SERI BELAJAR PSIKOLOGI
MEMAHAMI KONSELING KRISTEN
BELAJAR DARI KEHIDUPAN TUHAN YESUS,
SANG KONSELOR AJAIB
Refleksi dalam Kerangka Integrasi Teologi dan psikologi bagi pelayanan Kristiani
kepada masyarakat Indonesia
Oleh: Rudy Tejalaksana, M.K.
SEBUAH PEMIKIRAN
Kehidupan Tuhan Yesus diakui oleh semua kalangan, termasuk mereka yang tidak percaya kepada-Nya, sebagai kehidupan yang tanpa cela. Tidak ada satu hal pun dalam hidup Tuhan Yesus yang dapat dituntut, kecuali karena kebenaran, kebaikan, dan kesucian-Nya. Bukankah karena ketiga hal itulah yang membuat Tuhan Yesus dituntut dengan hukuman mati, pertama-tama oleh para Imam dan kemudian oleh banyak orang di Yerusalem ? Sebab kebenaran, kebaikan, dan kesucian yang ditunjukkan Tuhan Yesus sangatlah berbeda dari pemahaman kaum agamis mengenai kebenaran, kebaikan, dan kesucian. Para agamawan itu terlihat begitu teologis, dan memakai pemahaman itu untuk menentang Tuhan Yesus yang kelihatannya begitu “humanis”. Perbedaan inilah yang membuat pelayanan Tuhan Yesus sangat berbeda, yang memiliki daya jangkau yang sangat luas, bahkan sampai ke ujung bumi ini. Seberapa “teologis”kah Tuhan Yesus itu, dan seberapa “humanis”kah Dia, sehingga para teolog (baca: para Imam dan Ahli Taurat) menghendaki kematian-Nya sebagai seorang penghujat ?
Tulisan ini adalah sebuah refleksi singkat mengenai kehidupan Tuhan Yesus, sebagai seorang teolog dan konselor, yang berkarya menjangkau kehidupan manusia secara menyeluruh (holistik) dan memberi dampak yang dasyat dalam perubahan kehidupan manusia di dunia. Tulisan ini saya persembahkan kepada semua pelayan Tuhan, yang rindu menjadi alat yang efektif untuk menjangkau jiwa-jiwa di dunia; yang terluka, terpinggirkan, dan terbuang, agar mereka menemukan pengharapan yang “utuh” di dalam Kristus. Dalam konteks inilah, integrasi teologi dan psikologi menolong menyampaikan pengharapan yang “utuh” di dalam Kristus.
MEMAHAMI PENGHARAPAN YANG “UTUH” DI DALAM KRISTUS: Integrasi Teologi – Psikologi
Dunia sekarang ini adalah dunia yang terluka, yang membutuhkan pertolongan segera. Salah satu area pelayanan yang paling dekat dan bersentuhan langsung dengan dunia yang terluka ini adalah pelayanan konseling.[1] Pelayanan konseling sangatlah terkait dengan keberadaan ilmu psikologi, yang selama masa-masa awal keberadaannya, seringkali bersinggungan dan dianggap berlawanan dengan prinsip-prinsip kekristenan. Hal ini terlihat jelas dalam diri para tokoh-tokoh utama psikologi, yang mengesampingkan keberadaan religi dalam berbagai konsep yang dihasilkan dan dari masyarakat umumnya.[2] Hal ini membuat keberadaan psikologi cenderung dipandang kurang positif, dan “sebaiknya” dihindari. Inilah yang membuat psikologi dan teologi dipandang tidak dapat berjalan berdampingan satu dengan yang lain.
Namun dalam tahun-tahun terakhir, kekristenan mulai lebih terbuka menerima kehadiran psikologi dalam area pelayanan, khususnya pelayanan pastoral. Konseling Kristen menjadi kekuatan baru, yang mewarnai pelayanan dunia pelayanan. Timothy Wiarda, dalam tulisannya yang berjudul Psychology and Pastoral Ministry mengatakan:
The relation between psychology (the science and therapeutic practice that emerges from studying people) and theology (knowledge and practice that comes through God’s revelation in Christ and Bible) has received a good deal of attention in recent years…Much of the literature in this area starts with the question,”How should Christian counselors go about their work in the light of their faith ? [3]
Pertanyaan Wiarda ini adalah pertanyaan hampir semua orang Kristen yang terjun ke dalam pelayanan konseling dan psikologi. Wiarda mengatakan bahwa untuk masuk ke dalam integrasi yang tepat, teologi dan psikologi harus menempatkan diri dalam posisi yang saling menghargai, dengan asumsi bahwa kedua ilmu ini adalah ilmu yang memenuhi kriteria validitas yang tinggi, sehingga proses integrasi tidak menimbulkan konflik yang cenderung destruktif.[4] Namun demikian, integrasi bukanlah mencampurkan (blend) teologi dan psikologi. Wiarda berkata, “Integration means fitting together (theology and psychology) without contradiction or competition”.[5] Oleh karena itulah, integrasi perlu diterapkan dengan hati-hati, tanpa melupakan prinsip iman di dalamnya.
