
[9] Disarikan dari buku Larry Crabb, Marriage Builder (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1982)  halaman 102 – 142.
[10] Yakub B Susabda, Konseling Pranikah (Jakarta: People Helpers Ministry Indonesia, 2004) 30.
[11] Larry Crabb, Marriage Builder 111.
[12] Ibid. 142.
[13] Untuk mendalami hal ini coba baca buku tulisan Elizabeth Achtemeier, The Committed Marriage (Philadelphia: The Westminster       Press, 1926) 105-111.
[14] R. Paul Stevens 49.
[15] H. Norman Wright, So You Are Getting Marriage 31. (dikutip dari Lewis B. Smedes, how can it be all right when everything is all wrong? (San Fransisco: harper & row publishers, Inc, 1982), halaman 61)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Achtemeier, Elizabeth. The Committed Marriage. Philadelphia: The Westminster    Press, 1926.

Crabb, Laurance J. Marriage Builder. Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1982.

Mayhall, Jack and Carole. Marriage Takes More Than Love. Colorado: Navpress,   1981.

Stevens, R. Paul. Seni Mempertahankan Pernikahan Bahagia. Yogyakarta: Gloria Graffa, 2004.

Susabda, Yakub B. Konseling Pranikah. Jakarta: People Helpers Ministry Indonesia,     2004.

Susilo, Vivian A. Bimbingan Pranikah. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara,               2001.

Wright, H. Norman. So You Are Getting Marriage. Yogyakarta: Gloria Graffa, 2005.



INTERNET:

Flournoy, Dan, “The Foundation of a strong family,” http://www.christian-    family.net/marriage.html.

Flournoy, Dan, “The Christian Home,” http://www.christian family.net/         marriage.html.



SUMBER INSPIRASI LAIN:

Tanusaputra, Daniel. Diktat Kuliah Konseling Pranikah. Malang: Seminari Alkitab   Asia Tenggara, 2007.

Beberapa buku Acara pernikahan di gereja (GKT, GKKA, Mawar Sharon) yang memuat janji pernikahan yang diucapkan mempelai.

Sumber-sumber bacaan lain baik buku, artikel internet, dan Surat kabar.

Memahami Konseling Kristen: Belajar dari Kehidupan Sang Konselor Agung


SERI BELAJAR PSIKOLOGI

MEMAHAMI KONSELING KRISTEN
BELAJAR DARI KEHIDUPAN TUHAN YESUS,
SANG KONSELOR AJAIB 
Refleksi dalam Kerangka Integrasi Teologi dan psikologi bagi pelayanan Kristiani
kepada masyarakat Indonesia

Oleh: Rudy Tejalaksana, M.K.
SEBUAH PEMIKIRAN

            Kehidupan Tuhan Yesus diakui oleh semua kalangan, termasuk mereka yang tidak percaya kepada-Nya, sebagai kehidupan yang tanpa cela. Tidak ada satu hal pun dalam hidup Tuhan Yesus yang dapat dituntut, kecuali karena kebenaran, kebaikan, dan kesucian-Nya. Bukankah karena ketiga hal itulah yang membuat Tuhan Yesus dituntut dengan hukuman mati, pertama-tama oleh para Imam dan kemudian oleh banyak orang di Yerusalem ? Sebab kebenaran, kebaikan, dan kesucian yang ditunjukkan Tuhan Yesus sangatlah berbeda dari pemahaman kaum agamis mengenai kebenaran, kebaikan, dan kesucian. Para agamawan itu terlihat begitu teologis, dan memakai pemahaman itu untuk menentang Tuhan Yesus yang kelihatannya begitu “humanis”. Perbedaan inilah yang membuat pelayanan Tuhan Yesus sangat berbeda, yang memiliki daya jangkau yang sangat luas, bahkan sampai ke ujung bumi ini. Seberapa “teologis”kah Tuhan Yesus itu, dan seberapa “humanis”kah Dia, sehingga para teolog (baca: para Imam dan Ahli Taurat) menghendaki kematian-Nya sebagai seorang penghujat ?
            Tulisan ini adalah sebuah refleksi singkat mengenai kehidupan Tuhan Yesus, sebagai seorang teolog dan konselor, yang berkarya menjangkau kehidupan manusia secara menyeluruh (holistik) dan memberi dampak yang dasyat dalam perubahan kehidupan manusia di dunia. Tulisan ini saya persembahkan kepada semua pelayan Tuhan, yang rindu menjadi alat yang efektif untuk menjangkau jiwa-jiwa di dunia; yang terluka, terpinggirkan, dan terbuang, agar mereka menemukan pengharapan yang “utuh” di dalam Kristus. Dalam konteks inilah, integrasi teologi dan psikologi menolong menyampaikan pengharapan yang “utuh” di dalam Kristus.

