Search This Blog

REMEMBERING OUR PRECIOUS DAUGHTER, HARRIETT ELIZABETH TEJALAKSANA (June. 27, 2015)

Benaiah is already with us. He is so precious boy.

Showing posts with label LEARNING PSYCHOLOGY. Show all posts
Showing posts with label LEARNING PSYCHOLOGY. Show all posts

Thursday, December 31, 2009

Memahami Konseling Kristen: Belajar dari Kehidupan Sang Konselor Agung


SERI BELAJAR PSIKOLOGI

MEMAHAMI KONSELING KRISTEN
BELAJAR DARI KEHIDUPAN TUHAN YESUS,
SANG KONSELOR AJAIB 
Refleksi dalam Kerangka Integrasi Teologi dan psikologi bagi pelayanan Kristiani
kepada masyarakat Indonesia

Oleh: Rudy Tejalaksana, M.K.
SEBUAH PEMIKIRAN

            Kehidupan Tuhan Yesus diakui oleh semua kalangan, termasuk mereka yang tidak percaya kepada-Nya, sebagai kehidupan yang tanpa cela. Tidak ada satu hal pun dalam hidup Tuhan Yesus yang dapat dituntut, kecuali karena kebenaran, kebaikan, dan kesucian-Nya. Bukankah karena ketiga hal itulah yang membuat Tuhan Yesus dituntut dengan hukuman mati, pertama-tama oleh para Imam dan kemudian oleh banyak orang di Yerusalem ? Sebab kebenaran, kebaikan, dan kesucian yang ditunjukkan Tuhan Yesus sangatlah berbeda dari pemahaman kaum agamis mengenai kebenaran, kebaikan, dan kesucian. Para agamawan itu terlihat begitu teologis, dan memakai pemahaman itu untuk menentang Tuhan Yesus yang kelihatannya begitu “humanis”. Perbedaan inilah yang membuat pelayanan Tuhan Yesus sangat berbeda, yang memiliki daya jangkau yang sangat luas, bahkan sampai ke ujung bumi ini. Seberapa “teologis”kah Tuhan Yesus itu, dan seberapa “humanis”kah Dia, sehingga para teolog (baca: para Imam dan Ahli Taurat) menghendaki kematian-Nya sebagai seorang penghujat ?
            Tulisan ini adalah sebuah refleksi singkat mengenai kehidupan Tuhan Yesus, sebagai seorang teolog dan konselor, yang berkarya menjangkau kehidupan manusia secara menyeluruh (holistik) dan memberi dampak yang dasyat dalam perubahan kehidupan manusia di dunia. Tulisan ini saya persembahkan kepada semua pelayan Tuhan, yang rindu menjadi alat yang efektif untuk menjangkau jiwa-jiwa di dunia; yang terluka, terpinggirkan, dan terbuang, agar mereka menemukan pengharapan yang “utuh” di dalam Kristus. Dalam konteks inilah, integrasi teologi dan psikologi menolong menyampaikan pengharapan yang “utuh” di dalam Kristus.

MEMAHAMI PENGHARAPAN YANG “UTUH” DI DALAM KRISTUS: Integrasi Teologi – Psikologi
            Dunia sekarang ini adalah dunia yang terluka, yang membutuhkan pertolongan segera. Salah satu area pelayanan yang paling dekat dan bersentuhan langsung dengan dunia yang terluka ini adalah pelayanan  konseling.[1] Pelayanan konseling sangatlah terkait dengan keberadaan ilmu psikologi, yang selama masa-masa awal keberadaannya, seringkali bersinggungan dan dianggap berlawanan dengan prinsip-prinsip kekristenan. Hal ini terlihat jelas dalam diri para tokoh-tokoh utama psikologi, yang mengesampingkan keberadaan religi dalam berbagai konsep yang dihasilkan dan dari masyarakat umumnya.[2] Hal ini membuat keberadaan psikologi cenderung dipandang kurang positif, dan “sebaiknya” dihindari. Inilah yang membuat psikologi dan teologi dipandang tidak dapat berjalan berdampingan satu dengan yang lain.
            Namun dalam tahun-tahun terakhir, kekristenan mulai lebih terbuka menerima kehadiran psikologi dalam area pelayanan, khususnya pelayanan pastoral. Konseling Kristen menjadi kekuatan baru, yang mewarnai pelayanan dunia pelayanan. Timothy Wiarda, dalam tulisannya yang berjudul Psychology and Pastoral Ministry mengatakan:
            The relation between psychology (the science and therapeutic practice that emerges from         studying people) and theology (knowledge and practice that comes through God’s revelation         in Christ and Bible) has received a good deal of attention in recent years…Much of the      literature in this area starts with the question,”How should Christian counselors go about their   work in the light of their faith ? [3]


           
 Pertanyaan Wiarda ini adalah pertanyaan hampir semua orang Kristen yang terjun ke dalam pelayanan konseling dan psikologi. Wiarda mengatakan bahwa untuk masuk ke dalam integrasi yang tepat, teologi dan psikologi harus menempatkan diri dalam posisi yang saling menghargai, dengan asumsi bahwa kedua ilmu ini adalah ilmu yang memenuhi kriteria validitas yang tinggi, sehingga proses integrasi tidak menimbulkan konflik yang cenderung destruktif.[4] Namun demikian, integrasi bukanlah mencampurkan (blend) teologi dan psikologi. Wiarda berkata, “Integration means fitting together (theology and psychology) without contradiction or competition”.[5] Oleh karena itulah, integrasi perlu diterapkan dengan hati-hati, tanpa melupakan prinsip iman di dalamnya.

Integrasi teologi – psikologi: integrasi yang sepenuh hati
            Perdebatan mengenai kehadiran psikologi, khususnya di kalangan gereja-gereja Injili masih menimbulkan pro dan kontra hingga hari ini. Meski demikian, sebagian besar konselor Kristen masih mempergunakan ilmu psikologi di dalam pelayanan konselingnya. Beberapa di antaranya memutuskan untuk meninggalkan psikologi dan beralih kepada teologi sebagai basis konseling Kristen. Banyak pihak rupanya meragukan “kemurnian” integrasi antara teologi dan psikologi. Mereka menyatakan bahwa seringkali konselor Kristen dengan mudah terjebak kepada integrasi yang setengah hati yang membuat konselor Kristen seringkali lebih dipengaruhi oleh konsep-konsep psikologi daripada konsep teologi.[6] Hal ini dianggap dapat menghambat kemurnian kekristenan di dalam area pelayanan konseling. Namun demikian Konselor Kristen yang menggunakan ilmu psikologi dalam pelayanan konseling umumnya sepakat bahwa Kristus dan iman kepada-Nya tetaplah menjadi sentral dari seluruh pelayanan konseling Kristen.[7] Gary R. Collins, seorang Psikolog Kristen, dalam bukunya yang berjudul  Can You Trust Psychology, mengatakan:
            For the Christian psychologist, the integration involves recognition of the ultimate authority        of the Bible, a willingness to learn what God has allow humans to discover through        psychology and other field of knowledge, and a desire to determine how both scriptural truths and psychological data can enable us to understand and help people.[8]

Tuhan mengijinkan hadirnya berbagai macam disiplin ilmu untuk menolong kita melakukan pelayanan dengan lebih efektif. Kehadiran psikologi dapat menolong kita memahami manusia secara lebih komprehensif dan menjadi jembatan prinsip dan penerapan Alkitab secara praktis bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Oleh sebab itu, integrasi teologi dan psikologi sangatlah berguna untuk menghadirkan pelayanan Kristen, khususnya pelayanan pastoral yang lebih efektif.

