KAUM HOMOSEKSUAL :
PARA KORBAN YANG TERLUPAKAN
AS A LOVING FATHER, GOD HAS PUT SEXUAL MORALITY IN PLACE TO PROTECT HIS CHILDREN FROM HURTING THEMSELVES, TO PROTECT OUR RELATIONSHIPS WITH OTHERS, AND TO BRING GLORY TO HIM
(JASON PERRY, SERVANT OF GOD)
Oleh: Rudy Tejalaksana, M.K.
PENDAHULUAN:
Majalah DewaDewi ( http://majalahdewadewi.wordpress.com/2007/09/10/jika-aku-gay-hinakah) menceritakan sebuah kisah yang mengenaskan. Hari itu, tanggal 19 Juli 2005, hari yang kelabu, yang menjadi bahan perbincangan orang di seluruh dunia. Hari itu, dua orang laki-laki warga negara X, Asgari dan Marhoni, harus menyelesaikan hidupnya di tiang gantungan, tepat di depan monumen kemerdekaan negara X. Menurut pemerintah X, Asgari dan Marhoni dijatuhi hukuman gantung karena menculik dan memperkosa anak laki-laki berusia 12 tahun. Namun penyelidikan yang dilakukan oleh banyak pihak mengungkapkan fakta yang berbeda. Asgari dan Marhoni di hukum mati karena mereka diketahui sebagai pasangan homoseksual dan berpacaran. Kebenaran penyelidikan itu dilengkapi oleh sebuah kasus yang mirip, yang terjadi setahun kemudian. Tahun 2006, giliran Shahab Darvishi yang harus berhadapan dengan tiang gantungan di depan monument kemerdekaan negara X dengan alasan yang sama, dia seorang homoseksual, seorang gay yang berpacaran dengan gay yang lain.1 Sehina itukah seorang homoseksual ? Apakah mereka tidak punya kesempatan dan kebebasan yang sama seperti orang-orang normal lainnya ? Sebuah pertanyaan yang tentu sangat mengundang kontroversi, namun perlu dikaji dengan leih mendalam.
Di sisi lain, abad 21, gerak para kaum homoseksual menjadi lebih leluasa dari pada abad-abad sebelumnya. Jika dulu, pionir-pionir psikiatri, Freud, Jung, dan Adler melihat dan menjelaskan homoseksual sebagai bentuk abnormal dari perilaku seks, sekarang homoseksual bahkan tidak dapat ditemukan lagi di buku-buku manual (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)) perilaku abnormal.2 Ilmu psikiatri modern memandang homoseksual sebagai salah satu gaya hidup alternatif, yang bukan berindikasi terhadap adanya gangguan psikologis (emosional), yang selama ini dipercayai oleh ahli psikiatris konvensional.3 Negara-negara barat, seperti Belanda, Canada, dan Amerika Serikat, bahkan sudah menetapkan pernikahan sejenis sebagai pernikahan yang sah dan diakui negara. Apakah nilai-nilai masyarakat sudah berubah ? Apakah masyarakat sudah mampu menilai homoseksual secara proporsional ? Bagaimana dengan Indonesia ? Bagaimanapun juga kaum homoseksual tetaplah kaum yang dianggap "lain“ dibandingkan manusia secara umum.
FAKTOR PENYEBAB :
Dr. Wimpie Pangkahila, seorang seksolog Kristen, mengatakan bahwa setidaknya ada empat penyebab homoseksual.4 Pertama: Faktor Biologis, yaitu adanya kelainan di otak dan genetik. Kedua: Faktor Psikodinamika, yaitu adanya gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak. Ketiga: Faktor sosial-kultural, yaitu adanya adat istiadat yang memberlakukan hubungan seks dengan alasan budaya atau kepercayaan tertentu5. Keempat: Faktor lingkungan yang memungkinkan dan mendorong pasangan sesama jenis menjadi erat. Faktor pertama (Biologis dan) seakan memberi indikasi ketidakberdayaan seseorang terhadap pemilihan apakah dia menjadi homoseksual atau tidak. Seperti tidak ada kesempatan untuk memilih, karena dikondisikan sejak lahir (biologis). Tiga faktor kedua (psikodinamika Sosial-kultural dan lingkungan) seakan seakan "memaksa“ seseorang untuk memilih menjadi seorang homoseksual. Sesuatu yang dipelajari, entah secara sadar atau tidak.