MEMAHAMI PENGHARAPAN YANG “UTUH” DI DALAM KRISTUS: Integrasi Teologi – Psikologi
            Dunia sekarang ini adalah dunia yang terluka, yang membutuhkan pertolongan segera. Salah satu area pelayanan yang paling dekat dan bersentuhan langsung dengan dunia yang terluka ini adalah pelayanan  konseling.[1] Pelayanan konseling sangatlah terkait dengan keberadaan ilmu psikologi, yang selama masa-masa awal keberadaannya, seringkali bersinggungan dan dianggap berlawanan dengan prinsip-prinsip kekristenan. Hal ini terlihat jelas dalam diri para tokoh-tokoh utama psikologi, yang mengesampingkan keberadaan religi dalam berbagai konsep yang dihasilkan dan dari masyarakat umumnya.[2] Hal ini membuat keberadaan psikologi cenderung dipandang kurang positif, dan “sebaiknya” dihindari. Inilah yang membuat psikologi dan teologi dipandang tidak dapat berjalan berdampingan satu dengan yang lain.
            Namun dalam tahun-tahun terakhir, kekristenan mulai lebih terbuka menerima kehadiran psikologi dalam area pelayanan, khususnya pelayanan pastoral. Konseling Kristen menjadi kekuatan baru, yang mewarnai pelayanan dunia pelayanan. Timothy Wiarda, dalam tulisannya yang berjudul Psychology and Pastoral Ministry mengatakan:
            The relation between psychology (the science and therapeutic practice that emerges from         studying people) and theology (knowledge and practice that comes through God’s revelation         in Christ and Bible) has received a good deal of attention in recent years…Much of the      literature in this area starts with the question,”How should Christian counselors go about their   work in the light of their faith ? [3]


           
 Pertanyaan Wiarda ini adalah pertanyaan hampir semua orang Kristen yang terjun ke dalam pelayanan konseling dan psikologi. Wiarda mengatakan bahwa untuk masuk ke dalam integrasi yang tepat, teologi dan psikologi harus menempatkan diri dalam posisi yang saling menghargai, dengan asumsi bahwa kedua ilmu ini adalah ilmu yang memenuhi kriteria validitas yang tinggi, sehingga proses integrasi tidak menimbulkan konflik yang cenderung destruktif.[4] Namun demikian, integrasi bukanlah mencampurkan (blend) teologi dan psikologi. Wiarda berkata, “Integration means fitting together (theology and psychology) without contradiction or competition”.[5] Oleh karena itulah, integrasi perlu diterapkan dengan hati-hati, tanpa melupakan prinsip iman di dalamnya.

Integrasi teologi – psikologi: integrasi yang sepenuh hati
            Perdebatan mengenai kehadiran psikologi, khususnya di kalangan gereja-gereja Injili masih menimbulkan pro dan kontra hingga hari ini. Meski demikian, sebagian besar konselor Kristen masih mempergunakan ilmu psikologi di dalam pelayanan konselingnya. Beberapa di antaranya memutuskan untuk meninggalkan psikologi dan beralih kepada teologi sebagai basis konseling Kristen. Banyak pihak rupanya meragukan “kemurnian” integrasi antara teologi dan psikologi. Mereka menyatakan bahwa seringkali konselor Kristen dengan mudah terjebak kepada integrasi yang setengah hati yang membuat konselor Kristen seringkali lebih dipengaruhi oleh konsep-konsep psikologi daripada konsep teologi.[6] Hal ini dianggap dapat menghambat kemurnian kekristenan di dalam area pelayanan konseling. Namun demikian Konselor Kristen yang menggunakan ilmu psikologi dalam pelayanan konseling umumnya sepakat bahwa Kristus dan iman kepada-Nya tetaplah menjadi sentral dari seluruh pelayanan konseling Kristen.[7] Gary R. Collins, seorang Psikolog Kristen, dalam bukunya yang berjudul  Can You Trust Psychology, mengatakan:
            For the Christian psychologist, the integration involves recognition of the ultimate authority        of the Bible, a willingness to learn what God has allow humans to discover through        psychology and other field of knowledge, and a desire to determine how both scriptural truths and psychological data can enable us to understand and help people.[8]