Kehadiran Integrasi Teologi – Psikologi dalam Pelayanan Pastoral.
            Kehadiran integrasi teologi – psikologi sangatlah dibutuhkan dalam ranah pelayanan praktis Kristen. Integrasi teologi – psikologi sejak semula memang tidaklah diperuntukkan bagi pelayanan di ranah perdebatan dan teoritis semata, namun jauh lebih ke dalam ranah praktis gerejawi. Salah satu pelayanan yang sangat membutuhkan kehadiran integrasi teologi – psikologi adalah pelayanan pastoral gerejawi. Pelayanan pastoral seringkali didefinisikan sebagai:
            Pastoral Ministry centres in ministering the means of grace so as to bring about spiritual            change, and directing believers in the way of godliness through the instructions and promises      of the Bible. Pastors should view the work of fostering emotional and relational health as a      secondary, context – dependent task [9]

Pelayanan pastoral bukanlah semata-mata untuk menolong klien menuju kesehatan emosi dan relasi semata, namun menolong setiap klien menemukan perubahan dan pertumbuhan rohani sehingga klien menjadi semakin serupa dengan Tuhan Yesus. Tujuan ini akan dapat dicapai lewat penerapan integrasi teologi dan psikologi yang memadai, sebab integrasi teologi dan psikologi menolong manusia melihat diri, dunia, dan berbagai fakta dengan kacamata yang lebih lengkap dan menyeluruh. Bukankah pelayanan pastoral Tuhan Yesus juga sebenarnya menyingkapkan pentingnya integrasi teologi – psikologi yang proporsional dalam dunia pelayanan Kristen? John H. Stoll, dalam artikelnya yang berjudul The Bible and Psychology berkata:
            The Bible is not a textbook on psychology, rather it is a text on God and His relationship to          mankind, whom He has created. However, in the context there is much stated in the Bible on         human behavior, and where the Bible speaks on the subject of psychology it speaks with final     authority.[10]



            Untuk melihat prinsip pelayanan pastoral di dalam Alkitab, kita perlu secara khusus melihat apa yang Tuhan Yesus lakukan dalam pelayanan pastoralnya. Dalam kisah pelayanan Tuhan Yesus di dunia ini, kita dapat melihat keunikan pendekatan pastoral bagi orang-orang yang Dia layani. Joshua Hays menyatakan bahwa Tuhan Yesus memiliki karakteristik yang unik di dalam pelayanan-Nya. Karakteristik pelayanan Tuhan Yesus adalah loving, relational, dan meaningful.[11] Di dalam seluruh pelayanan Tuhan Yesus, ketiga karakteristik ini hampir selalu muncul dan mewarnai ajaran dan pelayanan-Nya.
            Pertama: Christ - Loving God. Kasih adalah kunci dari seluruh pelayanan Tuhan Yesus di dunia. Tuhan Yesus berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk menunjukkan kasih Allah bagi dunia. Di dalam kasih-Nya, Tuhan Yesus menunjukkan belas kasihan (compassion) kepada mereka yang terlantar, terluka, ditinggalkan, teraniaya, terpinggirkan, dan tidak berdaya dengan cara yang sangat manusiawi. Dalam pertemuan-Nya dengan orang-orang “pinggiran” inilah Tuhan Yesus menunjukkan bagaimana Tuhan Yesus mempraktekkan kesucian-Nya dengan cara yang berbeda. Kisah Lukas 7:36 menunjukkan bagaimana Tuhan mengajarkan para murid dan orang farisi mengenai apa arti kasih Allah. Tuhan Yesus membenci dosa, namun mengasihi orang berdosa. Tuhan Yesus memahami pergumulan orang yang berdosa. Karena itulah, Tuhan Yesus membuka kesempatan bagi perempuan berdosa itu untuk mendapatkan pengampunan. Sikap Tuhan Yesus yang sabar dan penuh pengertian terhadap keadaan manusia membuat Tuhan Yesus menyingkapkan diri Allah yang berbeda dari apa yang dipahami oleh orang Farisi dan Ahli Taurat, yang melihat Allah sebagai Allah yang menghukum.
            Kedua: Christ - Relational God. Kehadiran Tuhan Yesus juga menyingkapkan mengenai Tuhan yang rindu memiliki hubungan pribadi dengan manusia. Relasi Tuhan Yesus selalu membangun positive personal development. Perhatikanlah apa yang Tuhan Yesus lakukan ketika berbicara dengan perempuan Samaria, atau ketika berhadapan dengan perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Tuhan Yesus bukan “Cuma” menyatakan kasih berupa pengampunan, namun juga menyediakan jembatan untuk menjalin relasi dengan mereka. Sikap-Nya membangkitkan semangat dan pengharapan bahwa selalu ada kesempatan untuk berubah dan bertumbuh. Perkataan Tuhan Yesus, “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi” kepada perempuan yang kedapatan berzinah itu menunjukkan bahwa Tuhan menyediakan jalan menuju pemulihan.[12]
            Ketiga: Christ - a meaningful life giver. Kehadiran Tuhan Yesus bukan hanya untuk menyatakan kasih, memberi pengharapan, namun juga menolong orang-orang yang ditemui-Nya untuk menemukan makna kehidupan yang lebih dalam. Kehadiran-Nya bukan hanya untuk menyatakan kesalahan saja, tapi juga mengampuni kesalahan, dan menolong orang untuk tidak melakukan kesalahan yang sama lain. Tujuan akhir dari karya Tuhan Yesus adalah bahwa setiap orang yang bertemu dengan Tuhan akan menemukan makna hidupnya secara unik, yang telah Allah sediakan sebelumnya.
            Ketiga karakteristik pelayanan Tuhan Yesus di atas dapat menolong konselor Kristen menemukan cara terbaik untuk menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia akan pemulihan atas berbagai krisis yang sedang melanda Indonesia saat ini. Inilah yang membuat Integrasi teologi (pemahaman tentang Allah) dan psikologi (gambaran tentang manusia) penting, karena menjawab kebutuhan Indonesia secara holistik.

Pelayanan konseling Kristen berdasarkan Karakteristik Sang Konselor Agung di Bumi Indonesia
            Ketiga karakteristik pelayanan Tuhan Yesus; loving, relational, dan meaningful dapat menjadi pegangan dasar bagi karakteristik konselor Kristen yang efektif menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sedang kehilangan jati diri dan keistimewaan sebagai bangsa yang beradab dan penuh sopan santun. Masyarakat Indonesia bahkan seringkali dilabelkan sebagai masyarakat yang anarkis, yang ditandai dengan kehadiran kekerasan dan kekacauan di mana-mana. Hal ini justru membuat masyarakat Indonesia semakin terluka, kebencian merajalela, pertikaian, konflik yang berkepanjangan, hubungan merenggang bahkan putus. Hal ini menimbulkan perasaan bahwa bangsa Indonesia sudah tidak menjanjikan harapan apa-apa lagi. Bangsa Indonesia sedang menuju kehancuran, yang memang sudah terlihat di depan mata – yang melanda seluruh dunia. Keadaan ini membuat bangsa Indonesia membutuhkan kehadiran Sang Konselor Agung, Tuhan Yesus, yang direpresentasikan oleh kehadiran dan pelayanan konselor-konselor Kristen – yang mempraktekkan kebenaran Allah (Alkitab) dengan cara yang sangat manusiawi (psikologi).
            Pertama: Share God’s love. Salah satu tujuan utama konseling Kristen adalah membagi kasih Kristus kepada mereka yang berbeban berat, terluka, dan merindukan pertolongan. Masyarakat Indonesia benar-benar sedang di ambang kehancuran akibat kehidupan demokrasi yang ke-bablas-an. Lihat saja generasi Indonesia pada zaman modern ini. Generasi yang berkembang sekarang adalah generasi yang keras, tegang, dan penuh amarah. Generasi yang sebenarnya sedang berteriak meminta pertolongan akibat kekosongan hati yang begitu kronis. Dr. Paul Gunadi, seorang psikolog Kristen mengatakan bahwa generasi ini adalah generasi borderline.[13] Keluarga-keluarga sedang mengalami krisis yang begitu akut, tekanan yang begitu kuat, namun kehilangan kasih, yang sebenarnya dibutuhkan sebagai tiang penyangga untuk menghadapi berbagai problem kehidupan tersebut.
            Kemampuan untuk mengasihi adalah salah satu karakteristik utama dari pelayanan konselor Kristen. [14] Banyak orang memiliki kemampuan dan bekal teknik konseling yang memadai. Namun, tidak banyak orang yang memiliki kemampuan untuk mengasihi. Bahkan, seringkali seseorang yang memiliki latar belakang akademik yang paling hebat justru menjadi seorang terapis yang paling buruk ketika dia tidak memiliki kemampuan untuk mengasihi dalam pelayanan konselingnya.[15] Konseling menolong setiap orang menemukan tempat pertolongan, teman berbagi, dan dorongan untuk menemukan jalan keluar. Di saat seperti itulah kasih benar-benar dibutuhkan. Konseling Kristen menghadirkan kasih yang dibutuhkan. Hal itulah yang membuat konseling dan semua teknik di dalam nya menjadi konseling yang efektif dan berhasil.
            Kedua: Building true relationship. Pelayanan konseling Kristen memerlukan kerinduan untuk membangun true relationship antara konselor dengan klien. Yang dimaksud dengan true relationship adalah kemampuan konselor untuk melakukan pelayanannya dengan tulus, terbuka, jujur, apa adanya, dan transparan. Hal ini mendorong konselor untuk memiliki kehidupan yang berani dilihat. Ketika konselor membuka hidupnya, maka klien akan terdorong untuk melakukan hal yang sama – berani dilihat dan mulai menjalani hidup yang transparan.[16] Hal ini akan menolong konselor untuk “memasuki” area yang selama ini ditaruh konseli di tempat yang tersembunyi. Di sinilah relasi berlangsung. Bukankah ini pula yang terjadi di dalam pelayanan konseling yang dilakukan oleh Tuhan Yesus ? Bahwa hidup Tuhan Yesus yang transparan dan apa adanya telah menolong semua orang “berdosa” untuk dengan berani mendekati Tuhan Yesus ? Di dalam keadaan inilah relasi yang benar terbangun. Relasi yang jujur, terbuka, apa adanya. Proses inilah yang membuat konseling menjadi sarana pelayanan yang efektif. Bukankah banyak kasus kesehatan mental dimulai dari hancurnya relasi di dalam keluarga asal klien ? Bukankah salah satu kebutuhan utama dari klien adalah kebutuhan akan true relationship ? Bukankah inilah kebutuhan begitu banyak orang di Indonesia ? True relationship menolong seseorang merasa diterima, dikasihi, dan dianggap penting sehingga mendorong seseorang meningkatkan self-esteem dan self-concept yang lebih positif. Konselor Kristen menyadari bahwa true relationship hanya dapat dijalin dengan kehadiran Tuhan Yesus di tengah-tengah relasi tersebut. Tuhan memanggil para konselor untuk menyatakan kehadiran Tuhan, bukan hanya lewat perkataan, namun lewat tindakan kasih yang benar-benar dibutuhkan oleh klien.
            Ketiga: Offering a meaningful life - Kehadiran konselor Kristen menghadirkan makna yang dalam (meaningful)  bagi kehidupan klien. Karena itulah, pekerjaan seorang konselor Kristen bukan hanya sebatas menolong klien untuk menyelesaikan masalah psikologis klien semata, namun menolong klien melihat kebutuhan diri yang lebih dalam, yaitu kebutuhan rohaninya. Hal ini terjadi karena di dalam pemenuhan kebutuhan rohanilah, seseorang menemukan makna hidupnya dengan sangat mendalam. John H. Stoll, menyatakan:
An important factor in helping a person live a useful life is the knowledge that there is purpose in life. Life is meaningless unless there is purpose to it. In Philippians 1:21, Paul states, "For to me to live is Christ and to die is gain." Here is the thought of personal identification with Christ. The ultimate for the Christian is one's seeking to achieve the will of God in and through his own life. With this in mind a person seeks to translate God's plan for his life into understandable terms for himself, as well as for others. A sense of values in the Christian experience is imperative, for if there are no standards or values, life loses its relevance. On the other hand, when one is clear as to standards and values, these serve to direct rather than repress a person.[17]

