SERI KONSELING ANAK
KONSELING UNTUK ANAK YANG MENGALAMI KEKERASAN FISIK
Oleh: Rudy Tejalaksana, MK.
PENDAHULUAN
Dunia anak-anak adalah dunia penuh sukacita, tawa dan kebahagiaan, penuh perlindungan, kasih sayang, rasa aman, dan kebutuhan yang terpenuhi. Bagi anak-anak, rumah adalah tempat mereka mengalami pengalaman dicintai dan dilindungi. Namun, dalam tahun-tahun belakangan ini, dunia seakan tidak lagi bersahabat dengan anak-anak. Begitu banyak anak yang tidak mengalami masa indah sebagai anak-anak. Bahkan berjuta-juta di antara mereka sudah lupa bagaimana menjadi anak-anak, bagaimana tertawa dan bermain dengan penuh riang, oleh karena kekerasan, luka, dan kesedihan yang mereka alami dalam hidup, justru di rumah mereka sendiri. Ketika saya melayani anak-anak di jalanan di kota Surabaya, saya menangkap begitu banyak kesedihan yang tersirat dalam canda tawa anak-anak. Angka statistik kekerasan terhadap anak telah menunjukkan keadaan yang gawat.1 Ratusan ribu anak mengalami kekerasan secara fisik dari keluarga terdekatnya (orang tua atau sanak keluarga). Ribuan anak mati karenanya. Bagi mereka yang berhasil selamat, trauma emosional akan membayangi hidup mereka, bahkan bertahun-tahun setelah kekerasan fisik mereka alami. Anak-anak ini terluka, terpinggirkan, diabaikan, dan mengalami trauma-trauma yang akan membayangi hidup mereka selamanya, kecuali ada tangan-tangan kasih yang terulur untuk menggapai dan melakukan sesuatu untuk mereka. Dr. Larry Crabb berkata:
Ketika orang diserang kejahatan mengerikan yang melawan Allah dan jiwa mereka sendiri, maka timbul ketakutan yang luar biasa dalam diri para korban, khususnya untuk mempercayakan diri kepada orang lain. Mendorong mereka untuk ”bersandar kepada Allah saja cenderung membangkitkan frustrasi dan menimbulkan sikap sinis terhadap fakta kebenaran Kristen...Tidak ada yang lebih penting dibanding melihat secara jelas bagaimana Injil Kristus yang disampaikan dengan kasih menyembuhkan hati dan memiliki kuasa untuk mengubah hidup seseorang dalam setiap pergumulan”.2
Salah satu cara menyampaikan Injil yang menyembuhkan itu dapat disampaikan adalah lewat pertolongan pribadi kepada anak. Penanganan dini terhadap anak-anak yang mengalami kekerasan fisik sangatlah penting untuk meminimalkan efek jangka panjang yang mungkin sekali timbul dari trauma masa kecil ini.3
DEFINISI KEKERASAN FISIK (PHYSICAL ABUSE)
The National Center on Child Abuse and Neglect (USA) mendefinisikan kekerasan fisik sebagai, “The physical injury or maltreatment or a child under the age of eighteen by a person who is responsible for the child’s welfare under circumstances which indicate that the child’s health or welfare is harmed or threatened thereby”.4 Umumnya orang yang melakukan kekerasan fisik terhadap anak adalah orang-orang yang dekat, yang seharusnya memberi perlindungan kepada mereka. Data statistik National Child Abuse and Neglect data system Amerika tahun 1997 menunjukkan bahwa 75 % pelaku kekerasan pada anak adalah orang tua mereka, 10% sanak keluarga dekat dan 2% dilakukan oleh orang-orang di sekitar kehidupan anak, misalnya: pengasuh, dokter, guru, dan sebagainya.5 Di Amerika ada 1.000 – 5.000 anak mati oleh karena kekerasan yang dilakukan orang tua mereka.6 Di Indonesia sendiri data semacam ini sulit diperoleh. Namun data di atas memberi informasi bagi kita betapa rentannya keadaan anak-anak yang hidup di zaman ini.