Tuhan mengijinkan hadirnya berbagai macam disiplin ilmu untuk menolong kita melakukan pelayanan dengan lebih efektif. Kehadiran psikologi dapat menolong kita memahami manusia secara lebih komprehensif dan menjadi jembatan prinsip dan penerapan Alkitab secara praktis bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Oleh sebab itu, integrasi teologi dan psikologi sangatlah berguna untuk menghadirkan pelayanan Kristen, khususnya pelayanan pastoral yang lebih efektif.

Kehadiran Integrasi Teologi – Psikologi dalam Pelayanan Pastoral.
            Kehadiran integrasi teologi – psikologi sangatlah dibutuhkan dalam ranah pelayanan praktis Kristen. Integrasi teologi – psikologi sejak semula memang tidaklah diperuntukkan bagi pelayanan di ranah perdebatan dan teoritis semata, namun jauh lebih ke dalam ranah praktis gerejawi. Salah satu pelayanan yang sangat membutuhkan kehadiran integrasi teologi – psikologi adalah pelayanan pastoral gerejawi. Pelayanan pastoral seringkali didefinisikan sebagai:
            Pastoral Ministry centres in ministering the means of grace so as to bring about spiritual            change, and directing believers in the way of godliness through the instructions and promises      of the Bible. Pastors should view the work of fostering emotional and relational health as a      secondary, context – dependent task [9]

Pelayanan pastoral bukanlah semata-mata untuk menolong klien menuju kesehatan emosi dan relasi semata, namun menolong setiap klien menemukan perubahan dan pertumbuhan rohani sehingga klien menjadi semakin serupa dengan Tuhan Yesus. Tujuan ini akan dapat dicapai lewat penerapan integrasi teologi dan psikologi yang memadai, sebab integrasi teologi dan psikologi menolong manusia melihat diri, dunia, dan berbagai fakta dengan kacamata yang lebih lengkap dan menyeluruh. Bukankah pelayanan pastoral Tuhan Yesus juga sebenarnya menyingkapkan pentingnya integrasi teologi – psikologi yang proporsional dalam dunia pelayanan Kristen? John H. Stoll, dalam artikelnya yang berjudul The Bible and Psychology berkata:
            The Bible is not a textbook on psychology, rather it is a text on God and His relationship to          mankind, whom He has created. However, in the context there is much stated in the Bible on         human behavior, and where the Bible speaks on the subject of psychology it speaks with final     authority.[10]