Konselor Kristen menolong klien bukan saja menyelesaikan problem yang sedang dihadapinya, namun juga menolong klien untuk menemukan makna hidupnya yang sebenarnya. Kehadiran Tuhan Yesus dan firman-Nya di dalam teknik konseling menolong seseorang meneropong hidup dengan lebih detail, yaitu bahwa kebutuhan rohani adalah kebutuhan yang harus dipenuhi dan mempengaruhi seluruh kehidupan klien selanjutnya. Ketika klien menemukan makna hidupnya, klien menemukan bahwa banyak hal-hal yang dahulunya merupakan masalah besar, justru merupakan “bumbu pemanis” kehidupan setelah seseorang bertemu dengan Kristus dan menemukan makna hidup di dalam-Nya.
            Kebutuhan akan makna hidup adalah kebutuhan yang dialami oleh sebagian besar manusia di Indonesia. Manusia Indonesia membutuhkan pertolongan, bukan hanya untuk keluar dari kemiskinan, dan krisis moral yang besar terjadi, namun kebutuhan akan penemuan makna hidup di dalam Tuhan. Kehadiran konselor Kristen adalah kehadiran garam di tengah dunia yang sedang membusuk, dan sebagai terang di tengah dunia yang gelap. Menolong dunia menemukan makna hidup yang sebenarnya di dalam kebenaran Tuhan. Di sinilah peran integrasi teologi – psikologi, menghadirkan Tuhan lewat pendekatan manusiawi untuk memulihkan manusia secara utuh dan menyeluruh; fisik, jiwa, dan rohani.

Konklusi:
            Suatu hari seorang anak bertanya kepada saya, “Seandainya Tuhan Yesus hidup pada zaman modern ini, bagaimanakah hidup Tuhan Yesus ? Apakah Tuhan Yesus juga akan mengalami stres ?” (seperti yang sebagian besar kita alami, meskipun dengan kadar dan masalah yang berbeda-beda). Dengan tersenyum saya menjawab, “Tuhan Yesus adalah Tuhan yang menjelma menjadi manusia. Dia mengalami hal yang sama persis yang kita alami. Dia merasa lapar, haus, lelah, mengantuk, di tengah-tengah pekerjaan-Nya yang begitu banyak. Apalagi banyak orang farisi dan ahli taurat tidak menyukai-Nya, selalu ingin mencelakakannya. Tuhan Yesus pasti banyak menghadapi tekanan hidup. Stress adalah tekanan dalam hidup kan ? jadi Tuhan Yesus mungkin sekali juga mengalami stres. Tapi apakah Tuhan Yesus kehilangan kebahagiaan-Nya ? sukacita-Nya ? selera humor-Nya ? semangat hidup-Nya ? tujuan dan panggilan hidup-Nya ? sama sekali tidak. Bahkan di tengah-tengah pergumulan terbesar, ketika harus menanggung dosa manusia di kayu salib, Tuhan Yesus tetap memiliki ketenangan yang luar biasa untuk menanggung semua itu. Apa yang membuat Tuhan Yesus dapat hidup begitu tegar ? Tujuan hidup-Nyalah  yang menjadi api yang membakar semangat-Nya untuk berjuang menghadapi hidup dan mati di kayu salib.
            Bagaimana dengan hidup kita sekarang ini ? Kita hidup di tengah-tengah  zaman yang menganut faham selfisme,  segala sesuatu adalah untuk diri sendiri. Semua usaha manusia adalah untuk memuaskan ambisi, hasrat dan keinginan diri sendiri. Segala sesuatu adalah untuk diri sendiri. Ketika hal itu tidak tercapai, manusia mengalami putus asa, kehilangan pengharapan dan akhirnya mati dalam keadaan sia-sia. Bila fokus hidup kita adalah untuk diri kita sendiri, kita akan hidup di dalam stres, tekanan, dan akhirnya hidup di dalam ketidakbahagiaan.  Di tengah-tengah zaman yang menganut selfisme ini, Tuhan Yesus memanggil kita untuk datang kepada-Nya dan hidup bagi-Nya. Ketika dunia mendorong semua manusia untuk mengambil segala sesuatu dan sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri, Tuhan Yesus memanggil kita untuk memberi sebanyak-banyaknya. Hidup adalah memberi diri, seperti Kristus memberi diri – seluruhnya - untuk kita. Ketika fokus hidup kita adalah memberi sebanyak-banyaknya, maka tidak akan ada sesuatupun yang akan kita sesali ketika banyak hal diambil dari diri kita. Hidup akan lebih menyenangkan, penuh semangat, dan bergairah karena kita hidup bukan untuk diri kita sendiri lagi, melainkan untuk Kristus dan sesama kita (II Kor 5:14-15). Stres akan menjadi bumbu penyedap rasa dalam mengikuti dan mengiring Tuhan Yesus yang mendorong kita untuk lebih bergantung kepada Tuhan. Selamat menikmati menjadi pemberi berkat bagi orang lain, menjadi konselor yang menghadirkan Kristus di tengah-tengah kehidupan yang sulit, bahkan di tengah-tengah penderitaan sekalipun. Selamat menjadi berkat di dalam pelayanan konseling. menghadapi tekanan hidup dengan bahagia.

 DAFTAR PUSTAKA
Collins, Gary R., Can You Trust Psychology. Illinois: InterVarsity Press, 1988.

Farris, James R. (ed), Pastoral Care and Counseling: An Asian Perspective -  International Perspectives    on Pastoral Counseling. New York: The Howorth Press, 2002.

Gunadi, Paul. Generasi Borderline – Bahan Ceramah Christian Counseling (Malang: Seminari Alkitab     Asia Tenggara.

Hays, Joshua. “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”,             http://www.bgst.edu.sg/mainsite/images/stories/pdf/applied_theology.pdf.

Wiarda, Timothy. “Psychology and Pastoral Ministry”, http://www.ttc.edu.sg/csca/CS/2004-        Dec/Psychology%20and%20PM.pdf.

Stoll, John H. “The Bible and Psychology”, http://www.leaderu.com/offices/stoll/psychology.html.

 END NOTES
[1]Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”, http://www.bgst.edu.sg/mainsite/images/stories/pdf/applied_theology.pdf.
[2] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”.
[3] Timothy Wiarda, “Psychology and Pastoral Ministry”, http://www.ttc.edu.sg/csca/CS/2004-Dec/Psychology%20and%20PM.pdf
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”
[8] Gary R. Collins, Can You Trust Psychology (Illinois: InterVarsity Press, 1988) 127
[9] James R. Farris (ed), Pastoral Care and Counseling: An Asian Perspective -  International Perspectives on Pastoral Counseling(New York: The Howorth Press, 2002) 178-179.
[10] John H. Stoll, “The Bible and Psychology”, http://www.leaderu.com/offices/stoll/psychology.html.
[11] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”
[12] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”
[13] Paul Gunadi, Generasi Borderline – Bahan Ceramah Christian Counseling (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara) 1
[14] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] John H. Stoll, “The Bible and Psychology”, http://www.leaderu.com/offices/stoll/psychology.html.