Namun faktor biologi dan teori genetika mengenai penyebab homoseksualitas pada umumnya telah dibuang dewasa ini. 6 Dr. Paul Cameron, direktur Family Research Institute di Colorado Springs Amerika, yang banyak menangani kasus homoseksual, mengatakan setidaknya ada 4 faktor terbesar seseorang menjadi homoseksual. Pertama: Homosexual experience (pengalaman mengalami hubungan homoseksual di masa lampau), kedua : Family abnormality (disfungsi dan ketidaknormalan keluarga). Ketiga: Unusual sexual experience, particularly in early childhood (pengalaman seksual dimasa kecil misalnya diperkosa, dilecehkan, dan sebagainya) Keempat: Cultural Influence (peran sosial dan budaya yang memperkenalkan aktifitas homoseksual dalam lingkungan orang tersebut).7 Pola homoseksual adalah pola yang berkembang dalam rentang waktu semenjak bayi hingga remaja, bukanlah bawaan sejak lahir, apalagi diciptakan demikian oleh Tuhan.
MEMAHAMI REALITA KEBERADAAN KAUM HOMOSEKSUAL INDONESIA
Di Indonesia, keberadaan kaum homoseksual juga terus menunjukkan eksistensinya, meski dengan cara yang sembunyi-sembunyi dan terkesan malu-malu. Kalau sempat mampir ke Surabaya, cobalah ke "Pataya" Jl. Kangean (Belakang Hotel Gubeng), TRS (Taman Remaja Surabaya)
setiap hari Kamis malam dalam acara Waria Show, SE (Studio East) Setiap hari Kamis malam dalam acara Gay Night, "Calfor" (Singkatan dari "California") Sepanjang jembatan Delta, WTC, Hotel Plaza Surabaya, setiap malam atau ke "Texas" Terminal Joyoboyo, setiap malam Minggu.8 Tempat-tempat itu adalah tempat “ngeber” (istilah kaum homoseksual, tempat berkumpul dan mengekspresikan diri). Pemandangan di sana ingin memproklamirkan kehadiran kaum homoseksual di Indonesia.
Masyarakat di Indonesia memandang kaum homoseksual (gay, lesbian (GL)) dengan persepsi yang berbeda-beda. Ada yang menerima, namun tidak sedikit yang menolak, menghindari, dan mengharamkan manusia-manusia seperti ini. Namun, diterima atau tidak, kaum homoseksual tetap eksis dan bertumbuh, meski termajinalkan dari pandangan dan norma dalam masyarakat Indonesia. Namun studi tentang gay dan lesbian terus mengalami perkembangan dari hari-hari ke hari. Peristiwa Stonewall, USA (1969), yaitu perjuangan kaum homoseksual untuk mendapatkan hak dan kesederajadan dalam masyarakat serta tuntutan kaum feminis untuk memperjuangkan hak perempuan dikumandangkan. Ditambah lagi dengan studi intensif mengenai gay dan homoseksual di perguruan tinggi besar dunia (seperti Harvard, Princeton, Yale, Berkeley, MIT, Duke, Notthingham Trente University, dan universitas Utrecht 9) di tahun-tahun terakhir ini seakan mengukuhkan keberadaan dan jati diri kaum homoseksual, termasuk di Indonesia.
Data statistik menunjukkan, 8 - 10 juta populasi pria Indonesia pada suatu waktu pernah terlibat pengalaman homoseksualual. Dari jumlah ini, sebagian kecil terus melakukannya. Mereka oleh psikiater disebut homoseksual laten. Karena kesulitan menekan kecenderungan homoseksual di bawah sadarnya, mereka dianggap menderita berbagai bentuk kekurangan dalam hal seksualitas, seksualitas yang abnormal.10 Sesuatu yang abnormal masih sangat sulit diterima oleh masyarakat, apalagi oleh masyarakat konvensional Indonesia.