TANDA-TANDA ANAK YANG MENGALAMI KEKERASAN FISIK
Kekerasan fisik yang dialami anak-anak biasanya berhubungan dengan jenis abuse lain yang dialami mereka, khususnya kekerasan secara emosional (Emotional Abuse). Anak yang didapati mengalami kekerasan secara fisik umumnya adalah anak yang sudah cukup lama mengalaminya. Kekerasan fisik bukan hanya menyakitkan mereka secara fisik, namun juga secara emosional. Seringkali anak yang datang untuk mendapat pertolongan dari kekerasan fisik adalah anak yang dipenuhi dengan tanda-tanda luka fisik dan non fisik. Luka fisik seperti memar, patah tulang, geger otak, cacat permanen, bahkan kematian sering dijumpai pada pertolongan pertama kepada anak-anak korban kekerasan fisik. Namun demikian, tanda-tanda luka non fisik seringkali memberi pengaruh negatif yang jauh lebih besar daripada luka secara fisik. Dalam waktu relatif singkat, luka fisik anak-anak korban kekerasan fisik mulai dapat dipulihkan. Namun luka batin dan emosional mereka akan memberi pengaruh yang sangat dalam, yang cenderung akan merusak hidup akan itu di masa mendatang apabila anak tidak mendapat pertolongan yang dibutuhkan. Beberapa tanda yang muncul seperti kemarahan, ketakutan, kekuatiran, kegelisahan, rendah diri, konsep diri yang rusak, penolakan terhadap diri, tidak mampu mempercayai atau mengasihi orang lain, berperilaku agresif, destruktif dan cenderung ilegal. Bahkan untuk tahap-tahap tertentu, khususnya untuk anak-anak yang lebih besar, percobaan bunuh diri bahkan telah coba dilakukan sebelumnya. Depresi yang mendalam, perasaan sedih yang berkepanjangan, prestasi akademik yang merosot dan bahkan mimpi-mimpi buruk di malam hari sering mengisi hari-hari anak-anak ini. Sebagian anak menyimpan kepedihan dan luka itu dalam-dalam, sebagian mencari jalan keluar instant untuk deal with the pain lewat narkoba dan alkohol.7 Kerusakan secara emosional ini seringkali tidak muncul langsung pada masa anak-anak. Seringkali tanda-tanda di atas muncul pada saat anak menginjak usia remaja dan dewasa. Bahkan beberapa di antara anak yang mengalami kekerasaan dalam masa kecil kelihatannya tumbuh secara normal. Namun ketika menjadi orang tua, dia menjadi anak yang sangat abusive terhadap keluarga.8 Beberapa mengalami kesulitan masuk ke dalam hubungan interpersonal yang intim. Lainnya akan mengalami pergumulan emosional yang berat, yang berakibat kelumpuhan secara emosional dalam jangka panjang.9 Sungguh sedih menyaksikan anak-anak yang sedemikian kecil harus menanggung beban yang begitu berat, yang bahkan dapat merenggut hidup mereka. Mereka memerlukan pertolongan segera. Beberapa indikator sederhana untuk mengenali anak-anak yang mengalami kekerasan secara fisik dan emosi, antara lain: Pertama: Apakah anak itu terlihat berbeda dari anak-anak lain, baik itu secara fisik maupun emosi ? bagaimana bentuk fisiknya ? Apakah lebih kecil dari seharusnya, sakit-sakitan ? Bagaimana keadaan emosinya ? Penghargaan dirinya ? Penerimaan dirinya ? konsep dirinya ? Kedua: Apakah anak menunjukkan rasa takut yang berlebihan, enggan berdekatan dengan orang yang seharusnya dekat dengan mereka (orang tua / pengasuh / dan sebagainya) ? Apakah dia menunjukkan keraguan pada waktu bersama dengan para caregiver itu ? Ketiga: Apakah anak memiliki kecenderungan yang ekstrim dalam beberapa atau banyak aspek dalam hidupnya, misalnya: mudah sekali menangis, marah, berkelahi, dan cenderung sensitif, menutupi emosinya dan bersikap tidak peduli kepada lingkungannya ?Keempat: Apakah ada tanda-tanda yang jelas mengenai kekerasan yang dialaminya secara fisik ? seberapa sering hal itu terjadi dan apa reaksinya terhadap keadaan ini ? Kelima: Apakah anak mengalami kesulitan dan berhati-hati terhadap kontak fisik, khususnya dengan orang dewasa ? atau bahkan anak-anak tertentu yang mendapat kekerasan fisik benar-benar merasa haus akan kasih sayang, sentuhan dan pelukan ? Keenam: Apakah terjadi perubahan yang drastis dalam tingkah laku, kebiasaan / keadaan anak-anak ?10
Ada berbagai macam variasi tanda dari seorang anak yang mengalami kekerasan fisik yang mungkin akan kita temui, namun beberapa indikator di atas sangat menolong kita mengenali anak-anak mana yang benar-benar sedang diambang krisis yang perlu mendapat pertolongan kita dengan segera. Kepekaan kita dalam menanggapi gejala-gejala yang ditunjukkan anak-anak itu akan sangat menolong kita memberikan pertolongan tepat pada waktunya - sebelum segala sesuatu terlambat – yang sangat mungkin dapat merenggut jiwa anak-anak tersebut.
PENDEKATAN PERTOLONGAN DENGAN TIM KERJA
Dalam menangani anak-anak yang mengalami kekerasan fisik dan emosional ini, diperlukan pendekatan pelayanan secara tim dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda, misalnya: Dokter, perawat, dan fisioterapis (untuk merawat fisik yang terluka), pengacara (untuk mendapatkan keadilan dari sisi hukum), konselor dan psikiater (untuk masalah emosi dan kejiwaan), guru (untuk melayani anak tersebut dari sisi akademik) dan polisi (sebagai eksekutor bagi pelaku kekerasan terhadap anak). Namun di atas semua itu, peran orang-orang terdekat dari anak itulah yang sangat memegang peranan penting proses kesembuhan dan pemulihan dari luka akibat kekerasan fisik dan emosi ini.
MODEL PELAYANAN KEPADA ANAK-ANAK YANG MENGALAMI KEKERASAN FISIK
Anak-anak sangatlah berbeda dengan orang dewasa. Cara mereka menghadapi masalah juga sangat berbeda dan cenderung terbatas. Oleh sebab itu, pendekatan konseling kepada anak-anak pun sangatlah unik dan berbeda daripada konseling kepada orang dewasa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa krisis / masalah yang dialami oleh seorang anak dapat mempunyai dampak yang cenderung bertahan lama dan memiliki efek yang lebih dalam daripada krisis / masalah di masa sesudah anak-anak. Keadaan ini seringkali akan membuat anak itu kurang mampu menghadapi trauma pada masa yang akan datang.11 Oleh sebab itu, pelayanan konseling adalah pelayanan yang krusial dan sangat menentukan keadaan hidup anak di kemudian hari.