Saturday, December 26, 2009

Belajar Psikologi: "Siapakah Manusia ?"


 SERI BELAJAR PSIKOLOGI

”SIAPAKAH MANUSIA ?”
MEMAHAMI KEUNIKAN ”DIRI” MANUSIA
(study dari teori Carl Roger berdasarkan terang Alkitab)


Oleh: Rudy Tejalaksana, M.K.

PENDAHULUAN
Pertanyaan mengenai “Siapakah manusia ?” menjadi pertanyaan yang sepertinya tidak pernah ada habisnya. Sepanjang sejarah, manusia terus berusaha untuk mencari berbagai cara “kreatif” untuk menemukan jawaban yang paling tepat atas pertanyaan ini. Namun kenyataannya, semakin manusia mencoba mencari jawabannya, manusia semakin tidak menemukan jawabannya. Manusia mencari jawaban mengenai dirinya di tempat yang salah. Manusia mencari jawaban di dalam berbagai disiplin ilmu; psikologi, sosiologi, dan bahkan agama, yang tidak kunjung memberi jawaban yang diharapkan. Manusia tidak akan pernah benar-benar menemukan jawaban “Siapakah manusia ?” tanpa melibatkan Tuhan di dalamnya. Tuhan adalah pencipta manusia. Di dalam Pribadi Agung itulah kita akan menemukan jawaban mengenai diri manusia. Semua ilmu lain hanyalah sebagai refleksi keagungan dan kemuliaan Allah. Semua ilmu menjadi cara natural Allah berbicara dan menuntun manusia untuk menemukan dirinya di dalam DIA. Tulisan ini ingin memberi penegasan yang sama, bahwa Tuhan adalah sumber dari pengetahuan dan pengenalan akan diri manusia, dan ilmu pengetahuan (dalam hal ini ilmu psikologi) adalah refleksi keagungan-Nya

Dalam tulisan ini, kita akan menyoroti apa yang Alkitab dan psikologi modern katakan mengenai diri (self) manusia dan kemudian mencoba menemukan benang merah untuk memahami manusia dengan lebih holistik dan menyeluruh berdasarkan terang Firman Tuhan. Dengan demikian kita akan semakin memahami dan mengenal keunikan diri manusia, mensyukurinya dan menghidupinya sesuai dengan rencana dan karya Allah sejak semula manusia diciptakan.

PANDANGAN ALKITAB MENGENAI “DIRI” MANUSIA
John Calvin, dalam bukunya Institutio, pernah mengatakan bahwa, “Tanpa pengenalan akan Allah, tak ada pengenalan akan diri sendiri”.1 Calvin ingin memberi penekanan penting mengenai posisi manusia di hadapan Allah. Manusia adalah ciptaan Allah yang mulia, dan diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah (Kej 1:27). Manusia hanya dapat mengenal dirinya ketika dia mengenal Penciptanya. Pengenalan akan Allah memberi cahaya yang terang bagi manusia untuk meneropong kedalaman diri dan menemukan diri yang sesungguhnya.
Alkitab berkata bahwa Allah adalah sumber dari segala sesuatu (Ef 3:9, I Kor 8:6, Kol 1:15-17, Rom 14:14, I Kor 8:4-6). Dia adalah pencipta, yang menopang alam semesta dan menjadi sumber pemberi hidup bagi segala sesuatu (I Tim 6:13). Di antara semua ciptaan, penciptaan manusia adalah puncak dari segala karya terbaik Allah.2 Manusia adalah masterpeace Allah, satu-satunya yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Dari kisah-kisah awal penciptaan manusia (Kej 1 dan 2), kita dapat merasakan kedekatan hubungan antara Allah dan manusia. “Persahabatan” Allah dan manusia menghasilkan ikatan kasih yang kuat dan manusia mengimplementasikan diri kepada Allah dengan ketaatan melakukan kehendak Allah.

J. Knox Chamblin, yang banyak menyelidiki tulisan Paulus, mencoba menyelidiki apa yang Paulus pahami mengenai “diri” manusia. Sebagai mahkota ciptaan Allah, manusia dipahami sebagai diri sebagai suatu satu keutuhan yang terinterasi (The self unity in diversity).3 Di dalam Alkitab, manusia seringkali dipandang sebagai pribadi yang terdiri dari dua unsur penting, yaitu sebagai mahkluk jasmani (corporeal) dan mahkluk rohani (incorporeal). Mahkluk jasmani dipandang sebagai makhluk daging (soma atau sarks- II Kor 4:10-11, I Kor 5:3, II Kor 12:7), yaitu tubuh manusia yang di luar dan kasat mata. Sedang sebagai makhluk rohani, kata yang digunakan Allkitab secara bergantian (interchangeable) adalah kata roh (pneuma – I Kor 5:3), hati (kardia – I Tes 2:17) dan pikiran (nous – I Kor 14:14-16).4 Chamblin menyatakan, “Meski terdapat perbedaan antara yang jasmaniah dan rohaniah, aktifitas dinamis di antara kedua unsur ini menyatakan kesatuan diri manusia”.5 Inilah keseluruhan “diri” manusia. Aktifitas apapun dimulai dari dimensi internal (bagian rohani, hati, pikiran, jiwa), tetapi aktifitas itu barulah lengkap bila dimensi jasmaniah aktif (Rom 12:1-2). Dua unsur ini selalu ada di dalam satu kesatuan, yang membentuk diri manusia. Dalam kesatuan jasmani dan rohani itulah Tuhan mempercayakan rencana-Nya atas alam di tangan manusia. Cecil G. Osborne, seorang konselor Kristen, mengatakan, “….sebenarnya setiap aspek kehidupan itu adalah suci. Manusia yang diciptakan segambar dengan Allah itu suci; dan tubuh jasmaninya menurut Alkitab adalah bait Roh Kudus. Allah menciptakan alam semesta pun dengan maksud yang kudus”.6 Manusia dan seluruh ciptaan lainnya disiapkan Allah untuk menggenapi rancangan Allah yang suci atas hidup manusia, dan bertujuan untuk memuliakan Allah , Pencipta dan Penguasa segala sesuatu. Manusia diciptakan bagi kemuliaan Allah.

Namun ketika dosa datang, manusia kehilangan kemuliaan Allah yang melekat dalam diri mereka. Gambar dan rupa Allah menjadi rusak (Roma 3:23 dan begitu keji memenjarakan manusia dalam perhambaan dosa (Rom 3:9, Gal 3:22), secara turun temurun sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa (Rom 5:12-21).7Dalam pandangan Tuhan, dosa Adam adalah dosa seluruh keturunannya, sehingga semua keturunan Adam dilahirkan sebagai orang berdosa, yaitu dalam keadaan bersalah dan tercemar. Semua orang dilahirkan dengan natur yang rusak dan tercemar.8 Dosa mencengkeram keseluruhan diri manusia. Semua bagian hidup manusia, baik pneuma (roh), nous (pikiran), maupun kardia (hati) ikut tercemar dan terikat kepada dosa, yang membuat semua manusia memiliki kecenderungan untuk hidup di dalam kefasikan dan melawan Tuhan (Rom 1:18-32).9 Hidup manusia mengalami distorsi dari rencana Allah semula. Manusia hidup melawan Tuhan, menjadi musuh Tuhan dan menjadi budak dari dosa yang berakhir dengan maut (Rom 6:23). Dosa yang berakhir dengan maut itu membawa manusia kehilangan tiga relasi terbaik dalam hidupnya.10

Pertama: Manusia kehilangan relasinya dengan Allah. Akibat kehilangan relasi ini adalah manusia tidak dapat lagi mengenal Allah (I Tes 4:5, Gal 4:8, II Tes 1:8) dan harus menerima hukuman kekal – selamanya terpisah dari Allah (Rom 1:18, Ef 2:1-3). Suatu kehilangan yang mengerikan, karena kehilangan ini berarti kehilangan segala hal dalam hidup. Manusia akan masuk kedalam kematian kekal selama-lamanya.
Kedua: Manusia kehilangan relasi dengan dirinya sendiri. Manusia yang kehilangan relasi dengan Allah akan mengalami kehilangan relasi dengan dirinya sendiri. Dosa memperbudak manusia sehingga manusia tidak mampu lagi melihat rancangan Allah dan mentaati-Nya. Manusia mencari jalannya sendiri, diperbudak oleh dirinya sendiri. Manusia menjadi Allah untuk dirinya sendiri (I Kor 1:18-31, 3:18-21, II Kor 10:5). Diri manusia menyimpang sedemikian jauh dari rencana Allah semula. J. Knox Chamblin berkata:

Diri adalah mahkota ciptaan Allah, satu-satunya ciptaan yang Allah jadikan menurut gambar-Nya, di situlah terletak kualitas-kualitas yang membuat manusia, bahkan setelah jatuh di bawah kuasa dosa, masih bisa dengan layak menghargai dirinya. Namun karena gambar ini harus menyatakan diri secara benar dalam persekutuan dengan Allah serta penyerahan diri kepada Allah, sementara diri saat ini telah menjadi tuan dan hamba bagi dirinya, maka refleksi ilahi yang sejati pada cermin manusia telah pecah berantakan11

Ketiga: Manusia kehilangan relasi dengan orang lain. Manusia yang berdosa terasing dari orang lain. Dosa membuat manusia hidup menempatkan diri di atas manusia yang lain, dalam berbagai bentuk. Dosa membuat manusia saling menggigit, saling membinasakan, dan menghancurkan (Gal 5:15). Hal ini menimbulkan penderitaan yang luar biasa dalam hidup manusia.