HOMOPHOBIA, SEBUAH PENOLAKAN SOSIAL
Sadar atau tidak, sebagian besar orang mengembangkan perasaan yang tidak rasional, cenderung tidak mendasar, dan negatif terhadap kaum homoseksual. Orang seperti ini disebut juga homophobia.11 M. Herek, Ph. D., seorang psikolog sosial mengatakan,” Homophobia, a term often used to describe hostile reactions to lesbians and gay men, implies a unidimensional construct of attitudes as expressions of irrational fears.12 Homophobia muncul sebagai reaksi dari ketakutan pandangan yang berlebihan mengenai kaum homoseksual. Setidaknya ada 3 alasan utama seseorang mengembangkan homophobia dalam kontak interpersonalnya sehari-hari. Pertama: Pengalaman interaksi seseorang dengan kaum homoseksual pada waktu yang lalu. Semakin buruk pengalaman interaksi seseorang dengan kaum homoseksual, semakin besar homophobia yang dikembangkan oleh orang tersebut. Kedua : Sebagai bentuk pertahanan diri terhadap kecemasan dan konflik diri. Kecemasan ini diproyeksikan kepada kaum homoseksual, yang memang cenderung dipandang negatif oleh dirinya dan lingkungannya. Ketiga: Sebagai simbol dari ide atau konsep sosial yang dianut oleh dirinya, karena berkaitan dengan kesepakatan kelompok terhadap kaum homophobia. Semakin besar penolakan dari kelompok sosialnya, semakin kuat kecenderungan homophobia dalam hidupnya.13
Homophobia memiliki tingkat-tingkat, mulai dari yang paling sederhana sampai ke yang paling ekstrim. Untuk tingkat yang paling sederhana, homophobia cenderung menjauhi dan membentengi diri terhadap kaum homoseksualual. Namun untuk tingkat yang paling ekstrim, orang dengan homophobia dapat menunjukkan tingkah laku irasional pula, berupa mengolok-olok, memukuli atau bahkan membunuh kaum homoseksual. Sebagian besar homophobia dipicu oleh persepsi sosial, keyakinan masyarakat yang cenderung negatif dan tidak berdasar dalam memandang kaum homoseksual. Banyak golongan masyakarat mengkategorikan kaum homoseksual sebagai penganiaya anak-anak, pemangsa anak-anak, dan pembuat kejahatan seksual lainnya.14
Sikap para homophobia, atau masyarakat secara umum sepertinya didorong untuk memberi sanksi 15 atas perilaku menyimpang kaum homoseksual. Perilaku yang dianggap menyimpang dari harapan masyakarat dan norma sosial menimbulkan kesan negatif sehingga sanksi sosial diberikan kepada kaum homoseksual, seperti yang diungkapkan di atas.
RESISTENSI MASYARAKAT AGAMA INDONESIA
Ranah agama hampir selalu menjadi dasar dan ujung tombak penolakan masyarakat terhadap eksistensi kaum homoseksual. Indonesia sering dipandang sebagai negara religi, di mana agama dianggap sebagai dasar yang membawa pengaruh sosial terbesar terhadap tatanan, etika, dan norma masyarakat. Karena itulah agama sering dipakai sebagai tombak untuk menyerang dan bahkan menghakimi kaum homoseksual ini. Mimbar-mimbar agama seakan telah dijadikan sarana pengutukan dan penghakiman yang keji terhadap kaum homoseksual ini. Semua ini dilakukan demi mempertahankan kestabilan kognisi sosial, sikap, dan norma masyarakat untuk menolak segala bentuk homoseksual, kesepakatan peniadaan penyimpangan ini, dan resistensi untuk mentaati norma masyarakat yang "normal“. Tekanan sosial ini dimaksudkan agar kaum "penyimpang“ ini bertobat dan akhirnya melakukan komformitas untuk tunduk kepada norma agama dan sosial yang berlaku.
Namun pada kenyataannya, pengaruh sosial hanya mempengaruhi tampilan luar perilaku homoseksual. Keadaan di dalam kehidupan homoseksual sendiri tidak mengalami perubahan yang berarti. Resistensi dari luar seringkali menimbulkan dua akibat.