Namun pertolongan konseling kepada anak yang mengalami kekerasan secara fisik, apalagi dengan tingkat kerusakan yang sudah sangat parah, tidaklah mudah. Seringkali anak-anak kurang terampil dalam berkata-kata atau tidak memiliki cara yang kreatif (bervariasi) seperti yang dimiliki orang dewasa untuk memecahkan masalah mereka, termasuk masalah kekerasan fisik yang mereka alami.12 Anak-anak umumnya memperlihatkan gejala-gejala tertentu tanpa memahami kaitan gejala itu dengan masalah yang sedang mereka alami. Mereka umumnya bertindak secara naluriah untuk mengungkapkan keadaan mereka yang sebenarnya. Seringkali anak-anak ini melakukan sesuatu untuk memecahkan masalah mereka, yang cenderung kurang tepat atau bahkan memperparah keadaan mereka. Dan yang lebih parahnya, anak-anak mempercayai apa yang mereka lakukan tepat meskipun mereka mendapatkan akibat yang tidak mereka harapkan. Misalnya: Anak yang mengalami kekerasan di rumah, seringkali melampiaskan kemarahan, ketakutan, dan kegelisahan mereka dengan melakukan kekerasan yang sama di sekolah. Hal ini kadang-kadang timbul secara spontan. Namun seringkali juga merupakan bagian dari pilihan yang salah untuk mengkomunikasikan ketakutan, kegelisahan dan kemarahan mereka di rumah. Konselor perlu hadir untuk menolong anak menyadari bahwa selalu ada pilihan yang lain untuk menghadapi masalah yang sedang mereka hadapi. Konselor perlu menyediakan sarana bagi anak untuk membicarakan ketakutannya dengan orang dewasa karena hal ini akan membuat sang anak sadar bahwa ternyata dia memiliki pilihan lain dalam melihat dan menanggulangi masalahnya.13 Namun ada satu hal yang perlu selalu diingat ketika kita memberi pertolongan kepada anak, yaitu bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa. Oleh sebab itu pendekatan konseling kepada anak adalah pendekatan yang khusus bagi anak-anak pula. Unik hanya untuk anak.
LANGKAH-LANGKAH KONSELING KEPADA ANAK
Langkah Pertama: Perlunya Terapi Keluarga. Untuk menolong anak yang mengalami kekerasan secara fisik, kita perlu melibatkan orang tua di dalamnya. Selain untuk mendapat informasi yang lengkap dan jelas mengenai keadaan anak itu, orang tua seringkali bahkan menjadi sumber kekerasan pada diri anak. Kecenderungan ini sejalan dengan data survei pelaporan tindakan kekerasan pada anak, yang mengindikasikan bahwa pelaku kekerasan pada anak umumnya adalah orang yang paling dekat dengan diri anak itu sendiri. Oleh sebab itu, Konselor perlu juga mengerti beberapa karakteristik orang tua, yang cenderung dapat menjadi orang tua yang melakukan kekerasan pada anak. Dr. Grant L. Martin, seorang Konselor Kristen, mengungkapkan beberapa tanda yang biasanya menyertai orang tua yang abusive. Dr. Martin berkata:
Parents of abused children are often described as being immature, dependent, impulsive, self-centerd, rigid, and rejecteing. They tend to lack nurturing and coping skills and have a history, so they use it as a frequent option. Abusive parents are often socially isolated and distrustful of their neighbors. Many abusive parents had troubled childhoods and learned very early that they could not rely on others for emotional support. As the result they never learned the social skills necessary to form solid realationships with relatives, neighbors, and friends. They seem to reject offers of help, having learned to be suspicious of the good intentions of others. When faced with stressful situation, they feel totally alone and trapped and may react with violent abuse ore neglectful depression.14
Tanda-tanda di atas sebenarnya ingin mengungkapkan betapa rentannya kehidupan keluarga, dengan anggota keluarga (khususnya para ayah) sebagai pelaku kekerasan di dalam keluarga. Hampir dapat dipastikan bahwa orang tua yang melakukan tindakan kekerasan fisik kepada anak adalah seorang yang juga melakukan tindakan yang sama kepada pasangannya (suami / istrinya). Oleh sebab itu, pertolongan konseling bagi orang tua juga merupakan sesuatu yang mendesak untuk dilakukan untuk menolong keluarga, secara umum, dan anak secara khusus. Keberhasilan terapi keluarga anak sangat mendukung keberhasilan terapi pada anak.