Integrasi teologi – psikologi: integrasi yang sepenuh hati
Perdebatan mengenai kehadiran psikologi, khususnya di kalangan gereja-gereja Injili masih menimbulkan pro dan kontra hingga hari ini. Meski demikian, sebagian besar konselor Kristen masih mempergunakan ilmu psikologi di dalam pelayanan konselingnya. Beberapa di antaranya memutuskan untuk meninggalkan psikologi dan beralih kepada teologi sebagai basis konseling Kristen. Banyak pihak rupanya meragukan “kemurnian” integrasi antara teologi dan psikologi. Mereka menyatakan bahwa seringkali konselor Kristen dengan mudah terjebak kepada integrasi yang setengah hati yang membuat konselor Kristen seringkali lebih dipengaruhi oleh konsep-konsep psikologi daripada konsep teologi.[6] Hal ini dianggap dapat menghambat kemurnian kekristenan di dalam area pelayanan konseling. Namun demikian Konselor Kristen yang menggunakan ilmu psikologi dalam pelayanan konseling umumnya sepakat bahwa Kristus dan iman kepada-Nya tetaplah menjadi sentral dari seluruh pelayanan konseling Kristen.[7] Gary R. Collins, seorang Psikolog Kristen, dalam bukunya yang berjudul Can You Trust Psychology, mengatakan:
For the Christian psychologist, the integration involves recognition of the ultimate authority of the Bible, a willingness to learn what God has allow humans to discover through psychology and other field of knowledge, and a desire to determine how both scriptural truths and psychological data can enable us to understand and help people.[8]
Tuhan mengijinkan hadirnya berbagai macam disiplin ilmu untuk menolong kita melakukan pelayanan dengan lebih efektif. Kehadiran psikologi dapat menolong kita memahami manusia secara lebih komprehensif dan menjadi jembatan prinsip dan penerapan Alkitab secara praktis bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Oleh sebab itu, integrasi teologi dan psikologi sangatlah berguna untuk menghadirkan pelayanan Kristen, khususnya pelayanan pastoral yang lebih efektif.
Kehadiran Integrasi Teologi – Psikologi dalam Pelayanan Pastoral.
Kehadiran integrasi teologi – psikologi sangatlah dibutuhkan dalam ranah pelayanan praktis Kristen. Integrasi teologi – psikologi sejak semula memang tidaklah diperuntukkan bagi pelayanan di ranah perdebatan dan teoritis semata, namun jauh lebih ke dalam ranah praktis gerejawi. Salah satu pelayanan yang sangat membutuhkan kehadiran integrasi teologi – psikologi adalah pelayanan pastoral gerejawi. Pelayanan pastoral seringkali didefinisikan sebagai:
Pastoral Ministry centres in ministering the means of grace so as to bring about spiritual change, and directing believers in the way of godliness through the instructions and promises of the Bible. Pastors should view the work of fostering emotional and relational health as a secondary, context – dependent task [9]
Pelayanan pastoral bukanlah semata-mata untuk menolong klien menuju kesehatan emosi dan relasi semata, namun menolong setiap klien menemukan perubahan dan pertumbuhan rohani sehingga klien menjadi semakin serupa dengan Tuhan Yesus. Tujuan ini akan dapat dicapai lewat penerapan integrasi teologi dan psikologi yang memadai, sebab integrasi teologi dan psikologi menolong manusia melihat diri, dunia, dan berbagai fakta dengan kacamata yang lebih lengkap dan menyeluruh. Bukankah pelayanan pastoral Tuhan Yesus juga sebenarnya menyingkapkan pentingnya integrasi teologi – psikologi yang proporsional dalam dunia pelayanan Kristen? John H. Stoll, dalam artikelnya yang berjudul The Bible and Psychology berkata:
The Bible is not a textbook on psychology, rather it is a text on God and His relationship to mankind, whom He has created. However, in the context there is much stated in the Bible on human behavior, and where the Bible speaks on the subject of psychology it speaks with final authority.[10]
Untuk melihat prinsip pelayanan pastoral di dalam Alkitab, kita perlu secara khusus melihat apa yang Tuhan Yesus lakukan dalam pelayanan pastoralnya. Dalam kisah pelayanan Tuhan Yesus di dunia ini, kita dapat melihat keunikan pendekatan pastoral bagi orang-orang yang Dia layani. Joshua Hays menyatakan bahwa Tuhan Yesus memiliki karakteristik yang unik di dalam pelayanan-Nya. Karakteristik pelayanan Tuhan Yesus adalah loving, relational, dan meaningful.[11] Di dalam seluruh pelayanan Tuhan Yesus, ketiga karakteristik ini hampir selalu muncul dan mewarnai ajaran dan pelayanan-Nya.