Pertama: Resistensi dari luar seringkali malah memperkuat sikap para homoseksual terhadap eksistensi mereka. Bukankah peristiwa Stonewell adalah salah satu bukti reaksi perlawanan terhadap penindasan, penghinaan, dan penolakan terhadap kaum homoseksual. Mereka menuntut persamaan hak dan kedudukan dengan kaum heteroseksual. Bahkan mereka menuntut diakuinya pernikahan sejenis, dan sebagainya. Namun dibutuhkan keberanian, seperti Dr. Dede Utomo (tokoh gay di Indonesia) untuk keluar dari resistensi ini dan menyatakan diri secara terbuka.
Kedua: Resistensi dari luar seringkali menimbulkan devaluasi diri dan disonansi kognitif16. Salah satu bentuk yang umum dari devaluasi diri disebut dengan passing, yaitu proses menyembunyikan identitas sosial yang sebenarnya.17 Orang yang melakukan passing cenderung memberi informasi yang menyembunyikan identitas homoseksualnya yang sebenarnya. Orang semacam ini seringkali menutupi identitas orientasi seksnya dengan mengakui bahwa dia tertarik pada lawan jenis. Bahkan pada tingkat tertentu, orang yang melakukan passing benar-benar berpacaran atau malah menikah dengan lawan jenisnya. Namun mereka benar-benar menderita dengan keputusan itu. Kebutuhan akan pengakuan sosial membuat ada kaum homoseksual yang rela hidup di dalam dua dunia, yang sebenarnya saling bertentangan satu dengan yang lain. Benar-benar sebuah kebingungan identitas yang sangat parah, yang sangat mungkin merembet ke aspek lain dalam hidupnya yang menimbulkan gejala-gejala penyakit kejiwaan lainnya.
HOMOSEKSUAL DI INDONESIA: BAGAIMANA BERSIKAP ?
HIDUP DI DUA DUNIA
Penolakan dari dunia sosial, mau tidak mau menyeret para pelaku homoseksual hidup dalam dua dunia yang sangat bertolak belakang satu dengan yang lain. Kalau kita sempat mengunjungi tempat “ngeber” kaum homoseksual, kita akan tercengang ketika menyadari siapa mereka. Tidak sedikit mereka berasal dari kaum berkerah putih (white collar people), yang sehari-hari memiliki kedudukan yang istimewa, terpandang, dan dihormati, sedang duduk bercengkrama dan berasyik-masyuk dengan sesama jenisnya. Tidak terhitung pula pria bertato, yang sedang mencumbu kekasihnya, yang notabene adalah manusia yang sejenis dengannya. Namun lihatlah penampilan mereka ketika ada di luar komunitas itu. Mereka kelihatan begitu normal, dan bahkan hidup dengan normal. Beberapa di antara mereka hidup dengan pasangan (istri / suami) yang sah. Namun hidup mereka yang sesungguhnya ada di tengah-tengah komunitas homoseksual mereka. Apa yang terjadi ? Penolakan sosial membuat kaum homoseksual terpaksa hidup di dua dunia yang berbeda. Hal inilah yang membuat hampir semua kaum homoseksual mengalami krisis identitas, bahkan cenderung kehilangan identitas sosial, jika sampai masyarakat tahu bahwa mereka adalah kaum homoseksual, kaum abnormal.
WARIA : PAHLAWAN PEMBERANI
Beberapa diantara mereka akhirnya memutuskan untuk mengkonsep identitas pribadi (self) mereka secara terbuka. Mereka lelah dan tidak berdaya untuk terus hidup di dua dunia. Mereka tertekan namun merasa tidak berdaya. Kemunculan para waria seakan dipandang sebagai sikap yang heroik. Waria, oleh kaum homoseksual, dipandang sebagai pemberani, mendobrak tradisi, dan berusaha mendorong masyarakat untuk mendifinisikan kembali mengenai arti kebebasan memilih, termasuk memilih orientasi seks. Usaha pendobrakan inipun seakan menemui jalan buntu, sebab masyarakat, seperti semacam konsensus, membentuk skema berpikir yang mayoritas mengenai kaum waria. Persepsi sosial masyarat yang cenderung negatif terhadap para waria, seringkali mengatribusi penampilan kaum waria dengan sikap-sikap tertentu, misalnya Waria dipandang sebagai penjaja seks jalanan (kotor, berpenyakit kelamin, dan sebagainya), gonta-ganti pasangan seks, dan pembawa penyakit kelamin berbahaya dan AIDS yang paling potensial. Pandangan ini membuat banyak orang (kalau tidak mau disebutkan semua orang ) merasa asing, aneh, bahkan jijik ketika ada di dekat kaum waria ini. Sebuah persepsi sosial yang telah membentuk kognisi dan sikap sosial hampir semua orang Indonesia. Suatu kondisi dan ekspresi yang sebenarnya tidak sepenuhnya benar.