Dalam interview awal dengan orang tua, konselor perlu secara cermat memperhatikan reaksi dan respon orang tua anak yang mengalami kekerasan. Beberapa di antara orang tua menerima dan mengakui bahwa mereka melakukan kekerasan. Namun tidak sedikit yang menolak dan melimpahkan kesalahan kepada anak atau pasangannya. Oleh sebab itu, ada beberapa indikator yang dapat dipakai pada waktu mengadakan interview / kontrak awal dengan orang tua untuk melihat apakah keadaan orang tua yang sebenarnya: Apakah orang tua atau pengasuh anak memberi tanggapan atau menceritakan keadaan anak secara kontradiksi dengan keadaan anak ketika datang atau ketika konseling? Apakah orang tua / pengasuh berusaha menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya, khususnya mengenai keadaan anak (yang mungkin dibawa dalam keadaan terluka, bahkan kritis) ? Apakah orang tua / pengasuh enggan memberi informasi yang mendalam / diperlukan dalam proses konseling / menangani anak secara lebih efektif ? Bagaimana reaksi mereka ? Bagaimana pengulangan keadaan kritis anak (luka / kecelakaan, dll) dalam diri anak ? apakah sering ? atau terus berulang dengan alasan yang dibuat-buat ? Bagaimana reaksi orang tua / pengasuh ketika memberi keterangan mengenai proses terlukanya anak ? Apakah dia sering mencari kambing hitam pada pihak lain ? Bagaimana penjelasan orang tua yang melakukan penundaan ketika membawa anak yang terluka itu untuk mendapatkan penanganan medis ? Bagaimana keadaan keluarga secara umum ? bagaimana hubungan antar orang tua, orang tua – anak ? Apakah ada anggota keluarga yang menjadi pengguna narkoba / kecanduan alkohol ? Apakah orang tua bersedia mengikuti proses konseling untuk menolong dirinya sendiri, dan anak yang sedang dilayani ? Apakah ada penolakan ? Apa penyebabnya ?15
Kekerasan yang dialami anak sangatlah kompleks. Oleh sebab itu, pelayanan kepada anak yang mengalami kekerasan fisik dan emosi ini haruslah mendapat penanganan dari tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu dan profesi (seperti yang disebutkan di atas). Di Indonesia sendiri, para konselor umumnya mengalami kesulitan untuk berkolaborasi dengan tenaga terampil lain untuk menyelesaikan masalah kekerasan anak. Ketidakpastian secara hukum seringkali membuat upaya pertolongan pada anak-anak yang mengalami kekerasan secara fisik, emosi, dan seksual tidak mendapat penanganan yang memadai.16 Selain itu, konselor harus mendapat informasi yang memadai mengenai anak yang mengalami kekerasan fisik tersebut. Informasi dapat berupa riwayat keluarga, penyebab kekerasan fisik yang dialami, gejala-gejala yang diperlihatkan17
Langkah Kedua: Konseling Anak .Terapi yang paling tepat untuk melayani anak-anak dengan kekerasan fisik dan emosi adalah dengan menggunakan terapi bermain (Play Therapy). Terapi bermain terbukti sangat efektif untuk menolong anak dengan berbagai macam problem khususnya problem emosi, tingkah laku, dan beberapa masalah dalam hidup anak18. Ada banyak media yang dapat digunakan dalam terapi bermain, namun fokus yang paling mendalam dalam terapi bermain adalah menjalin hubungan dan membangun media untuk berkomunikasi dengan anak. Hubungan yang mendalam menimbulkan rasa aman dan percaya antara anak dan konselor. Hal ini saja menjadi semacam langkah awal efek terapeutik dalam diri anak dalam mengenal dan menangani permasalahan yang dihadapinya.19 Beberapa langkah dalam konseling anak-anak yang mengalami kekerasan secara fisik dan emosi lewat terapi bermain.
Pertama: Membangun suasana yang kondusif. Dalam Terapi bermain, anak secara bebas dapat mengeksplorasi diri dan dunianya dengan caranya sendiri dalam perasaan yang aman, nyaman, dan penuh penghargaan-penerimaan, dan saling percaya antara konselor dan anak. Hal-hal ini tentu saja seperti suasana yang diidamkan oleh anak, khususnya anak-anak yang mendapat kekerasan fisik dan emosi secara terus menerus. Keadaan di luar membuat dirinya merasa tidak aman, selalu ketakutan, tidak nyaman, penuh dengan penolakan dan pelecehan. Hal itu menimbulkan berkembangnya rasa sulit percaya anak kepada orang lain, khususnya orang dewasa. Suasana yang kondusif dalam terapi anak akan sangat menolong anak menemukan insight-insight yang akan menolongnya untuk mendapat kesembuhan dari luka dan kehancuran emosi akibat kekerasan fisik dan emosi yang diterimanya selama ini. Media yang digunakan sangatlah bervariatif dan kreatif sesuai dengan kebutuhan dan pilihan bebas anak. Namun demikian, Konselor perlu memberi beberapa batasan sehingga proses konseling dapat berlangsung dengan baik.