Apakah yang terjadi dengan diri manusia ketika manusia kehilangan ketiga hubungan paling penting dalam hidup ? Penderitaan, kesengsaraan, dan kematian diri yang tidak terperikan. Manusia kehilangan diri yang sebenarnya. Diri yang sebenarnya telah terdistorsi oleh dosa. Manusia tidak mengenal dirinya lagi, hidup di dalam duka, penderitaan, sakit, dendam, kemarahan, permusuhan, dan sebagainya akibat dosa. Dosa menggerogoti hidup manusia. Keadaan diri manusia ini membuat hati Tuhan benar-benar berduka di tempat-Nya yang kudus itu. Duka Tuhan menghasilkan tindakan aktif yang paling mengagumkan dalam sepanjang sejarah manusia. Tuhan sangat mengetahui kondisi diri manusia. Alkitab berkata:
Firman itu telah menjadi manusia, dan tinggal di antara kita… Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan melalui Dia, tetapi dunia tidak mengenal-Nya… Namun semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah… Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima anugerah demi anugerah (Yoh 1:14, 10, 12, 16).12

Allah yang menciptakan dan menguasai segala sesuatu, sekarang datang kepada ciptaan-Nya yang terbelenggu dosa. Allah menjelma menjadi manusia dan tinggal bersama manusia. Tuhan Yesus, Sang Allah yang menjelma menjadi manusia menawarkan pengampunan dan penerimaan Allah atas manusia berdosa. Kayu salib menjadi lambang anugerah itu, karena Allah tahu bahwa manusia tidak akan dapat menolong dirinya sendiri dari kutuk dan cengkeraman dosa. Allah menawarkan keselamatan secara cuma-cuma, sebab semua hutang dosa telah dibayar di kayu Salib. Kayu salib menjadi jembatan bagi manusia untuk kembali datang kepada Allah. Kayu salib menjadi lambang Allah menerima manusia kembali, menyediakan tangan terbuka bagi semua yang percaya kepada Kristus yang tersalib (Yoh 3:16, 1:12). Penerimaan Allah inilah yang memberi kesempatan kita kembali menemukan diri yang sebenarnya di dalam Tuhan. Kita menjadi anak-anak-Nya dan memiliki kesempatan untuk mengenal Allah. Semakin kita mengenal Allah, kita semakin mengenal diri kita sendiri. Bukankah kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah ? Relasi manusia dengan Allah diperbaharui, yang memberi dampak perbaikan hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan orang lain. Yesus Kristus adalah jalan pembuka bagi kita menjadi manusia baru, dipersatukan kembali dengan Allah supaya kita menemukan kembali diri yang sebenarnya, dan hidup sesuai dengan rencana Allah yang kekal, yang dipersiapkan sebelum dunia dijadikan bagi kemuliaan-Nya.

TEORI “DIRI” CARL ROGERS
Carl Rogers, bersama Abraham Maslow adalah tokoh utama gerakan psikologi humanistik dunia yang begitu terkenal. Bahkan para ahli mengatakan bahwa Carl Rogers adalah pionir perubahan dan perkembangan dalam berbagai segi kehidupan dalam budaya Amerika.13 Tulisan-tulisannya banyak memberi inspirasi diberbagai segi hidup, mulai dari bisnis, keluarga, pendidikan, sampai kepada terapi psikologis. National Opinion Survey of American Counseling and Clinical psychologists, yang dipublikasikan tahun 1982 memberi Rogers predikat sebagai psychotherapy's most influential figure. Mengapa ? karena pendekatannya yang sangat kuat menekankan mengenai diri (self) manusia.14

Berikut ini adalah konsep yang dikemukakan Carl Rogers mengenai self manusia:

1.Pandangan Rogers bahwa manusia memiliki potensi untuk sehat dan tumbuh kreatif dan bagaimana faktor pengaruh orang tua dan pengaruh sosial memberi dampak, termasuk kegagalan pertumbuhan secara maksimal.
Carl Rogers melihat manusia dengan penuh harapan dan optimis. Seluruh teori Rogers dibangun dari satu force of life, yang disebut the actualizing tendency.15 Rogers yakin bahwa dalam diri setiap orang terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat, tumbuh secara kreatif dan mengaktualisasi dirinya.16 Orang tua dan lingkungan sosial sangat mempengaruhi terwujudnya potensi-potensi ini. Namun kesadaran dan tanggung jawab pribadi akan menolong seseorang muncul sebagai pribadi yang baru, yang penuh kesadaran, yang berani menjelajah diri dan dunia batin dengan lebih realistis. Pengalaman, perasaan, nilai-nilai pribadi, dan ekspresi kehidupan batin lainnya menjadi penekanan Rogers yang penting. Dengan menekankan mengenai organisme dan diri (self) sebagai pusat teori, Carl Rogers mengatakan, ” This theory is basically phenomenological in character, and relies heavily upon the concepts of the self as an explanatory construct. It pictures the end point of personality development as being a basic congruence between the experience and conceptual structure of the self… and the establishment of an individualized value system having considerable identity with the value system of any other equally well adjusted member of the human race”.17

Rogers juga menekankan bahwa manusia pada dasarnya baik dan dan positif di dalam melihat manusia; diri sendiri maupun orang lain. Rogers memang tidak membagi atau memberi jadwal atau tugas perkembangan sesuai dengan tahap usia yang harus dilewati, dari bayi hingga dewasa. Rogers lebih memusatkan perhatiannya kepada cara-cara orang-orang memberi penilaian kepada individu, khususnya selama masa kanak-kanak. Penilaian dan penghargaan positif akan membuat individu berpenyesuaian baik dan dapat menjadi fully functioning person, meski kita perlu berhati-hati bahwa hal ini seringkali dapat akan menimbulkan ketidaksesuaian antara organisme dan diri. Rogers menyatakan faktanya bahwa penilaian yang diberikan kepada anak (khususnya terhadap tingkah laku) kadang-kadang bernada positif, namun juga sering bernada negatif. Rogers mengatakan hal ini membuat anak belajar membedakan perbuatan-perbuatan dan perasaan yang berharga (yang disetujui) dan yang tidak berharga (yang tidak disetujui). Hal ini baik, namun juga menimbulkan konsep diri18 yang tidak selaras dengan pengalaman organisme. Anak berusaha melakukan apa yang disetujui saja dan membuang hal-hal yang tidak disetujui. Fokus diri berpindah dari mengembangkan diri dan organismenya menjadi pengejaran kepada syarat-syarat penghargaan dari orang lain. Hal ini membuat terdistorsinya konsep diri.19 Hal ini akan membuat diri merasa tegang, merasa tidak enak, dan bahkan memiliki dan mengembangkan konsep diri yang kabur.(mana diri yang sebenarnya ?). Konsep diri semakin menyimpang, justru disebabkan karena penilaian orang lain terhadap diri kita.

Rogers mengatakan bahwa menyangkal suatu pengalaman berarti memalsukan realitas baik dengan mengatakannya ”tidak ada” (denial – Freud: repression) atau dengan mempersepsikannya secara menyimpang (perception distortion – Freud: rationalization).20 Semakin menyimpang persepsi itu membuat gap antara real self dan ideal self menjadi semakin besar, yang membuat inkongruensi semakin besar, sehingga keadaan semakin mengancam, meningkatkan kecemasan. Kecemasan menimbulkan gap yang lebih besar lagi, inkongruensi meningkat, kecemasan semakin bertambah besar. Vicious Circle of struggles21 ini tidak pernah ada habisnya dan membelenggu seseorang, yang akhirnya menjadi penderita neorosis dan bahkan psikosis (ketika pertahanan diri sudah tidak mampu menghadapi pergumulan besar) di kemudian hari. Rogers mengatakan bahwa orang-orang kerapkali mempertahankan dan mengembangkan dengan gigih gambaran diri yang sama sekali berbeda dengan kenyataan. Rogers mengatakan bahwa orang yang merasa dirinya tidak berharga, cenderung mencari pembenaran dan penegasan terhadap ketidakberhargaan dirinya tersebut. Contohnya seorang (yang merasa tidak berharga) mendapat promosi untuk jabatan pekerjaan yang lebih tinggi dan prestisius dapat mengatakan pada diri sendiri, ”Bos mempromosikan saya untuk pekerjaan ini karena dia pasti kasihan kepada saya. Saya tidak pantas menerimanya”. Orang tersebut mungkin malah menunjukkan prestasi buruk untuk menegaskan dan membuktikan bahwa dia benar-benar tidak layak mendapat posisi itu.