            Untuk melihat prinsip pelayanan pastoral di dalam Alkitab, kita perlu secara khusus melihat apa yang Tuhan Yesus lakukan dalam pelayanan pastoralnya. Dalam kisah pelayanan Tuhan Yesus di dunia ini, kita dapat melihat keunikan pendekatan pastoral bagi orang-orang yang Dia layani. Joshua Hays menyatakan bahwa Tuhan Yesus memiliki karakteristik yang unik di dalam pelayanan-Nya. Karakteristik pelayanan Tuhan Yesus adalah loving, relational, dan meaningful.[11] Di dalam seluruh pelayanan Tuhan Yesus, ketiga karakteristik ini hampir selalu muncul dan mewarnai ajaran dan pelayanan-Nya.
            Pertama: Christ - Loving God. Kasih adalah kunci dari seluruh pelayanan Tuhan Yesus di dunia. Tuhan Yesus berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk menunjukkan kasih Allah bagi dunia. Di dalam kasih-Nya, Tuhan Yesus menunjukkan belas kasihan (compassion) kepada mereka yang terlantar, terluka, ditinggalkan, teraniaya, terpinggirkan, dan tidak berdaya dengan cara yang sangat manusiawi. Dalam pertemuan-Nya dengan orang-orang “pinggiran” inilah Tuhan Yesus menunjukkan bagaimana Tuhan Yesus mempraktekkan kesucian-Nya dengan cara yang berbeda. Kisah Lukas 7:36 menunjukkan bagaimana Tuhan mengajarkan para murid dan orang farisi mengenai apa arti kasih Allah. Tuhan Yesus membenci dosa, namun mengasihi orang berdosa. Tuhan Yesus memahami pergumulan orang yang berdosa. Karena itulah, Tuhan Yesus membuka kesempatan bagi perempuan berdosa itu untuk mendapatkan pengampunan. Sikap Tuhan Yesus yang sabar dan penuh pengertian terhadap keadaan manusia membuat Tuhan Yesus menyingkapkan diri Allah yang berbeda dari apa yang dipahami oleh orang Farisi dan Ahli Taurat, yang melihat Allah sebagai Allah yang menghukum.
            Kedua: Christ - Relational God. Kehadiran Tuhan Yesus juga menyingkapkan mengenai Tuhan yang rindu memiliki hubungan pribadi dengan manusia. Relasi Tuhan Yesus selalu membangun positive personal development. Perhatikanlah apa yang Tuhan Yesus lakukan ketika berbicara dengan perempuan Samaria, atau ketika berhadapan dengan perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Tuhan Yesus bukan “Cuma” menyatakan kasih berupa pengampunan, namun juga menyediakan jembatan untuk menjalin relasi dengan mereka. Sikap-Nya membangkitkan semangat dan pengharapan bahwa selalu ada kesempatan untuk berubah dan bertumbuh. Perkataan Tuhan Yesus, “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi” kepada perempuan yang kedapatan berzinah itu menunjukkan bahwa Tuhan menyediakan jalan menuju pemulihan.[12]
            Ketiga: Christ - a meaningful life giver. Kehadiran Tuhan Yesus bukan hanya untuk menyatakan kasih, memberi pengharapan, namun juga menolong orang-orang yang ditemui-Nya untuk menemukan makna kehidupan yang lebih dalam. Kehadiran-Nya bukan hanya untuk menyatakan kesalahan saja, tapi juga mengampuni kesalahan, dan menolong orang untuk tidak melakukan kesalahan yang sama lain. Tujuan akhir dari karya Tuhan Yesus adalah bahwa setiap orang yang bertemu dengan Tuhan akan menemukan makna hidupnya secara unik, yang telah Allah sediakan sebelumnya.
            Ketiga karakteristik pelayanan Tuhan Yesus di atas dapat menolong konselor Kristen menemukan cara terbaik untuk menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia akan pemulihan atas berbagai krisis yang sedang melanda Indonesia saat ini. Inilah yang membuat Integrasi teologi (pemahaman tentang Allah) dan psikologi (gambaran tentang manusia) penting, karena menjawab kebutuhan Indonesia secara holistik.