Kedua : Proses Konseling anak. Dalam konseling anak dengan menggunakan terapi bermain, ada 6 Fase yang perlu dilewati oleh anak sampai pada tahap ketika anak dipulihkan dan menemukan cara pandang dan tingkah laku yang baru dalam meresponi masalah yang dihadapi.20
Fase pertama : Dengan menggunakan Client Center Psychotherapy. Dalam Fase ini, konselor menjalin hubungan yang dekat dengan anak (dalam suasana yang kondusif) sampai anak merasa aman dan nyaman berbicara dengan konselor. Dalam fase ini, konselor perlu banyak melakukan observasi, memberi feedback, dan menggunakan pertanyaan terbuka untuk menolong anak mengeksplorasi diri dan keadaannya saat itu. Anak yang mengalami kekerasan fisik dan emosional seringkali memerlukan waktu yang lebih dalam proses menjalin hubungan ini. Tahap ini disebut joining. Seringkali di awal pertemuan, anak dengan kekerasan fisik dan emosi ini cenderung menghadirkan perasaan-perasaan negatif terhadap lingkungan barunya; tidak taat, sengaja melawan, sengaja melanggar aturan konselor.21 Semua tingkah laku itu hanyalah cara mereka untuk mempertahankan kestabilan diri karena mereka tidak ingin disakiti lagi oleh orang lain, khususnya orang dewasa. Fase ini sering menyulitkan konselor untuk menjalin hubungan dengan anak bermasalah ini. Diperlukan kesabaran, ketenangan, dan konsistensi yang kuat untuk memenangkan hati anak ini.. Seringkali dalam proses awal ini, anak melakukan resistensi terhadap konselor. Untuk itu ada beberap cara yang dapat dilakukan oleh konselor, yaitu Pertama: Affirmation (menerima dan memberi nilai positif terhadap anak). Kedua: Satiation (menciptakan situasi sehingga anak menyadari tindakan resistensi anak tidak pada tempatnya). Ketiga: Prescribing the resistence (menciptakan situasi yang terbalik dari yang seharusnya sehingga anak ”terpaksa” melepas resistensinya). Keempat: Mirrorring (melakukan apa yang anak lakukan untuk menyadarkannya terhadap tingkah lakunya).22 Anak-anak yang melihat respon yang sangat berbeda terhadap diri mereka, secara perlahan akan membuka diri dan hatinya dan mempercayai konselor karena mereka merasa diterima, dikasihi, dan dimengerti. Pembicaraan berlanjut dengan menggunakan media tertentu (miniatur binatang, gambar, dll) sehingga konselor dapat menangkap masalah utama anak yang menjadi goal dari seluruh proses konseling ini. Beberapa media seperti miniatur binatang, permainan untuk assessment (pin the tail on the donkey, people in the world, dll) dapat menjadi media yang indah.23
Fase kedua: Dalam fase ini, konselor menggunakan gestalt Therapy, yaitu menolong anak untuk menemukan emosi yang mungkin selama ini tersimpan dan disembunyikan, dan mengungkapkan emosi dengan cara yang berbeda dari yang pernah mereka lakukan. Anak-anak dengan kekerasan fisik dan emosi mengalami kekacauan dalam emosi mereka. Seringkali mereka yang sudah mengalami kekerasan fisik dalam jangka waktu yang lama sangat sulit untuk mengekspresikan emosi (misalnya kemarahan dan kesedihan mereka). Hal ini terjadi karena anak yang mengalami kekerasan fisik dan emosi seringkali dipaksa untuk menyimpan emosi dan pendapatnya. Setiap kali mereka mengungkapkan perasaan, mereka akan mendapat kekerasan fisik yang lebih besar. Oleh sebab itu, mereka terbiasa dipaksa untuk mengendapkan emosi mereka. Menolong anak untuk melepaskan emosinya akan sangat menimbulkan efek terapeutik yang besar. Penggunaan boneka sering menjadi media komunikasi yang baik bagi anak untuk memulai mengkomunikasikan perasaan dan emosinya. Media Clay / malam sering menjadi media lanjutan yang efektif dalam fase ini. Anak yang dapat mengekspresikan kemarahannya dengan berteriak, meremas-remas – memukul – meninju – melempar Clay akan memberi efek melegakan bagi diri anak. Perlu diperhatikan, bahwa dalam fase ini, anak seringkali berusaha melakukan resistensi. Gunakan berbagai media untuk menolong anak.Selain itu, konselor dapat menggunakan berbagai game dan aktifitas untuk menolong anak menyalurkan dan mengenali perasaan mereka, misalnya: 3-D Facemask, Mood Faces, Feelings Pie, dan sebagainya.24
Fase ketiga: Dalam fase ini, konselor menggunakan Narative Therapy, yaitu dilakukan dalam beberapa cara: (1) merekonstruksi cerita anak dalam bentuk yang baru. (2) Externalizing. (3) Exception. (4) Scaling question. (5) Miracle question, sehingga anak memiliki pilihan untuk melihat masalah yang dihadapinya dari perspektif yang berbeda dan menolong anak mengerti ada pilihan dan kesempatan untuk berubah. Anak yang mengalami kekerasan fisik dan emosi seringkali merasa tidak ada harapan untuk mengubah keadaan. Fase ini akan menolong anak melihat bahwa selalu ada harapan untuk berubah. Dalam fase ini, anak akan dibangkitkan emosi positifnya dan menemukan sesuatu yang selama ini hilang dari kehidupannya. Media yang dapat digunakan adalah simbol, clay, dan beberapa aktifitas, seperti: kartu trouble game, darts, comfort kit, dan sebagainya.25
Fase keempat: Dalam fase ini, konselor menggunakan Cognitive Behaviour Therapy, yaitu konselor menolong anak yang mengalami kekerasan secara fisik dan emosi untuk menemukan konsep berpikir yang benar dan memilih tingkah laku yang tepat dari cara berpikir yang benar. Seringkali anak-anak yang terluka secara fisik dan emosi karena kekerasan mengganggap dirinya tidak layak dikasihi, tidak dicintai, tidak berharga, dan pantas menerima semua luka tersebut. Konselor perlu menolong anak mengubah unhelpful beliefs dengan helpful beliefs, bahwa dia memiliki sesuatu yang dapat dikembangkan dan berharga. Media berupa menggambar fruit tree akan sangat menolong anak melihat dan mengkonsep dirinya dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Dalam fase ini, anak perlu ditolong untuk meningkatkan motivasi untuk berubah. Aktifitas yang dapat digunakan adalah comfort squares, A Child called…, Zorro reaches the mountains, dan sebagainya.26
Fase kelima: Dalam fase ini, konselor menggunakan Behaviour Therapy, yaitu melatih anak untuk memilih dan melakukan tingkah laku yang baru. Dalam fase ini, ruang konseling dapat dijadikan ruang latihan. Misalnya: untuk anak yang mengalami kekerasan fisik dan emosi mengalami kesulitan untuk bersosialisasi, maka konselor perlu melatih anak memiliki ketrampilan sosial yang lebih baik. Untuk anak yang emosional, sering merusak barang, dirinya, atau orang lain sewaktu marah dapat dilatih cara mengungkapkan emosi dengan cara yang lebih positif dan benar. Permainan yang cocok adalah I Can Help, Practice Makes Perfect, Personal Persuit, dan sebagainya.27
Fase keenam : Fase ini disebut fase terminasi, yaitu fase akhir ketika konselor melihat bahwa konseling telah berhasil dan dapat diakhiri. Untuk mencapai keefektifan yang maksimal, anak harus diberikan ruang lingkup hidup yang baru dan jauh dari kekerasan yang dahulu pernah dialami. Bila kekerasan berlangsung di rumah, anak ditempatkan di tempat lain (di USA dikenal dengan foster Parent) sampai orang tua siap dan sembuh dari keadaan sebelumnya. Itulah sebabnya, untuk menangani anak dengan korban kekerasan fisik dan emosi seperti ini haruslah melibatkan banyak pihak dari berbagai profesi dan disiplin ilmu.