Pertama: Christ - Loving God. Kasih adalah kunci dari seluruh pelayanan Tuhan Yesus di dunia. Tuhan Yesus berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk menunjukkan kasih Allah bagi dunia. Di dalam kasih-Nya, Tuhan Yesus menunjukkan belas kasihan (compassion) kepada mereka yang terlantar, terluka, ditinggalkan, teraniaya, terpinggirkan, dan tidak berdaya dengan cara yang sangat manusiawi. Dalam pertemuan-Nya dengan orang-orang “pinggiran” inilah Tuhan Yesus menunjukkan bagaimana Tuhan Yesus mempraktekkan kesucian-Nya dengan cara yang berbeda. Kisah Lukas 7:36 menunjukkan bagaimana Tuhan mengajarkan para murid dan orang farisi mengenai apa arti kasih Allah. Tuhan Yesus membenci dosa, namun mengasihi orang berdosa. Tuhan Yesus memahami pergumulan orang yang berdosa. Karena itulah, Tuhan Yesus membuka kesempatan bagi perempuan berdosa itu untuk mendapatkan pengampunan. Sikap Tuhan Yesus yang sabar dan penuh pengertian terhadap keadaan manusia membuat Tuhan Yesus menyingkapkan diri Allah yang berbeda dari apa yang dipahami oleh orang Farisi dan Ahli Taurat, yang melihat Allah sebagai Allah yang menghukum.
Kedua: Christ - Relational God. Kehadiran Tuhan Yesus juga menyingkapkan mengenai Tuhan yang rindu memiliki hubungan pribadi dengan manusia. Relasi Tuhan Yesus selalu membangun positive personal development. Perhatikanlah apa yang Tuhan Yesus lakukan ketika berbicara dengan perempuan Samaria, atau ketika berhadapan dengan perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Tuhan Yesus bukan “Cuma” menyatakan kasih berupa pengampunan, namun juga menyediakan jembatan untuk menjalin relasi dengan mereka. Sikap-Nya membangkitkan semangat dan pengharapan bahwa selalu ada kesempatan untuk berubah dan bertumbuh. Perkataan Tuhan Yesus, “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi” kepada perempuan yang kedapatan berzinah itu menunjukkan bahwa Tuhan menyediakan jalan menuju pemulihan.[12]
Ketiga: Christ - a meaningful life giver. Kehadiran Tuhan Yesus bukan hanya untuk menyatakan kasih, memberi pengharapan, namun juga menolong orang-orang yang ditemui-Nya untuk menemukan makna kehidupan yang lebih dalam. Kehadiran-Nya bukan hanya untuk menyatakan kesalahan saja, tapi juga mengampuni kesalahan, dan menolong orang untuk tidak melakukan kesalahan yang sama lain. Tujuan akhir dari karya Tuhan Yesus adalah bahwa setiap orang yang bertemu dengan Tuhan akan menemukan makna hidupnya secara unik, yang telah Allah sediakan sebelumnya.
Ketiga karakteristik pelayanan Tuhan Yesus di atas dapat menolong konselor Kristen menemukan cara terbaik untuk menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia akan pemulihan atas berbagai krisis yang sedang melanda Indonesia saat ini. Inilah yang membuat Integrasi teologi (pemahaman tentang Allah) dan psikologi (gambaran tentang manusia) penting, karena menjawab kebutuhan Indonesia secara holistik.