2.Pandangan Rogers mengenai kongruensi dan inkongruensi
Carl Rogers menekankan mengenai keselarasan dan ketidakselarasan antara organisme dan diri dalam hampir semua dari 19 presuposisi teorinya mengenai kepribadian manusia. Apabila organisme dan diri berada dalam posisi kongruen (pengalaman yang membentuk diri benar-benar mencerminkan pengalaman-pengalaman organisme, kesingkronan medan fenomenal dan dunia, dan kesesuaian real self dengan ideal self22) maka orang disebut sebagai orang yang matang (sehat), berfungsi, dan dapat menyesuaikan diri dengan baik. Orang semacam ini akan kurang merasakan ancaman atau kecemasan sehingga memiliki kesempatan untuk mengaktualisasi diri dengan lebih bebas dan luas. Sebaliknya, bila organisme dan diri berada dalam posisi inkongruen, seseorang cenderung cemas, defensif, merasa terancam, tidak aman, sempit, kaku, dan menyangkal pengalaman yang dihadapi.23 Hal ini akan membuat self menjadi terdistorsi. Semakin terdistorsi, semakin bermasalahlah self.
Rogers menyatakan kondisi kongruen antara diri dan organisme menghasilkan pribadi yang matang, mampu menyesuaikan diri dengan baik, serta berfungsi secara penuh dalam kehidupan, termasuk dalam hubungan dengan orang lain. Namun inkongruensi antara diri dan organisme menimbulkan sikap defensif dan distorsi, yang sedikit banyak sangat mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain.24 Rogers berkata, ”Incongruency between the self as perceived and the actual experience of the organism resulting (in possible) defensive, confusion, tension, and maladaptive behavior.25 Sikap defensif cenderung menjadi pembatas yang menimbulkan kecurigaan, tidak mempercayai orang lain, dan tidak membiarkan orang lain masuk ke dalam kehidupan kita. Pengalaman mengijinkan orang masuk ke dalam kehidupan kita menjadi threatening situation, yang menimbulkan kecemasan, yang menjadi alarm ketakutan terhadap sesuatu yang di depan. Pengalaman masa lalu; ditinggalkan, disia-siakan, ditolak membuat pengalaman berhubungan dengan orang lain menjadi pengalaman menakutkan, karena kecemasan kita akan diperlakukan sama seperti apa yang dialami pada masa lalu. Rogers mengatakan orang seperti ini cenderung melakukan perceptual distortion26, yang berfungsi untuk mengurangi kecemasan, namun mengakibatkan inkongruensi yang lebih dalam antara diri dan organisme. (Roger menggunakan istilah keretakan antara diri dan organisme). Kecemasan inilah yang menimbulkan sikap defensif, yang menghalangi hubungan antar pribadi secara erat dan terbuka.

3.Pandangan Rogers mengenai kebutuhan penghargaan positif dan menemukan diri yang sebenarnya
Rogers memberi jalan keluar yang indah dari keadaan keretakan diri dan organisme ini, yaitu dengan unconditional Positive regard, yang memberi ruang yang aman, penerimaan yang positif untuk mengeksplorasi diri dalam rangka menemukan real self. Penerimaan dan penghargaan terhadap diri yang positif (Unconditional Positive Regard) akan memberi ruang untuk bergerak, merasa aman, kecemasan berkurang, kemampuan mengeksplorasi diri meningkat, sehingga keadaan yang inkongruen, dapat dibawa kepada keadaan yang kongruen, yang membuat seseorang memiliki lingkungan yang kondusif untuk bertumbuh secara kreatif dan sehat sehingga memiliki kesempatan yang luas untuk mengaktualisasi diri dan menjadi fully functioning person.27 Hal ini akan membuat seseorang akan menjadi lebih bersatu dengan dirinya sendiri sebagai organisme. Hal ini akan memberi keuntungan sosial dari menerima dan mengolah pengalaman-pengalaman (bahkan yang tidak dilambangkan (sengaja atau tidak) sehingga orang lebih memahami dan menerima orang lain.28 Rogers berkata, ”When the individual perceives and accepts into one consistent and integrated system all his sensory and visceral experiences, then he is necessarily more understanding of others and is more accepting of others as separate individual”.29

Menurut Rogers, ada beberapa unsur penting untuk membangun dan menemukan real self dalam diri seseorang. Setiap manusia ingin mengaktualisasi dirinya dengan bebas. Aktualisasi diri itu sangat ditentukan oleh cara seseorang melakukan organismic valuing khususnya mengenai penilaian terhadap pengalaman-pengalaman penting dan utama dalam hidup. Untuk melakukan organismic valuing dengan tepat seseorang memerlukan positive regard, yang berupa pemenuhan kebutuhan akan kasih, afeksi, perhatian, pengasuhan yang baik, dan sebagainya. Positive Regard ini tentu saja membangun positive self-regard dalam diri seseorang, yaitu tumbuhnya penghargaan diri, perasaan diri berharga dan gambar diri yang positif, sehingga akhirnya mampu menemukan real self (diri yang diharapkan). Orang yang tidak memiliki positive self regard cenderung menjadi seorang yang merasa dirinya kecil, tidak berharga, tidak pantas dikasihi, dan akhirnya gagal menjadi seseorang yang maksimal sesuai keunikan dirinya.30

Di samping real self, Rogers juga mengemukakan mengenai ideal self. Diri kita juga dibentuk oleh masyarakat (society). Masyarakat memberi condition of worth bagi diri kita. Ada syarat-syarat yang diajukan oleh masyarakat yang harus kita patuhi / jalani untuk mendapatkan sesuatu yang kita butuhkan / inginkan. Karena kita membutuhkan positive regard, kita juga mencari hal itu juga di dalam masyarakat. Masyarakat memberi kita condition positive regard, yaitu bahwa ada syarat / tuntutan tertentu yang harus dipenuhi untuk mendapatkan positive regard ini. Ketika seseorang memenuhi syarat-syarat tertentu ini, dia akan merasa puas dengan dirinya, mulai menyukai dirinya. Namun masalahnya, hanya sedikit orang yang akan sampai kepada ideal self ini. Selebihnya akan merasa tertekan, dan tidak sedikit yang kemudian hidup di dalam self esteem yang rendah karena kegagalan memenuhi syarat yang diajukan masyarakat. Rogers menyatakan bahwa inkongruensi antara real self dan ideal self ini akan menghasilkan tekanan mental, psikologis, yang cenderung neurotik, yang tentu saja mengganggu semua proses pengkonsepan diri yang benar dan sehat.

Karena itu, Rogers membangun teknik terapi yang berpusat kepada klien yang disebut client centered therapy. Dalam terapi ini orang menemukan dirinya berada dalam situasi yang tidak mengancam karena konselor sepenuhnya menerima apa yang dikatakan klien dengan memberi unconditional positive regard.31 Penerimaan dan rasa aman ini memberi lingkungan yang atmosfer bagi klien untuk mulai meneliti perasaan yang telah sekian lama disimpan dalam ketidaksadarannya dan membuat perasaan-perasaan itu menjadi sadar. Mereka mulai meneliti perasaan-perasaan yang selama ini cenderung dirasakan sebagai ancaman. Menurut Rogers, rasa aman itu membuat seseorang mengasimilisi perasaan-perasaan (yang mengancam) ke dalam struktur diri sehingga terjadi reorganisasi (pengaturan kembali) yang drastik dalam konsep dirinya sehingga self menjadi lebih sinkron dengan realitas pengalaman organisme yang dialaminya.32 Hal ini membuat seseorang masuk ke dalam fully functioning life, yang ditandai dengan beberapa hal berikut:. Pertama: Openness to experinces.Seseorang akan lebih terbuka terhadap pengalaman-pengalaman yang dialaminya. Seseorang harus fleksibel untuk menyesuaikan diri secara tepat terhadap kondisi kehidupan yang berubah.33 Kedua: Existential living. Seseorang akan selalu hidup dalam here and now focus, hidup dalam realitas yang sebenarnya. Ketiga: Organismic trusting. Rogers juga proses organismic valuing yang melibatkan real self untuk meneliti dan menilai pengalaman organisme yang terjadi. Rogers berkata, “Trust your real self, and you can only know what your real self has to say if you are open to experience and living existentially!  In other words, organismic trusting assumes you are in contact with the actutalizing tendency.34 Keempat: Experiential freedom. Seseorang memiliki kesempatan dan kebebasan untuk memilih, namun juga bertanggung jawab atas semua pilihan yang diambilnya. Keseimbangan ini akan memberi kesempatan seseorang untuk mengeksplorasi diri dan lingkungan dengan lebih bebas, namun juga menerima tanggung jawab dari pilihan-pilihan itu. Kelima: Creativity. Seorang yang memilih dengan bebas namun bertanggung jawab akan dapat mengembangkan kreatifitas dalam hidupnya, apakah itu sesuatu yang besar dan menonjol ataukah hanya sekedar hal-hal kecil dan sederhana. Kelima bagian ini menolong seseorang untuk hidup berfungsi dengan maksimal dan lebih sehat. Rogers berkata, ”...the person who completes therapy is more relaxed in being himself, more sure of himself, more realistic in his relations with others, and develops notably better interpersonal relationships”.35 Klien-kliennya berkata, “I am myself, and I am different from others. I am getting more happiness in being myself, and I find myself more and more letting other people assume the responsibility for being selves”.36