Pelayanan konseling Kristen berdasarkan Karakteristik Sang Konselor Agung di Bumi Indonesia
            Ketiga karakteristik pelayanan Tuhan Yesus; loving, relational, dan meaningful dapat menjadi pegangan dasar bagi karakteristik konselor Kristen yang efektif menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sedang kehilangan jati diri dan keistimewaan sebagai bangsa yang beradab dan penuh sopan santun. Masyarakat Indonesia bahkan seringkali dilabelkan sebagai masyarakat yang anarkis, yang ditandai dengan kehadiran kekerasan dan kekacauan di mana-mana. Hal ini justru membuat masyarakat Indonesia semakin terluka, kebencian merajalela, pertikaian, konflik yang berkepanjangan, hubungan merenggang bahkan putus. Hal ini menimbulkan perasaan bahwa bangsa Indonesia sudah tidak menjanjikan harapan apa-apa lagi. Bangsa Indonesia sedang menuju kehancuran, yang memang sudah terlihat di depan mata – yang melanda seluruh dunia. Keadaan ini membuat bangsa Indonesia membutuhkan kehadiran Sang Konselor Agung, Tuhan Yesus, yang direpresentasikan oleh kehadiran dan pelayanan konselor-konselor Kristen – yang mempraktekkan kebenaran Allah (Alkitab) dengan cara yang sangat manusiawi (psikologi).
            Pertama: Share God’s love. Salah satu tujuan utama konseling Kristen adalah membagi kasih Kristus kepada mereka yang berbeban berat, terluka, dan merindukan pertolongan. Masyarakat Indonesia benar-benar sedang di ambang kehancuran akibat kehidupan demokrasi yang ke-bablas-an. Lihat saja generasi Indonesia pada zaman modern ini. Generasi yang berkembang sekarang adalah generasi yang keras, tegang, dan penuh amarah. Generasi yang sebenarnya sedang berteriak meminta pertolongan akibat kekosongan hati yang begitu kronis. Dr. Paul Gunadi, seorang psikolog Kristen mengatakan bahwa generasi ini adalah generasi borderline.[13] Keluarga-keluarga sedang mengalami krisis yang begitu akut, tekanan yang begitu kuat, namun kehilangan kasih, yang sebenarnya dibutuhkan sebagai tiang penyangga untuk menghadapi berbagai problem kehidupan tersebut.
            Kemampuan untuk mengasihi adalah salah satu karakteristik utama dari pelayanan konselor Kristen. [14] Banyak orang memiliki kemampuan dan bekal teknik konseling yang memadai. Namun, tidak banyak orang yang memiliki kemampuan untuk mengasihi. Bahkan, seringkali seseorang yang memiliki latar belakang akademik yang paling hebat justru menjadi seorang terapis yang paling buruk ketika dia tidak memiliki kemampuan untuk mengasihi dalam pelayanan konselingnya.[15] Konseling menolong setiap orang menemukan tempat pertolongan, teman berbagi, dan dorongan untuk menemukan jalan keluar. Di saat seperti itulah kasih benar-benar dibutuhkan. Konseling Kristen menghadirkan kasih yang dibutuhkan. Hal itulah yang membuat konseling dan semua teknik di dalam nya menjadi konseling yang efektif dan berhasil.
            Kedua: Building true relationship. Pelayanan konseling Kristen memerlukan kerinduan untuk membangun true relationship antara konselor dengan klien. Yang dimaksud dengan true relationship adalah kemampuan konselor untuk melakukan pelayanannya dengan tulus, terbuka, jujur, apa adanya, dan transparan. Hal ini mendorong konselor untuk memiliki kehidupan yang berani dilihat. Ketika konselor membuka hidupnya, maka klien akan terdorong untuk melakukan hal yang sama – berani dilihat dan mulai menjalani hidup yang transparan.[16] Hal ini akan menolong konselor untuk “memasuki” area yang selama ini ditaruh konseli di tempat yang tersembunyi. Di sinilah relasi berlangsung. Bukankah ini pula yang terjadi di dalam pelayanan konseling yang dilakukan oleh Tuhan Yesus ? Bahwa hidup Tuhan Yesus yang transparan dan apa adanya telah menolong semua orang “berdosa” untuk dengan berani mendekati Tuhan Yesus ? Di dalam keadaan inilah relasi yang benar terbangun. Relasi yang jujur, terbuka, apa adanya. Proses inilah yang membuat konseling menjadi sarana pelayanan yang efektif. Bukankah banyak kasus kesehatan mental dimulai dari hancurnya relasi di dalam keluarga asal klien ? Bukankah salah satu kebutuhan utama dari klien adalah kebutuhan akan true relationship ? Bukankah inilah kebutuhan begitu banyak orang di Indonesia ? True relationship menolong seseorang merasa diterima, dikasihi, dan dianggap penting sehingga mendorong seseorang meningkatkan self-esteem dan self-concept yang lebih positif. Konselor Kristen menyadari bahwa true relationship hanya dapat dijalin dengan kehadiran Tuhan Yesus di tengah-tengah relasi tersebut. Tuhan memanggil para konselor untuk menyatakan kehadiran Tuhan, bukan hanya lewat perkataan, namun lewat tindakan kasih yang benar-benar dibutuhkan oleh klien.
            Ketiga: Offering a meaningful life - Kehadiran konselor Kristen menghadirkan makna yang dalam (meaningful)  bagi kehidupan klien. Karena itulah, pekerjaan seorang konselor Kristen bukan hanya sebatas menolong klien untuk menyelesaikan masalah psikologis klien semata, namun menolong klien melihat kebutuhan diri yang lebih dalam, yaitu kebutuhan rohaninya. Hal ini terjadi karena di dalam pemenuhan kebutuhan rohanilah, seseorang menemukan makna hidupnya dengan sangat mendalam. John H. Stoll, menyatakan:
An important factor in helping a person live a useful life is the knowledge that there is purpose in life. Life is meaningless unless there is purpose to it. In Philippians 1:21, Paul states, "For to me to live is Christ and to die is gain." Here is the thought of personal identification with Christ. The ultimate for the Christian is one's seeking to achieve the will of God in and through his own life. With this in mind a person seeks to translate God's plan for his life into understandable terms for himself, as well as for others. A sense of values in the Christian experience is imperative, for if there are no standards or values, life loses its relevance. On the other hand, when one is clear as to standards and values, these serve to direct rather than repress a person.[17]