Pelayanan konseling Kristen berdasarkan Karakteristik Sang Konselor Agung di Bumi Indonesia
Ketiga karakteristik pelayanan Tuhan Yesus; loving, relational, dan meaningful dapat menjadi pegangan dasar bagi karakteristik konselor Kristen yang efektif menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sedang kehilangan jati diri dan keistimewaan sebagai bangsa yang beradab dan penuh sopan santun. Masyarakat Indonesia bahkan seringkali dilabelkan sebagai masyarakat yang anarkis, yang ditandai dengan kehadiran kekerasan dan kekacauan di mana-mana. Hal ini justru membuat masyarakat Indonesia semakin terluka, kebencian merajalela, pertikaian, konflik yang berkepanjangan, hubungan merenggang bahkan putus. Hal ini menimbulkan perasaan bahwa bangsa Indonesia sudah tidak menjanjikan harapan apa-apa lagi. Bangsa Indonesia sedang menuju kehancuran, yang memang sudah terlihat di depan mata – yang melanda seluruh dunia. Keadaan ini membuat bangsa Indonesia membutuhkan kehadiran Sang Konselor Agung, Tuhan Yesus, yang direpresentasikan oleh kehadiran dan pelayanan konselor-konselor Kristen – yang mempraktekkan kebenaran Allah (Alkitab) dengan cara yang sangat manusiawi (psikologi).
Pertama: Share God’s love. Salah satu tujuan utama konseling Kristen adalah membagi kasih Kristus kepada mereka yang berbeban berat, terluka, dan merindukan pertolongan. Masyarakat Indonesia benar-benar sedang di ambang kehancuran akibat kehidupan demokrasi yang ke-bablas-an. Lihat saja generasi Indonesia pada zaman modern ini. Generasi yang berkembang sekarang adalah generasi yang keras, tegang, dan penuh amarah. Generasi yang sebenarnya sedang berteriak meminta pertolongan akibat kekosongan hati yang begitu kronis. Dr. Paul Gunadi, seorang psikolog Kristen mengatakan bahwa generasi ini adalah generasi borderline.[13] Keluarga-keluarga sedang mengalami krisis yang begitu akut, tekanan yang begitu kuat, namun kehilangan kasih, yang sebenarnya dibutuhkan sebagai tiang penyangga untuk menghadapi berbagai problem kehidupan tersebut.
Kemampuan untuk mengasihi adalah salah satu karakteristik utama dari pelayanan konselor Kristen. [14] Banyak orang memiliki kemampuan dan bekal teknik konseling yang memadai. Namun, tidak banyak orang yang memiliki kemampuan untuk mengasihi. Bahkan, seringkali seseorang yang memiliki latar belakang akademik yang paling hebat justru menjadi seorang terapis yang paling buruk ketika dia tidak memiliki kemampuan untuk mengasihi dalam pelayanan konselingnya.[15] Konseling menolong setiap orang menemukan tempat pertolongan, teman berbagi, dan dorongan untuk menemukan jalan keluar. Di saat seperti itulah kasih benar-benar dibutuhkan. Konseling Kristen menghadirkan kasih yang dibutuhkan. Hal itulah yang membuat konseling dan semua teknik di dalam nya menjadi konseling yang efektif dan berhasil.
Kedua: Building true relationship. Pelayanan konseling Kristen memerlukan kerinduan untuk membangun true relationship antara konselor dengan klien. Yang dimaksud dengan true relationship adalah kemampuan konselor untuk melakukan pelayanannya dengan tulus, terbuka, jujur, apa adanya, dan transparan. Hal ini mendorong konselor untuk memiliki kehidupan yang berani dilihat. Ketika konselor membuka hidupnya, maka klien akan terdorong untuk melakukan hal yang sama – berani dilihat dan mulai menjalani hidup yang transparan.[16] Hal ini akan menolong konselor untuk “memasuki” area yang selama ini ditaruh konseli di tempat yang tersembunyi. Di sinilah relasi berlangsung. Bukankah ini pula yang terjadi di dalam pelayanan konseling yang dilakukan oleh Tuhan Yesus ? Bahwa hidup Tuhan Yesus yang transparan dan apa adanya telah menolong semua orang “berdosa” untuk dengan berani mendekati Tuhan Yesus ? Di dalam keadaan inilah relasi yang benar terbangun. Relasi yang jujur, terbuka, apa adanya. Proses inilah yang membuat konseling menjadi sarana pelayanan yang efektif. Bukankah banyak kasus kesehatan mental dimulai dari hancurnya relasi di dalam keluarga asal klien ? Bukankah salah satu kebutuhan utama dari klien adalah kebutuhan akan true relationship ? Bukankah inilah kebutuhan begitu banyak orang di Indonesia ? True relationship menolong seseorang merasa diterima, dikasihi, dan dianggap penting sehingga mendorong seseorang meningkatkan self-esteem dan self-concept yang lebih positif. Konselor Kristen menyadari bahwa true relationship hanya dapat dijalin dengan kehadiran Tuhan Yesus di tengah-tengah relasi tersebut. Tuhan memanggil para konselor untuk menyatakan kehadiran Tuhan, bukan hanya lewat perkataan, namun lewat tindakan kasih yang benar-benar dibutuhkan oleh klien.