GAY DAN LESBIAN : SEMAKIN BERANI
Kaum gay dan lesbian adalah orang yang memutuskan untuk menjadi laki-laki dan perempuan normal, namun memiliki orientasi seksual yang berbeda dari orang normal. Secara naluri, mereka begitu tertarik kepada orang yang berjenis kelamin yang sama dengan mereka. Laki-laki dengan laki-laki. Perempuan dengan perempuan. Ketertarikan acapkan ditimbulkan dari kebutuhan mendasar seorang laki-laki / perempuan akan keintiman emosi, penerimaan secara emosional, dan kasih sayang dari orang yang berjenis kelamin yang sama. Dalam batasan ini, masyarakat sosial masih dapat melihatnya sebagai bentuk persahabatan yang mendalam antara dua orang sejenis. Namun hal ini menjadi sesuatu yang berbeda ketika ketertarikan itu mulai diekspresikan dalam bentuk hubungan seksual sejenis. Ketertarikan yang dipupuk oleh hubungan yang intim, saling mempengaruhi, saling berbagi dalam kehidupan dan terlibat dalam hidup bersama menimbulkan ketergantungan satu dengan yang lain. Dalam kategori inilah seseorang disebut sebagai kaum homoseksual.18
Tidak seperti para waria yang berani tampil terbuka, kaum gay dan lesbian Indonesia masih terkesan takut dan malu-malu mengekspresikan dirinya. Tekanan sosial membuat hidup homoseksual mereka begitu tertutup dan tersembunyi. Awal tahun 80an dipandang sebagai awal eksisnya organisasi gay dan lesbian di Indonesia. 1 Maret 1982 berdirilah Lambda Indonesia yang berpusat di Solo dan menyebar dengan cepat dibeberapa kota besar seperti Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta. Buletin G: Gaya hidup ceria mulai disebarluaskan untuk mengumandangkan secara resmi keberadaan kaum gay dan lesbian. Di tengah pertentangan tokoh agama dan masyarakat mengenai polemik ini, gerakan gay dan lesbian terus mengalami perkembangan. Dari cikal bakal Lambda Indonesia, tanggal 1 Agustus 1987, di bawah kelompok kerja Lesbian dan gay Nusantara (KKLGN), lahirlah organisasi gay dan lesbian yang diberi nama GAYa NUSANTARA, yang berpusat di Surabaya. Dalam kurun waktu 1987 – 1993, organisasi gay dan lesbian terus berkembang bahkan sampai Sumatera dan kalimantan. Desember 1993 dan 1995 diadakan konferensi gay dan lesbian yang terus memperkuat basis kekuatannya di Indonesia. Dan pada tanggal 22 Juli 1996, Partai Rakyat Demokratik (PRD) menyelipkan butir pengakuan hak-hak homoseksual dan transeksual dalam manifesto politiknya.19
Dr. Dede Utomo dianggap sebagai bapak gay Indonesia, karena dialah yang pertama kali, secara terbuka, mengaku orientasi seksnya sebagai gay. Dibantu oleh beberapa pendukung setianya, Dr. Dede Utomo terus berupaya memajukan kaum gay di seluruh Indonesia untuk mendapatkan hak yang sama dengan mereka yang "normal“. Sedikit banyak, organisasi seperti GAYa NUSANTARA (GN) memberi perasaan aman bagi kaum termajinalkan ini. Hal ini menimbulkan gaya kelekatan yang amat kuat satu dengan yang lain. GN telah menjadi semacam support group kaum homoseksual dalam menghadapi kenyataan tekanan dan penolakan sosial terhadap keberadaan mereka. Seperti setetes air di tengah dahaga di padang gurun yang kering. Sangat menyejukkan.