MENCARI TITIK TEMU : KONSEP ALKITAB DAN TEORI CARL ROGERS MENGENAI DIRI MANUSIA
Dari apa yang diuraikan di atas, teori Carl Rogers memiliki begitu banyak sumbangsih dalam rangka kita memahami diri manusia. Jonas dan Butman, dalam tulisan mereka Modern psychotherapists: A comprehensive Christian appraisal, mengatakan:

There are many elements in Rogers' theory that Christians should be able to affirm and benefit from. Some of these positive points include his insistence on understanding persons in a wholistic rather than an atomized, reductionistic manner; his stress on the capacity of individuals to change and grow; his emphasis on the importance of developing an awareness and understanding of ones' feelings and internal conflicts; and his belief that every person has the potential to develop in a unique and individualized manner.37


Unsur yang ditekankan
Konsep Alkitab
Teori Diri Carl Rogers
Manusia yang sebenarnya
Ciptaan terbaik
Potensi dan Aktualisasi diri
Manusia kehilangan diri
Dosa
Distorsi (tidak konruen)
Cara pemulihan diri
Penyelamatan Kristus
positive self regard
Manusia yang dipulihkan

Hidup baru
Aktualisasi diri dan diri yang berfungsi penuh

Pokok 1:
Alkitab mengatakan bahwa diri manusia yang sebenarnya adalah diri manusia seperti ketika pertama kali diciptakan, yaitu bahwa manusia segambar dan serupa dengan Allah. Manusia adalah mahkota dan ciptaan terbaik Allah selama dunia ini ada. Diri manusia mendapat kepuasan dalam hidup berdampingan dan bersekutu dengan Allah (Kej 1 dan 2).
Rogers memandang diri manusia yang sebenarnya juga secara sangat positif, meski tidak melihatnya dari sudut pandang kehadiran Allah sebagai pencipta. Dia menyatakan bahwa manusia memiliki potensi untuk sehat dan tumbuh kreatif. Meski Rogers banyak meneliti diri manusia dari sisi biologi, namun Rogers tetap melihat bahwa ada suatu kekuatan di dalam diri terdalam manusia yang menentukan diri dan hidup manusia, yang disebutnya sebagai self experience sebagai sumber truth dan meaning of life. Rogers melihat manusia yang otentik ini adalah manusia yang dibentuk dari pengalaman terdalam dalam hidupnya. Ada truth in me sebagai ungkapan kekuatan self experience itu. Ungkapan indah yang Rogers pernah katakan:
It is to experience that I must return again and again; to discover a closer approximation to truth as it is in the process of becoming in me. Neither the Bible nor the prophets--neither Freud nor research--neither the revelations of God nor man--can take precedence over my own direct experience (1961, pp. 23-24)38

Rogers memang kelihatannya hanya menjelaskan mengenai pengalaman konkrit berupa pola pengasuhan dan lingkungan sebagai bagian dari pengalaman manusia untuk membentuk real self yang sehat dan berfungsi penuh. Namun Rogers rupanya juga tidak menutup diri terhadap adanya intervensi dari bagian terdalam dalam diri manusia yang menjadi sumber truth dan meaning dari hidup manusia, yang menjadi pembentuk dasar real self manusia. Siapakah sumber truth dan meaning terdalam dalam hidup manusia ? Bukankah Alkitab mengatakan bahwa sumber truth dan meaning dari hidup manusia adalah Allah. Allah adalah Pencipta manusia. Untuk menemukan truth dan meaning of life seseorang harus berpaling kembali kepada Allah dan menemukan real self nya di dalam Kristus.

Pokok 2:
Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Namun dosa telah membuat manusia kehilangan kemuliaan Allah dan gambar Allah dalam dirinya rusak dan terdistorsi. Manusia tidak dapat mengenal Tuhan lagi. Karena itulah manusia tidak mampu mengenal dirinya sendiri, tersesat dan terhilang dalam cengkraman dosa. Manusia menjadi musuh Allah.
Rogers menyatakan bahwa ada dua macam self yaitu real self dan ideal self. Ketika real self dan ideal self berada dalam posisi kongruen (satu kesatuan), seseorang akan mengalami full functioning life. Manusia akan hidup berbahagia, menyenangkan, dan penuh dinamika yang menggairahkan. Namun ketika real self dan ideal self berada pada posisi inkongruen, diri akan mengalami kegelisahan, bersifat defensif, dan muncullah problem yang besar di dalam hidup manusia. Rogers, dengan tanpa melibatkan Allah mengatakan bahwa ideal self adalah diri yang dikehendaki masyarakat. Namun pertanyaannya masyarakat yang mana dan atas standar apa ideal self ini dibuat, sebab di dalam tiap masyarakat, ada perbedaan-perbedaan mengenai standar ideal yang diberikan. Pertanyaan yang diajukan Jones dan Butman dalam bukunya Modern Psychotherapist: A Comprehensive Christian Appraisal sangat tepat untuk memberi gambaran mengenai teori Carl Rogers ini:
The question that this theory fails to adequately explain is why social disharmony continues unabated if the natural tendencies of each individual in society and the real and true balance of moral forces in the world are harmonious and good.39

Jones dan Butman lalu melanjutkan penegasannya bahwa distorsi diri manusia terjadi karena kehadiran dosa. Mereka berkata:
The Christian belief that sin has caused a disruption of harmony within each individual as well as within the entire universe (Rom. 8:22), provides a more simple and parsimonious explanation for human evil than does the humanistic view. The Christian view suggests that, "our good impulses and our bad impulses, our love for and rebellion against God, are both representative of our true selves”40

Konsep Inkongruensi real self dan ideal self ini dapat disetarakan dengan konsep dosa dalam Alkitab. Dosa menjadi semacam pemisah antara real self (diri yang diciptakan oleh Allah) dan ideal self (Diri Allah sendiri). Keterpisahan itu mengakibatkan diri kehilangan jati diri, kegelisahan, kesedihan, kekacauan, kebingungan, dan manusia terus berusaha mencari real self. Namun manusia tidak dapat menemukannya karena manusia telah menjauh dari Tuhan akibat dosa. Semakin manusia berusaha, semakin inkongruen dan keterpisahan antara manusia dengan Allah mengakibatkan maut yang harus ditanggung oleh manusia.

Pokok 3:
Alkitab mengatakan bahwa Tuhan mengerti keadaan incongruency manusia akibat dosa. Tuhan tahu tidak ada cara menyatukan real self dan ideal self kecuali lewat Kristus yang tersalib. Kristus yang tersalib memberi jalan pendamaian Allah dan manusia, menyatukan real self dan ideal self dalam kesatuan diri yang otentik dalam hidup manusia. Kristus datang memberi kesempatan pengampunan dan penerimaan Allah. Allah menerima manusia dan manusia bebas datang kepada Allah karena Tuhan Yesus sudah menjadi pengantara dan penebus manusia dari dosa.
Rogers menyatakan bahwa untuk menciptakan kongruensi antara real self dan ideal self, dibutuhkan ruang lingkup yang kondusif, yaitu adanya unconditional Positive regard, yaitu dengan penerimaan, lingkungan yang kondusif, aman, nyaman, akan menolong seseorang memulai proses untuk menemukan diri yang otentik – tidak ada jarak antara real self dan ideal self.
Bukankah pandangan Rogers ini sekaligus ingin menegaskan kembali kebutuhan manusia berdosa akan unconditional Positive Regard ? Wujud penerimaan Allah tanpa syarat adalah ketika Allah mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk mati bagi manusia, agar tersedia jalan rekonsiliasi manusia dengan Allah. Manusia dan Allah dipersatukan lagi lewat kematian Kristus. Manusia menemukan dirinya yang otentik di kayu salib. Diri yang otentik ada di dalam diri yang baru. Alkitab menyebutnya hidup baru di dalam Kristus. Hidup baru inilah yang mengembalikan relasi yang benar dan sehat manusia dengan Allah, dirinya sendiri dan sesama manusia. Manusia menemukan kepenuhan hidup (fully Functioning Life) di dalam Kristus. Bukankah inilah yang Rogers inginkan, yaitu bahwa manusia dalam memiliki the actualizing tendency to have fully functioning life ? Alkitab memberi jawaban terbaik untuk kerinduan Rogers ini. Tuhan Yesus berkata, ”Akulah Jalan, dan Kebenaran, dan Hidup” (Yoh 14:6). Tuhan Yesus menjadi sumber truth dan meaning of life untuk menemukan diri yang otentik.