CATATAN PENTING DALAM KONSELING ANAK YANG MENGALAMI KEKERASAN FISIK
Pertama: Respon pertolongan segera. Anak-anak yang mengalami kekerasan secara fisik dan emosi adalah anak-anak yang sedang di dalam krisis yang besar. Oleh sebab itu, penanganan untuk setiap kasus adalah unik dan cenderung berbeda, tergantung berat-ringan atau mendesak-tidaknya sebuah keadaan. Waktu menjadi faktor yang sangat penting dalam menangani anak yang dalam krisis ini. Bahkan beberapa tokoh konseling Kristen mengatakan bahwa tujuh puluh dua jam pertama dari sebuah keadaan krisis merupakan keadaan kritis dan cenderung membahayakan.28 Dalam beberapa kasus kekerasan ini, keterlambatan pertolongan dan reaksi akan berakibat fatal, yang dapat mengakibatkan kematian. Mendatangi anak-anak itu segera akan sangat membantu menjadi pintu awal menyelamatkan anak-anak dari kekerasan selanjutnya. Oleh sebab itu, respon pertolongan segera harus secepat mungkin diambil. Peran tim dalam pertolongan sangatlah penting dan mendesak.
Kedua: Konseling untuk anak-anak yang mengalami kekerasan secara fisik dan emosional dapat dilakukan dalam dua tipe, yaitu konseling krisis (urgent counseling) dan Long Term Counseling. Pemilihan tipe konseling ini tergantung dengan keadaan dan situasi pada waktu itu. Perbedaan antara kedua tipe konseling ini pun cukup signifikan. Dr. Judson J. Swihart, seorang konselor Kristen memberi beberapa perbedaan mendasar yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.29
Crisis Counseling – urgent counseling | Long Term Counseling | |
Focus | Emotionally intensive | Less emotionally intensive |
Goals | Restore emotional equilibrium, Problem resolution, Deal with conscious, Focus on immediate | Long term growth, Work through long-standing conflicts, Deal with unconscious, Focus on past, present, and future |
Treat ment moda lity | Environmental manipulation, Focus on feeling and action, Appointment any hour; undefined length, Directive; early confrontation of unrealistic, perspectives and unproductive behavior, No formal personality diagnosis, Use of many resource of people | Personal change, Focus on introspection, Often scheduled; for one hour, Maybe nondirective;, exploratory; time for building rapport, Often has diagnosis of personality features, Primarily use of one counselor |
Ketiga: Hal yang tidak kalah penting adalah rencana follow up setelah konseling dengan anak memasuki masa terminasi. Hal ini akan sangat menolong anak untuk ditolong secara lebih lanjut agar tidak mengalami kekerasan yang sama, yang dialaminya sebelumnya. Follow up juga memikirkan pertemuan secara berkala setelah sesi konseling selesai, memberi lingkungan baru bagi anak (bila lingkungan keluarganya masih tidak kondusif), menunjuk pengasuh baru (bila orang tua menjadi sumber kekerasan dan tidak dapat memberi jaminan keamanan bagi anak), atau kondisi-kondisi baru lain bagi anak, yang dapat menolongnya bertumbuh secara lebih sehat.30
PENUTUP:
Tahun-tahun ini adalah tahun yang sulit dan penuh perjuangan bagi anak-anak. Mereka dipaksa untuk menjadi dewasa sebelum waktunya dan berjuang untuk mempertahankan hidupnya sendiri karena ancaman-ancaman yang bertubi-tubi menyerang mereka. Ketika mereka seharusnya diberi perlindungan, rasa aman, kasih, dan kepeduliaan, anak-anak diserang dan disakiti oleh orang yang justru seharusnya melindungi mereka. Maka haruslah ada orang-orang dewasa yang bangkit dan memperjuangkan hak anak-anak. Diperlukan tangan yang menjangkau anak-anak dalam krisis ini, dan membawa mereka menemukan dunia anak-anak lagi; dunia yang penuh tawa, canda, sukacita, kasih sayang dan perlindungan. Siapapun kita dan apapun profesi kita, Tuhan dapat memakai kita untuk melakukan sesuatu – membangkitkan harapan dan menolong anak-anak dalam krisis ini menemukan hidup mereka kembali. Anak-anak yang mengalami kekerasan adalah anak-anak yang terbelenggu, terikat, teraniaya, lapar akan kasih sayang, telanjang, miskin dan tidak berdaya. Tuhan menantang kita untuk mengulurkan tangan bagi anak-anak yang menderita ini. Bukankah itu yang dirindukan oleh Tuhan dalam Yesaya 58:6-8, ” Berpuasa yang Kukehendaki ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecahkan rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian... Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar...”. Maukah kita mengambil bagian dalam pekerjaan ini ? Tuhan mengasihi kita semua. Terpujilah nama Tuhan selama-lamanya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Allender, Dan B. Hati Yang Luka: Kemenangan atas derita Pelecehan Seksual. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Breire, John N. Child Abuse Trauma. California: Sage Publications Inc, 1992.