SIKAP ORANG KRISTEN TERHADAP KAUM HOMOSEKSUAL DI INDONESIA
Kekristenan tidak pernah menjawab polemik di dalam kacamata yang hitam dan putih. Adalah benar bahwa semua penyelewengan dan penyimpangan dari rencana Allah adalah dosa di hadapan Allah (Kej 19, Rom 1, Mat 19:4-6, I Kor 6:9-10). Ini adalah kebenaran mutlak, yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Namun di sisi lain, ketika berbicara mengenai sikap terhadap orang yang berdosa, maka kita benar-benar harus memutuskannya dengan penuh hikmat. Allah membenci dosa, namun benar-benar mengasihi orang berdosa. Salib menjadi tanda yang paling nyata kasih Allah bagi kita, orang berdosa ini. Allah membenci tindakan homoseksual (Rom 1), namun Allah mengasihi orang yang terikat homoseksual
Banyak pakar psikiatri Kristen berpendapat bahwa akar terdalam dari perilaku homoseksual sebenarnya adalah akar nonseksual. Keinginan akan interaksi seksual muncul jauh sesudah keinginan yang dalam akan cinta-kasih, rasa aman, pengakuan dan penerimaan.20 Perilaku seksual yang menyimpang muncul dari sebagai “teriakan” terhadap ketakutan, penarikan diri, kesendirian, dan penolakan. Kebutuhan itulah yang kemudian diisi oleh perilaku seksual yang menyimpang. Kesadaran seseorang menjadi homoseksual justru terjadi setelah masa puber (sekitar usia 12 tahun) di mana kebutuhan seksual meningkat. Mereka sendiri mengalami kebingungan terhadap identitas diri, dan tidak mampu memahami atau sekedar mendefinisikan self (diri) mereka sendiri. Kondisi keluarga, pengalaman, dan pengaruh sosial lingkungan hidup masa kecil mereka telah menimbulkan kebingungan, ketakutan, sendiri, dan kesepian dalam diri dan identitas mereka.21 Di tengah kebingungan identitas inilah, muncul kesempatan bagi orang lain, kelompok sosial tertentu, untuk mendefinisikan dirinya. Definisi self yang cenderung menyudutkan, memarjinalkan, dan bahkan menyimpang dari dirinya yang sebenarnya. Sebuah krisis yang sebenarnya menghancurkan hidup, tujuan hidup, pandangan hidup, nilai hidup, dan keberhargaan dirinya di hadapan Tuhan dan masyarakat sosial.
Orang Kristen seharusnya mengambil sikap yang berbeda dari sikap mayoritas masyarakat yang cenderung menolak, menghindari, dan berusaha meniadakan kehadiran kaum homoseksual. Kesadaran atas kebutuhan emosional dan spiritual kaum homoseksual yang menjadi penyebab utama perilaku itu membuat kita benar-benar harus bersimpati atas keadaan mereka. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menolong kaum homoseksual dalam hidupnya,
1.Ubahlah pandangan kita terhadap kaum homoseksual. Hal ini akan menolong kita bersikap dengan benar terhadap mereka. Mereka bukanlah penjahat, mereka hanyalah korban, namun seringkali menjadi korban yang terlupakan. Pandangan minoritas yang berubah, sedikit banyak akan berpengaruh kepada pandangan mayoritas, meski tidak mutlak dapat diharapkan keberhasilannya. Mulai dari lingkungan dan kelompok sosial kita yang kecil akan mempengaruhi dan memberi cara pandang yang benar-benar baru dan berbeda terhadap kaum termajinalkan ini.