Konselor Kristen menolong klien bukan saja menyelesaikan problem yang sedang dihadapinya, namun juga menolong klien untuk menemukan makna hidupnya yang sebenarnya. Kehadiran Tuhan Yesus dan firman-Nya di dalam teknik konseling menolong seseorang meneropong hidup dengan lebih detail, yaitu bahwa kebutuhan rohani adalah kebutuhan yang harus dipenuhi dan mempengaruhi seluruh kehidupan klien selanjutnya. Ketika klien menemukan makna hidupnya, klien menemukan bahwa banyak hal-hal yang dahulunya merupakan masalah besar, justru merupakan “bumbu pemanis” kehidupan setelah seseorang bertemu dengan Kristus dan menemukan makna hidup di dalam-Nya.
            Kebutuhan akan makna hidup adalah kebutuhan yang dialami oleh sebagian besar manusia di Indonesia. Manusia Indonesia membutuhkan pertolongan, bukan hanya untuk keluar dari kemiskinan, dan krisis moral yang besar terjadi, namun kebutuhan akan penemuan makna hidup di dalam Tuhan. Kehadiran konselor Kristen adalah kehadiran garam di tengah dunia yang sedang membusuk, dan sebagai terang di tengah dunia yang gelap. Menolong dunia menemukan makna hidup yang sebenarnya di dalam kebenaran Tuhan. Di sinilah peran integrasi teologi – psikologi, menghadirkan Tuhan lewat pendekatan manusiawi untuk memulihkan manusia secara utuh dan menyeluruh; fisik, jiwa, dan rohani.