Dumas, Jean E. & Nilsen,Wendy J. Abnormal Child and Adolescent Psychology. Boston: Pearson Education Inc, 2003.
Geldard, Kathryn & Geldard, David. Counselling Children. London: SAGE Publications, 2002.
Hobday, Angela & Ollier, Kate. Creative Therapy with Children & Adolescents California: Impact Publ. Inc, 2003.
Geldard, Kathryn & Geldard, David. Counselling Children. London: SAGE Publications, 2002.
Hobday, Angela & Ollier, Kate. Creative Therapy with Children & Adolescents California: Impact Publ. Inc, 2003.
Kaduson, Heidi Gerard, The Playing Cure. New Jersey: Jason Aronson Inc, 1997.
Lowenstein, Liana.Creative Interventions For Troubled Children and Youth Toronto: Champion Press, 1999
Martin, Grant L. Counseling For Family Violence and Abuse. Texas: Word Books, 1987.
Moustakas, Clark. Children in Play Therapy. New York: McGraw-Hill Publishers, Inc., 1953Perry, B.D., Mann, D., Palker-Corell, A. and Ludy-Dobson, C. and Schick, S. Child Physical Abuse in: Encyclopedia of Crime and Punishment Vol 1.(David Levinson, Ed.). London: Sage Publications,
Swihart, Judson J. dan Richardson, Gerard C. Counseling in Times of Crisis. Dallas: Word Inc., 1987.
Wright, H. Norman. Konseling Krisis. Malang: Gandum Mas, 1996.
INTERNET
C. J. Newton, MA, “ Child Abuse: An Overview”, http://www.findingcounseling.com/journal/child- abuse/)
J. Isherwood, K.S. Adams, A.R. Hornblow, dan A.R. Lifte, “Life Even Stress, Psychological Factors,
Suicide Attempt, ad Auto-Accident Proclivit,” Journal of Psychosomatic Research, 26 (1982).
http://www.helpguide.org/mental/child_abuse_physical_emotional_sexual_neglect.htm
http://www.crosscreekcounseling.com/child_abuse.html
LAIN-LAIN
Soesilo, Vivian A. Bahan-Bahan Kuliah / Diktat Kuliah Terapi Anak. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2008.
Tejalaksana, Rudy. Bahan Training Konselor krisis untuk Korban Tsunami Aceh. Meulabouh, 2005.
END NOTES:
END NOTES:
1C. J. Newton, MA, dalam artikelnya Child Abuse: An Overview, memberi data statistik yang cukup mencengangkan. Dia berkata, "1,500 children die from abuse each year. There are 140,000 injuries to children from abuse each year. There are 1.7 million reports of child abuse each year. About 1 in 4 women in North America were molested in childhood. More than 2 million cases of child abuse and neglect are reported each year in the United States. An estimated 150,000 to 200,000 new cases of sexual abuse occur each year. There were an estimated 903,000 victims of maltreatment nationwide. An estimated 1,100 children died of abuse and neglect, a rate of approximately 1.6 deaths per 100,000 children in the general populations. Approximately 1 in 7 males will have been sexually molested before the age of 18." (C. J. Newton, MA, “ Child Abuse: An Overview”, http://www.findingcounseling.com/journal/child-abuse/)
2 Dan B. Allender, Hati Yang Luka: Kemenangan atas derita Pelecehan Seksual ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001) 7-9.