SEBUAH REFLEKSI PRIBADI
Ketika meneliti teori yang dikemukan oleh Carl Rogers ini, saya tiba-tiba teringat kepada sebuah ayat di Roma 12:3 yang berkata (dalam terjemahan bahasa Inggris), ”Do not think of yourself more highly than you ought, but rather think of yourself with sober judgement, in accordance with the measure of faith God has given you”. Ayat ini tidak berbicara tentang menyepelekan atau menelantarkan diri, yaitu tidak boleh berpikir yang tinggi terhadap diri sendiri. Ayat ini ingin memberitahu kita bahwa sebagai manusia, kita tidak memikirkan diri kita lebih dari diri kita yang sebenarnya. Ayat ini ingin memberitahu kita bahwa untuk mengukur dan menilai diri kita, ada dua hal pokok yang perlu kita ingat. Pertama: Self yang hidup di dalam kenyataan (realita). Kedua: Self yang dinilai berdasarkan ukuran Tuhan. Josh McDowell, dalam bukunya Josh McDowell Handbook on Counseling Youth, mengatakan, “ In Romans 12:3, the words think means to form an opinion, a jugdement, or a feeling about ourselves. Paul’s point is to form this opinion or self concept as a result of a realistic appraisal of ourselves”.41 Tuhan tidak menciptakan manusia untuk hidup dalam diri angan-angan. Tuhan ingin manusia hidup di dalam realitas, menghadapi dan menerima kenyataan yang ada dengan teguh dan apa adanya. Namun demikian, Alkitab juga secara konsisten menekankan keberhargaan manusia yang luar biasa besarnya di hadapan Tuhan. Keberhargaan ini tidak ditentukan oleh sesuatu yang ada di dalam diri manusi; yang manusia dapat capai, atau lakukan untuk Tuhan. Keberhargaan itu ditentukan oleh apa yang Tuhan sudah lakukan untuk kita. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupanya dalam kemuliaan-Nya (Kej 1:26-27). Namun kemuliaan itu hilang ketika manusia berdosa (Rom 3:23) dan akibat yang akan dihadapi oleh setiap manusia adalah menghadapi maut (Rom 6:23). Gambar Allah dalam diri kita rusak. Namun hal itu tidaklah membuat posisi utama manusia di hati Tuhan lenyap. Tuhan Yesus datang, mati di kayu salib, untuk menawarkan kemuliaan yang hilang itu, memperbaiki gambar Allah yang rusak, dan membawa manusia kembali kepada Bapa, yang tidak pernah kehilangan kasih-Nya sejak permulaan dunia sampai selama-lamanya. Betapa mahalnya harga seorang manusia, yang hanya dapat dibayar dengan darah Kristus di kayu salib. Fakta ini ingin menunjukkan kenyataan bahwa manusia sungguh berharga di hadapan Tuhan (Yes 43:4). Tuhan Yesus datang ke dunia, bukan untuk menghakimi orang berdosa, tapi memberi kasih dan kesempatan pengampunan. Ada rasa aman datang kepada-Nya (Mat 11:28). Selalu ada penerimaan dan unconditional positive regard ketika anak bungsu yang pernah hilang, kini pulang kembali (Luk 15). Penerimaan dan tangan terbuka Allah untuk mengampuni orang yang berdosa menyebabkan kita sanggup berdiri di hadapan tahta-Nya yang kudus (Ibr 10:19), berdiri tegak di atas dasar iman yang teguh (Ibr 6:19) untuk melangkah menghadapi kenyataan dengan berani, dan menerima self sebagai pribadi yang dikasihi Allah, apa adanya kita. Itulah true self yang Allah ingin kita hidupi di dunia ini.

Bagi saya, teori yang dikemukan oleh Carl Rogers memberi banyak masukan besar bagi hidup saya sendiri maupun dalam praktek konseling yang telah saya lakukan selama ini. Dengan teori yang termasuk cukup sederhana, Rogers memberi banyak sumbangsih untuk melihat manusia dari sisi yang lebih positif dan membangun, meski hal ini tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip Alkitab mengenai kejatuhan manusia di dalam dosa. Pendekatan yang benar-benar manusiawi dan penuh penghargaan kepada manusia menjadi penekanan yang indah dalam pendekatan client centered therapy. Jenis non-directive dalam konseling yang ditawarkan Carl Rogers memang bukanlah hal yang mudah dijalankan, khususnya untuk budaya Indonesia, dimana orang-orang tidak seekspresif orang-orang yang ada di eropa atau di amerika. Namun sumbangsih besar mengenai konsep self, organism, congruensi- incongruensi, actualizing tendency, dan sebagainya menjadi masukan yang komprehensif dalam rangka menolong manusia memahami dan mengembangkan diri dalam fully functioning life. Namun di atas semua pendapat Carl Rogers tersebut, Alkitab memberi gambaran yang lebih realistik mengenai keadaan manusia karena Alkitab menggambarkan keutuhan hidup manusia secara holistik, bukan hanya dalam hubungan dengan diri, sesama, namun juga dengan Sang Pencipta. Self worth manusia tidaklah tergantung kepada penilaian dan tuntutan manusia dan masyarakat secara luas. Self worth ditentukan oleh cara Tuhan memandang manusia, sebagai pribadi yang dikasihi, yang diprioritaskan untuk menerima semua yang terbaik dari Tuhan. Tawaran terbaik yang Tuhan berikan adalah tawaran untuk menerima kasih dan pengampunan dalam Kristus, untuk mengalami fully functioning life yang sesungguhnya, yang lebih dalam dan bernilai kekal. Terima kasih Tuhan Yesus karena Engkau memandang kami sebagai pribadi yang berharga, bahkan lebih berharga dari nyawa-Mu sendiri. Kami hanya ingin mempersembahkan diri ini sebagai persembahan bagi kemuliaan-Mu, selamanya. (RT-28112008)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU
Berkhof, Louis. Teologi Sistematika Jilid 2 – Doktrin Manusia. Surabaya: Momentum, 1995.

Chamblin, J. Knox. Paulus dan Diri – Ajaran Rasuli Bagi Keutuhan Jiwa. Surabaya: Momentum, 2002.

Hall, Calvin S. & Lindzey,Gardner. Psikologi Kepribadian 2: Teori-Teori Holistik (Organismik – Fenomenologis). Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Jones,S. L. & Butman,R. E. Modern psychotherapists: A comprehensive Christian appraisal. Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1991.

Lucado, Max. The Gift for all people. Jakarta: Imanuel, 2004.

McDowell, Josh & Hostetler, Bob. Josh McDowell’s Handbook on Counseling Youth. Dallas: Word Publishing, 1996.

Osborne, Cecil G. Seni Memahami Diri Sendiri. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

Rogers, Carl. R. On becoming a person: A therapist's view of psychotherapy. London: Constable, 1961.

Rogers, Carl. R. Client-Centered Therapy. Boston: Houghton Mifflin Company, 1965.


INTERNET

Boeree, C. George. “Personality Theory: Carl Rogers (1902 – 1987)”, http://www.PersonalityTheory/Carl Rogers.htm.

Lamberton, Henry H. “Carl Rogers’ View of Personal Wholeness: An Evaluation and Critique from a Christian Perspective”, http://www.aiias.edu/ict/vol_10/10cc_277-296.htm.

Pescitelli, Dagmar, “An Analysis of Carl Rogers' Theory of Personality, “ http:// www.Personality theory/Personality&Consciousness - Carl Rogers' Theory of Personality.htm.


LAIN-LAIN

Elia, Heman. Catatan Kuliah Psikologi Kepribadian. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2008.

Wibowo, Timotius, Catatan Kuliah Integrasi Teologi – Psikologi I. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2008






Welcome to my joyful blog

Dear all friends,



Hi, thanks for visiting this blog. We made this blog because We want to share love, joy, and faith to all in need. We love to serve and help you, especially children and adolescent, to find the purpose of your life.



If you are in need of someone who listen and care, please contact me. if you need me in private, contact us freely to our email: rudytejalaksana@yahoo.com or contact us through facebook. I want to help you.... please let me know ya.

God loves you, guys