Ketiga: Offering a meaningful life - Kehadiran konselor Kristen menghadirkan makna yang dalam (meaningful) bagi kehidupan klien. Karena itulah, pekerjaan seorang konselor Kristen bukan hanya sebatas menolong klien untuk menyelesaikan masalah psikologis klien semata, namun menolong klien melihat kebutuhan diri yang lebih dalam, yaitu kebutuhan rohaninya. Hal ini terjadi karena di dalam pemenuhan kebutuhan rohanilah, seseorang menemukan makna hidupnya dengan sangat mendalam. John H. Stoll, menyatakan:
An important factor in helping a person live a useful life is the knowledge that there is purpose in life. Life is meaningless unless there is purpose to it. In Philippians 1:21, Paul states, "For to me to live is Christ and to die is gain." Here is the thought of personal identification with Christ. The ultimate for the Christian is one's seeking to achieve the will of God in and through his own life. With this in mind a person seeks to translate God's plan for his life into understandable terms for himself, as well as for others. A sense of values in the Christian experience is imperative, for if there are no standards or values, life loses its relevance. On the other hand, when one is clear as to standards and values, these serve to direct rather than repress a person.[17]
Konselor Kristen menolong klien bukan saja menyelesaikan problem yang sedang dihadapinya, namun juga menolong klien untuk menemukan makna hidupnya yang sebenarnya. Kehadiran Tuhan Yesus dan firman-Nya di dalam teknik konseling menolong seseorang meneropong hidup dengan lebih detail, yaitu bahwa kebutuhan rohani adalah kebutuhan yang harus dipenuhi dan mempengaruhi seluruh kehidupan klien selanjutnya. Ketika klien menemukan makna hidupnya, klien menemukan bahwa banyak hal-hal yang dahulunya merupakan masalah besar, justru merupakan “bumbu pemanis” kehidupan setelah seseorang bertemu dengan Kristus dan menemukan makna hidup di dalam-Nya.
Kebutuhan akan makna hidup adalah kebutuhan yang dialami oleh sebagian besar manusia di Indonesia. Manusia Indonesia membutuhkan pertolongan, bukan hanya untuk keluar dari kemiskinan, dan krisis moral yang besar terjadi, namun kebutuhan akan penemuan makna hidup di dalam Tuhan. Kehadiran konselor Kristen adalah kehadiran garam di tengah dunia yang sedang membusuk, dan sebagai terang di tengah dunia yang gelap. Menolong dunia menemukan makna hidup yang sebenarnya di dalam kebenaran Tuhan. Di sinilah peran integrasi teologi – psikologi, menghadirkan Tuhan lewat pendekatan manusiawi untuk memulihkan manusia secara utuh dan menyeluruh; fisik, jiwa, dan rohani.
Konklusi:
Suatu hari seorang anak bertanya kepada saya, “Seandainya Tuhan Yesus hidup pada zaman modern ini, bagaimanakah hidup Tuhan Yesus ? Apakah Tuhan Yesus juga akan mengalami stres ?” (seperti yang sebagian besar kita alami, meskipun dengan kadar dan masalah yang berbeda-beda). Dengan tersenyum saya menjawab, “Tuhan Yesus adalah Tuhan yang menjelma menjadi manusia. Dia mengalami hal yang sama persis yang kita alami. Dia merasa lapar, haus, lelah, mengantuk, di tengah-tengah pekerjaan-Nya yang begitu banyak. Apalagi banyak orang farisi dan ahli taurat tidak menyukai-Nya, selalu ingin mencelakakannya. Tuhan Yesus pasti banyak menghadapi tekanan hidup. Stress adalah tekanan dalam hidup kan ? jadi Tuhan Yesus mungkin sekali juga mengalami stres. Tapi apakah Tuhan Yesus kehilangan kebahagiaan-Nya ? sukacita-Nya ? selera humor-Nya ? semangat hidup-Nya ? tujuan dan panggilan hidup-Nya ? sama sekali tidak. Bahkan di tengah-tengah pergumulan terbesar, ketika harus menanggung dosa manusia di kayu salib, Tuhan Yesus tetap memiliki ketenangan yang luar biasa untuk menanggung semua itu. Apa yang membuat Tuhan Yesus dapat hidup begitu tegar ? Tujuan hidup-Nyalah yang menjadi api yang membakar semangat-Nya untuk berjuang menghadapi hidup dan mati di kayu salib.