Konklusi:
            Suatu hari seorang anak bertanya kepada saya, “Seandainya Tuhan Yesus hidup pada zaman modern ini, bagaimanakah hidup Tuhan Yesus ? Apakah Tuhan Yesus juga akan mengalami stres ?” (seperti yang sebagian besar kita alami, meskipun dengan kadar dan masalah yang berbeda-beda). Dengan tersenyum saya menjawab, “Tuhan Yesus adalah Tuhan yang menjelma menjadi manusia. Dia mengalami hal yang sama persis yang kita alami. Dia merasa lapar, haus, lelah, mengantuk, di tengah-tengah pekerjaan-Nya yang begitu banyak. Apalagi banyak orang farisi dan ahli taurat tidak menyukai-Nya, selalu ingin mencelakakannya. Tuhan Yesus pasti banyak menghadapi tekanan hidup. Stress adalah tekanan dalam hidup kan ? jadi Tuhan Yesus mungkin sekali juga mengalami stres. Tapi apakah Tuhan Yesus kehilangan kebahagiaan-Nya ? sukacita-Nya ? selera humor-Nya ? semangat hidup-Nya ? tujuan dan panggilan hidup-Nya ? sama sekali tidak. Bahkan di tengah-tengah pergumulan terbesar, ketika harus menanggung dosa manusia di kayu salib, Tuhan Yesus tetap memiliki ketenangan yang luar biasa untuk menanggung semua itu. Apa yang membuat Tuhan Yesus dapat hidup begitu tegar ? Tujuan hidup-Nyalah  yang menjadi api yang membakar semangat-Nya untuk berjuang menghadapi hidup dan mati di kayu salib.
            Bagaimana dengan hidup kita sekarang ini ? Kita hidup di tengah-tengah  zaman yang menganut faham selfisme,  segala sesuatu adalah untuk diri sendiri. Semua usaha manusia adalah untuk memuaskan ambisi, hasrat dan keinginan diri sendiri. Segala sesuatu adalah untuk diri sendiri. Ketika hal itu tidak tercapai, manusia mengalami putus asa, kehilangan pengharapan dan akhirnya mati dalam keadaan sia-sia. Bila fokus hidup kita adalah untuk diri kita sendiri, kita akan hidup di dalam stres, tekanan, dan akhirnya hidup di dalam ketidakbahagiaan.  Di tengah-tengah zaman yang menganut selfisme ini, Tuhan Yesus memanggil kita untuk datang kepada-Nya dan hidup bagi-Nya. Ketika dunia mendorong semua manusia untuk mengambil segala sesuatu dan sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri, Tuhan Yesus memanggil kita untuk memberi sebanyak-banyaknya. Hidup adalah memberi diri, seperti Kristus memberi diri – seluruhnya - untuk kita. Ketika fokus hidup kita adalah memberi sebanyak-banyaknya, maka tidak akan ada sesuatupun yang akan kita sesali ketika banyak hal diambil dari diri kita. Hidup akan lebih menyenangkan, penuh semangat, dan bergairah karena kita hidup bukan untuk diri kita sendiri lagi, melainkan untuk Kristus dan sesama kita (II Kor 5:14-15). Stres akan menjadi bumbu penyedap rasa dalam mengikuti dan mengiring Tuhan Yesus yang mendorong kita untuk lebih bergantung kepada Tuhan. Selamat menikmati menjadi pemberi berkat bagi orang lain, menjadi konselor yang menghadirkan Kristus di tengah-tengah kehidupan yang sulit, bahkan di tengah-tengah penderitaan sekalipun. Selamat menjadi berkat di dalam pelayanan konseling. menghadapi tekanan hidup dengan bahagia.

 DAFTAR PUSTAKA
Collins, Gary R., Can You Trust Psychology. Illinois: InterVarsity Press, 1988.

Farris, James R. (ed), Pastoral Care and Counseling: An Asian Perspective -  International Perspectives    on Pastoral Counseling. New York: The Howorth Press, 2002.

Gunadi, Paul. Generasi Borderline – Bahan Ceramah Christian Counseling (Malang: Seminari Alkitab     Asia Tenggara.

Hays, Joshua. “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”,             http://www.bgst.edu.sg/mainsite/images/stories/pdf/applied_theology.pdf.

Wiarda, Timothy. “Psychology and Pastoral Ministry”, http://www.ttc.edu.sg/csca/CS/2004-        Dec/Psychology%20and%20PM.pdf.

Stoll, John H. “The Bible and Psychology”, http://www.leaderu.com/offices/stoll/psychology.html.

 END NOTES
[1]Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”, http://www.bgst.edu.sg/mainsite/images/stories/pdf/applied_theology.pdf.
[2] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”.
[3] Timothy Wiarda, “Psychology and Pastoral Ministry”, http://www.ttc.edu.sg/csca/CS/2004-Dec/Psychology%20and%20PM.pdf
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”
[8] Gary R. Collins, Can You Trust Psychology (Illinois: InterVarsity Press, 1988) 127
[9] James R. Farris (ed), Pastoral Care and Counseling: An Asian Perspective -  International Perspectives on Pastoral Counseling(New York: The Howorth Press, 2002) 178-179.
[10] John H. Stoll, “The Bible and Psychology”, http://www.leaderu.com/offices/stoll/psychology.html.
[11] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”
[12] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”
[13] Paul Gunadi, Generasi Borderline – Bahan Ceramah Christian Counseling (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara) 1
[14] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] John H. Stoll, “The Bible and Psychology”, http://www.leaderu.com/offices/stoll/psychology.html.


Welcome to my joyful blog

Dear all friends,



Hi, thanks for visiting this blog. We made this blog because We want to share love, joy, and faith to all in need. We love to serve and help you, especially children and adolescent, to find the purpose of your life.



If you are in need of someone who listen and care, please contact me. if you need me in private, contact us freely to our email: rudytejalaksana@yahoo.com or contact us through facebook. I want to help you.... please let me know ya.

God loves you, guys