2.Kognisi sosial masyarakat perlu dibawa kepada realitas yang benar mengenai kaum homoseksual ini. Hal ini dapat dibangun dengan memberi sosialisasi berupa pemahaman yang benar dan mendalam mengenai kaum homoseksual. Peran pemerintah sangat penting dalam sosialisasi ini. Namun yang tidak kalah penting, bahkan seringkali menjadi penentu, adalah peran tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk memberi pengertian baru kepada umatnya. Tokoh agama Kristen juga perlu terus menolong umatnya, dalam lingkup yang lebih kecil, untuk memahami homoseksual lebih komprehensif. Hal ini akan mengakibatkan berkembangnya kognisi sosial masyarakat yang lebih positif, penuh kasih sayang, dan pengharapan perubahan kepada mereka yang selama ini menjadi "korban“ homoseksual ini.
3.Bangun persahabatan: Beri diri menjadi sahabat bagi mereka. Hati, cinta, dan ketulusan adalah langkah awal menolong mereka keluar dari jerat homoseksual.
Ingatlah bahwa homoseksual bukanlah “nasib” yang ditentukan dan tidak dapat diubah lagi. Sebagian besar pakar psikiatri sepakat bahwa homoseksual adalah sebuah pembelajaran. Kesadaran bahwa kaum homoseksual dapat sembuh, memberi pengharapan besar bagi kita untuk dapat menolong mereka sembuh dan lepas dari praktek hidup homoseksual. Pelayanan ini membutuhkan kesabaran. Memberi diri adalah kata yang tepat untuk mereka yang ingin melayani kaum homoseksual ini.
4.Penyuluhan kesehatan. Umumnya kaum homoseksual, entah itu gay, lesbian, ataupun waria (transgender) hidup di dalam gaya hidup seksual yang tidak sehat. Mereka umumnya hidup secara terbuka, berhubungan seksual dengan semua kalangan, dan cenderung tidak aman. Gaya hidup semacam ini membuat hidup mereka sangat rentan terhadap munculnya penyakit kelamin, yang pada akhirnya menjadi sumber penyebaran penyakit AIDS. Oleh sebab itu, kaum homoseksual sangat memerlukan seseorang yang menolong mereka mengerti mengenai kesehatan reproduksi mereka secara benar. GAYa NUSANTARA berusaha mengerjakannya secara berkala. Namun diperlukan lebih banyak lembaga penyuluhan dan pelayanan kesehatan bagi mereka, terutama menolong mereka melihat keunikan reproduksi mereka dari sisi pandang nilai dan keberhargaan yang benar di hadapan Tuhan. Diperlukan anak Tuhan untuk melayani mereka dalam bidang ini.
5.Konseling. Tidak banyak kaum homoseksual yang mau secara terbuka untuk ditolong dalam ruang konseling. Namun dengan melihat besarnya angka homoseksual Indonesia (yang diperkirakan mencapai 2-4 juta orang (1-2 % dari seluruh jumlah penduduk Indonesia), sangat terbuka kemungkinan bahwa banyak di antara mereka adalah anak-anak Tuhan (orang Kristen). Mungkin mereka menjalani hidup homoseksual mereka sambil “melayani” Tuhan, sambil mengerjakan aktifitas “rohani”, dan sebagainya. Namun di dalam hati yang paling dalam, ada suara “kanak-kanak” yang menjerit dalam kesepian, perasaan munafik, hidup di dua dunia, dan mereka tidak berdaya untuk mengatasi masalah ini. Membawa mereka kembali mengerti kasih Bapa yang menerima mereka akan menjadi penopang yang sangat kuat, dan bahwa hidup mereka benar-benar berharga di hadapan Tuhan.
6.Kelompok minoritas ini memerlukan support group untuk mengerti keadaan mereka, mau tolong dan akhirnya dipulihkan dari homoseksual. Gereja dan lembaga Kristen perlu terus memikirkan adanya support group yang akan sangat bermanfaat dalam menjangkau mereka yang terhilang dalam lautan homoseksual yang dapat menenggelamkan mereka ini.