4 C. J. Newton, MA, "Child Abuse: An Overview” (baca juga http://www.crosscreekcounseling.com/child_abuse.html)
5 Jean E. Dumas & Wendy J. Nilsen, Abnormal Child and Adolescent Psychology (Boston: Pearson Education Inc, 2003) 335
8 Fakta membuktikan bahwa banyak sekali orang yang melakukan kekerasan adalah orang dewasa yang juga mengalami kekerasan pada waktu kecil. Namun hal ini tidaklah merupakan sesuatu yang pasti demikian. Ada orang dewasa yang melakukan kekerasan meskipun pada masa kecilnya tidak mendapat kekerasan. Demikian sebaliknya ada orang dewasa yang tidak melakukan kekerasan meskipun pada masa kecilnya mengalami kekerasan. Namun para peneliti menemukan bahwa keluarga yang non abusive memiliki hubungan interaksi yang lebih baik dan mendalam dibandingkan dengan keluarga yang abusive. Keluarga non abusive lebih banyak memiliki kesempatan untuk berkecimpung dalam kehidupan sosial dan religi lebih dalam di bandingkan dengan keluarga abusive, sehingga pola positif dalam keluarga mempengaruhi keadaan anak pada masa mendatang. Anak dari keluarga non abusive membangun hidupnya dalam lingkungan yang lebih kondusif, sedang anak dari keluarga abusive cenderung belajar dari pola abusive yang diterimanya dari lingkungannya. Grant L. Martin, Counseling For Family Violence and Abuse, (Texas: Word Books, 1987) 132-133 (coba bandingkan dengan tulisan Jean E. Dumas & Wendy J. Nilsen, dalam buku Abnormal Child and Adolescent Psychology hal 355 -356)
9 Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kekerasan pada masa kecil, orang dewasa yang memiliki sejarah kekerasan pada masa kecil kemungkinan lebih besar mengalami beberapa problem, antara lain: Anxiety disorders; Chronic head, face or pelvic pain; Eating disorders; Musculoskeletal complaints; Depression; Gastrointestinal distress or symptoms; Asthma or other respiratory ailments; Obesity, Eating disorders; Insomnia; Panic; Sexual dysfunction; Substance abuse; Suicidal ideation or behavior; Pseudo-neurologic symptoms (dizziness, etc.); Unintended pregnancy; Self-injury; Abuse their own children (Effects of Child Abuse on Adults Childhood Abuse - Child Abuse An Overview)
10 Beberapa point dalam bagian ini diambil dari buku Konseling Krisis yang ditulis oleh H. Norman Wright pada halaman 214-215
11 J. Isherwood, K.S. Adams, A.R. Hornblow, dan A.R. Lifte, Life Even Stress, Psychological Factors, Suicide Attempt, ad Auto-Accident Proclivit,” Journal of Psychosomatic Research, 26 (1982), 371-383.
16 Saya pernah melayani seorang anak yang berusia 13 tahun. Sejak umur 7 tahun dia mendapat kekerasan baik secara fisik, emosi, dan seksual dari ayahnya.. Bahkan ayahnya menjualnya pada teman ayahnya untuk mambayar utang judi ayahnya. Saya berusaha menolongnya, namun kendala yang terbesar adalah saya tidak berdaya untuk melepaskannya dari rumah ayahnya. Sang Anak enggan melaporkan ayahnya karena baginya ayahnya adalah penopang ekonomi keluarga. Bila ayahnya ditangkap, maka keluarga ini akan semakin miskin. Saya melapor ke aparat yang berwajib, namun tidak mendapat tanggapan kecuali saya bersedia membayar aparat itu dengan harga yang tinggi. Bagi saya, keadaan hukum Indonesia yang tidak menentu membuat kekerasan terhadap anak sulit untuk dihentikan. Semoga ada perubahan dikemudian hari.
17 Anak yang mengalami kekerasan secara fisik seringkali menunjukkan gejala perilaku dan emosi yang tidak stabil. Sebagian anak mengalaminya mulai dari masa pra sekolah (agresif, perlawanan, pemberontakan, dan sebagainya). Untuk anak yang lebih besar problem emosional sering menyertai (tidak disukai di sekolah, sering didisiplin karena tingkah lakunya, mendapat penolakan yang berakibat kegagalan secara akademik, keluar dari sekolah, dan meningkatkan resiko sebagai pelaku kejahatan diusia remaja mereka, mengalami kesulitan hubungan interpersonal, depresi yang berkepanjangan dan percobaan bunuh diri (Jean E. Dumas & Wendy J. Nilsen, Abnormal Child and Adolescent Psychology 355)
18 Untuk ide-ide media kreatif dalam konseling dapat dilihat di buku karangan Liana Lowenstein yang berjudul Creative Interventions For Troubled Children and Youth terbitan Champion Press, Toronto tahun 1999.
20 Langkah-langkah konseling anak di atas diambil dari skill yang diajarkan oleh Kathryn Geldard dan David Geldard dalam buku mereka: Counselling Children (London: SAGE Publications, 2002) 87-123
21 Ibid. 7 (Clark Moustakas dalam bukunya Children in Play Therapy halaman 7-8 mengatakan, “ Attitudes of hostility, anxiety, and regression are pervasive n their expression in the playroom. Children are frightened, angry, or immature without definitely focusing their feelingon any partivular person or persons or emotional experiences. They are oftehn afraid of almost everything and everybody and sometimes feel like destroying all people ore merely wish they would be left completely alone, or wish to regress to a simpler, less demanding level of behavior. For example, may express iself by direct attacks on the toys, by smashing, pounding, breaking, by tearing, crushing, and a variety of other actions)
24 Lihat Angela Hobday & Kate Ollier, Creative Therapy with Children & Adolescents (California: Impact Publ. Inc, 2003) 27-37
28 Judson J. Swihart dan Gerard C. Richardson, Counseling in Times of Crisis, Dallas: Word Inc., 1987) 139
29 Karena keterbatasan tempat, maka detail crisis counseling dan long term counseling tidak dibahas secara mendalam. Apabila saudara ingin mempelajari hal ini secara mendalam, saudara dapat membacanya dibuku Counseling in Times of Crisis, oleh Judson J. Swihard dan Gerard C. Richardson di halaman 140 – 179. Selamat membaca.
30 Untuk konteks Indonesia hal ini masih perlu terus diperjuangkan. Ketidakpastian hukum dan perlindungan bagi anak-anak seringkali membuat pelayanan kepada mereka tidak dapat dilakukan secara maksimal. Diperlukan organisasi atau LSM Khusus yang menfokuskan penanganan pada anak-anak korban kekerasan ini. KomNas HAM Indonesia adalah langkah maju dalam pembelaan terhadap anak-anak ini.
No comments:
Post a Comment