Bagaimana dengan hidup kita sekarang ini ? Kita hidup di tengah-tengah zaman yang menganut faham selfisme, segala sesuatu adalah untuk diri sendiri. Semua usaha manusia adalah untuk memuaskan ambisi, hasrat dan keinginan diri sendiri. Segala sesuatu adalah untuk diri sendiri. Ketika hal itu tidak tercapai, manusia mengalami putus asa, kehilangan pengharapan dan akhirnya mati dalam keadaan sia-sia. Bila fokus hidup kita adalah untuk diri kita sendiri, kita akan hidup di dalam stres, tekanan, dan akhirnya hidup di dalam ketidakbahagiaan. Di tengah-tengah zaman yang menganut selfisme ini, Tuhan Yesus memanggil kita untuk datang kepada-Nya dan hidup bagi-Nya. Ketika dunia mendorong semua manusia untuk mengambil segala sesuatu dan sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri, Tuhan Yesus memanggil kita untuk memberi sebanyak-banyaknya. Hidup adalah memberi diri, seperti Kristus memberi diri – seluruhnya - untuk kita. Ketika fokus hidup kita adalah memberi sebanyak-banyaknya, maka tidak akan ada sesuatupun yang akan kita sesali ketika banyak hal diambil dari diri kita. Hidup akan lebih menyenangkan, penuh semangat, dan bergairah karena kita hidup bukan untuk diri kita sendiri lagi, melainkan untuk Kristus dan sesama kita (II Kor 5:14-15). Stres akan menjadi bumbu penyedap rasa dalam mengikuti dan mengiring Tuhan Yesus yang mendorong kita untuk lebih bergantung kepada Tuhan. Selamat menikmati menjadi pemberi berkat bagi orang lain, menjadi konselor yang menghadirkan Kristus di tengah-tengah kehidupan yang sulit, bahkan di tengah-tengah penderitaan sekalipun. Selamat menjadi berkat di dalam pelayanan konseling. menghadapi tekanan hidup dengan bahagia.
Collins, Gary R., Can You Trust Psychology. Illinois: InterVarsity Press, 1988.
Farris, James R. (ed), Pastoral Care and Counseling: An Asian Perspective - International Perspectives on Pastoral Counseling. New York: The Howorth Press, 2002.
Gunadi, Paul. Generasi Borderline – Bahan Ceramah Christian Counseling (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara.
Hays, Joshua. “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”, http://www.bgst.edu.sg/mainsite/images/stories/pdf/applied_theology.pdf.
Wiarda, Timothy. “Psychology and Pastoral Ministry”, http://www.ttc.edu.sg/csca/CS/2004- Dec/Psychology%20and%20PM.pdf.
Stoll, John H. “The Bible and Psychology”, http://www.leaderu.com/offices/stoll/psychology.html.
[1]Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”, http://www.bgst.edu.sg/mainsite/images/stories/pdf/applied_theology.pdf.
[2] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”.
[3] Timothy Wiarda, “Psychology and Pastoral Ministry”, http://www.ttc.edu.sg/csca/CS/2004-Dec/Psychology%20and%20PM.pdf
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”
[8] Gary R. Collins, Can You Trust Psychology (Illinois: InterVarsity Press, 1988) 127
[9] James R. Farris (ed), Pastoral Care and Counseling: An Asian Perspective - International Perspectives on Pastoral Counseling(New York: The Howorth Press, 2002) 178-179.
[10] John H. Stoll, “The Bible and Psychology”, http://www.leaderu.com/offices/stoll/psychology.html.
[11] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”
[12] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”
[13] Paul Gunadi, Generasi Borderline – Bahan Ceramah Christian Counseling (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara) 1
[14] Joshua Hays, “Counseling: A Call to Love, A Call to Relationship”
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] John H. Stoll, “The Bible and Psychology”, http://www.leaderu.com/offices/stoll/psychology.html.
No comments:
Post a Comment