7.Mencegah lebih baik daripada mengobati. Orang Kristen perlu memberi sumbangsih dalam mencegah berkembangnya penyimpangan orientasi seksual ini dengan beberapa cara:
a.Pelayanan kepada keluarga, baik dalam lingkup gereja atau di luar gereja adalah hal yang sangat mendesak. Pendidikan kepada keluarga, cara pendidikan anak, hubungan antar orang tua, dan sebagainya akan sangat menolong keluarga Kristen membangun keluarga yang benar dan harmonis. Bukankah sebagian besar kaum homoseksual lahir dari keadaan keluarga yang disfungsi dan retak. Perlu banyak orang yang terbeban dalam pelayanan dan pendidikan dalam keluarga.
b.Mengenali perangai keluarga yang tidak sehat dan bermasalah adalah deteksi paling awal dari sebuah penyimpangan orientasi seks seperti homoseksual ini. Keluarga yang tidak sehat, harus menyadari bahwa hal ini akan berakibat buruk bagi perkembangan anggota keluarga, khususnya perkembangan anak-anak dalam memandang dirinya, orang lain, dan lingkungan sosialnya. Perlu penanganan dini, berupa penyelesaian masalah keluarga, sebagai alternatif pencegahan yang efektif.
c.Kenali tanda-tanda dini dan isyarat yang paling jelas.22 Beberapa ciri yang harus diwaspadai adalah : Pertama: Mereka tidak menyukai permainan yang secara tradisi dimaksudkan untuk jenis kelamin mereka. Kedua: Mereka lebih banyak berhubungan dengan lawan jenisnya. Mencari pertolongan dini akan sangat bermanfaat mengurangi kemungkinan seseorang terlibat dalam orientasi seks yang salah ini.
Penutup:
Kaum homoseksual adalah pribadi yang perlu ditolong. Mereka adalah korban. Mereka terjebak dan tidak dapat menolong diri mereka sendiri. Seandainya masyarakat lebih memahami penyebab seorang terjebak dalam praktek hidup homoseksual, tentu mereka tidak akan mudah menilai kaum homoseksual secara negatif. Ada banyak pertimbangan hati nurani yang berada di atas semua hukum moral, etika sosial, dan norma masyarakat, yaitu bahwa mereka hanyalah korban dan memerlukan pertolongan. Namun kaum homoseksual telah menjadi korban yang terpinggirkan, yang terlupakan, dan dianggap sampah. Siapakah yang akan mengingat mereka ? Siapakah yang akan mengulurkan tangan untuk mereka ? Seharusnya kita semua. Tiba saatnya, suara kekristenan tidak lagi didengungkan hanya di dalam gedung gereja, namun di antara masyarakat luas yang memerlukan Tuhan. Maukah kita melakukannya ?
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Arterburn, Stephen & Burns, Jim. Arahkan Dengan Jitu. Yogyakarta: Andi Offset, 2006.
Baron, Robert A. & Byrne, D. Psikologi Sosial. Jilid 1 dan 2. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.
Santrock, John W. Adolescent – Perkembangan Remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996.
Sarwono, Sarlito Wirawan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: CV. Rajawali, 1984.
Worthen,Frank. Mematahkan Belenggu Homoseksualitas. Malang: Gandum Mas, 1990.
INTERNET:
Budijanto, Stephanus Kurniadi,” Dari Seniman Hingga Menteri,“ http://www.indomedia.com/intisari/2001/jan/homoseksual.htm
Cameron,Paul, “What Causes Homosexual Desire and Can it be Change,” http://www.familyresearchinst.org/ FRI_Edu Pamphlet1.html.
Harek, M., “Selected Publications on Sexual Prejudice and Homophobia,”
http://psychology.ucdavis.edu/ rainbow/html/prej_bib.html
Juliastuti,Nuraini, “Study Gay dan Lesbian,” http://kunci.or.id/esai/nws/05/gay.htm
Nicolosi, Joseph, “The Removal of Homosexuality From The Psychiatric Manual,” http://www.catholicsocialscientists.org/Symposium2--Nicolosi--mss.htm)
http://majalahdewadewi.wordpress.com/2007/09/10/jika-aku-gay-hinakah/
http://www.e-samarinda.com/forum/lofiversion/index.php?t3841.html)
www.gayanusantara.org
LAIN-LAIN :
Elia, Heman. Diktat Kuliah Psikologi Sosial. Malang: SAAT, 2007
No comments:
Post a Comment