BACAAN KELUARGA 2
THE FAMILY AS A DEVELOPING SYSTEM
(berdasarkan buku The Family: a Christian Perspective on contemporary home bab 2)
Pada bab 2 ini, penulis mencoba mengupas 2 teori yang berbicara mengenai keluarga secara komprehensif, yaitu family system Theory dan family development theory. Dari kedua teori ini, penulis ingin menolong pembaca menemukan satu sistem yang menolong keluarga-keluarga untuk bertumbuh dan berkembang sesuai dengan naturnya sesuai dengan tujuan Allah menciptakan keluarga. Saya akan mencoba memberi sedikit ringkasan mengenai kedua teori ini dan aplikasinya bagi kehidupan.
Family System Theory adalah teori yang menfokuskan diri kepada hubungan dan interaksi antara semua anggota keluarga yang ada di dalamnya dan melihat individu dalam konteks sebagai bagian dari anggota keluarga. Di tengah kehidupan modern yang cenderung individualistis, yang hanya menekankan pada apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan pribadi, melihat keluarga sebagai satu sistem yang utuh dan bersama adalah satu cara yang indah. Banyak terapis keluarga dan sosiolog mulai menyadari pentingnya pendekatan ini. Untuk mengenal sistem di dalam keluarga, seseorang harus memulai mengidentifikasi batasan-batasan yang ada di sekitar keluarga tersebut. Semua yang ada di dalambatasan itu adalah anggota sebuah keluarga dan semua yang diluar batasan itu adalah bagian dari lingkungan luar keluarga. Batasan itu ada yang bersifat terbuka (artinya: adanya fleksibilitas input dan output dari dan keluar lingkungan. Ada batasan yang bersifat tertutup (artinya: batasan menjadi penghalang interaksi dari dan keluar lingkungan). Keadaan di dalam sistem keluarga inilah yang mempengaruhi keadaan seluruh anggota keluarga, baik dalam interaksi antar anggota keluarga maupun dengan lingkungan luar keluarga (social behavior). Dalam sistem keluarga ini, peran feedback process dalam mengotrol, menyeimbangkan atau mengubah tingkah laku keluarga sangatlah penting. Setidaknya ada 4 level feedback yang dikembangkan dalam sistem keluarga dan menjadi systemic change keluarga Pertama: Simple feedback, yaitu sistem cause – effect model. Hal ini sering dipakai untuk melatih dan menjadi stimulus untuk mengubah tingkah laku. Kedua: Cybernetic control, menjadi semacam sistem kontrol yang membentuk kebiasaan anggota keluarga, khususnya di dalam menjaga keseimbangan di dalam keluarga dan memberi keyakinan bahwa keluarga dapat berjalan dengan baik dan semestinya. Diperlukan fleksibilitas untuk ada di dalam level ini. Gambaran penulis mengenai self monitoring thermostat sangat menolong kita memahami level kedua ini. Ketiga: Morphogenesis, adalah satu level yang menolong anggota keluarga untuk belajar dan mencoptakan cara baru untuk merespon pada situasi tertentu (yang mungkin akan mengganggu sistem di dalam keluarga). Cara baru ini perlu diciptakan untuk mengantisipasi cara lama yang sudah tidak dapat digunakan lagi dalam masalah tertentu yang hadir dalam keluarga, misalnya ketika ada anggota keluarga yang sakit, meninggal, lahir, dan sebagainya. Keempat: Reorientation. Dalam bagian ini, seluruh keluarga telah mengalami perubahan yang drastis, terutama di dalam goal, pola pikir, dan tingkah laku keluarga secara keseluruhan.
Family Development theory, yang menolong kita melihat progresifitas keluarga lewat berbagai macam tahap-tahap kehidupan (stages of life). Keluarga adalah unit yang dinamis. Ketika variasi pertumbuhan keluarga dapat dilewati dengan baik, keluarga umumnya akan lebih siap bergerak bertumbuh dari satu tahap ke tahap yang lain. Namun ketika ada sesuatu yang menghambat sehingga keluarga mengalami hambatan, maka keluarga menjadi tidak siap untuk masuk ke tahap berikutnya. Ada banyak penyesuaian yang perlu di lakukan dalam setiap tahap-tahap itu (mulai dari tahap sebelum pernikahan, sampai ke tahap mempertahankan dan memperkembangkan hubungan di dalam keluarga). Setiap tahap memiliki masa transisi, yang sangat mempengaruhi hidup seseorang. Transisi terbesar dalam hidup seseorang adalah ketika mereka memutuskan untuk menikah, yang melibatkan begitu banyak penyesuaian, yang bahkan bisa sangat radikal bentuknya, mulai dari kemantapan di dalam pekerjaan, kelahiran anak, pertumbuhan anak ke usia remaja, anak-anak menginjak dewasa dan hidup mendiri (meninggalkan rumah), dan kemudian orang tua benar-benar tinggal berdua saja di rumah. Perubahan yang tentu tidak mudah untuk dihadapi. Transisi yang mungkin saja mengubah dan mempengaruhi hidup secara keseluruhan.
Dari kedua teori di atas, penulis mencoba mengintegrasikan keduanya dalam mendiskusikan kehidupan keluarga, yang merupakan sistem yang terus berkembang dan dinamis seiring dengan berkembangnya waktu. Dari kedua teori di atas, penulis ingin memberi gambaran bagaimana membangun keluarga yang kuat dan sehat. Setidaknya ada 4 area utama yang pelru dianalisis untuk mengetahui sebuah keluarga adalah keluarga yang kuat / sehat, atau keluarga yang lemah / tidak sehat.
Pertama: Cohesion, berhubungan dengan tingkat kedekatan emosional yang ada di dalam keluarga. Ada penghargaan terhadap keberadaan individu lain di dalam keluarga. Jika dalam keluarga terlalu kohesif, maka akan terjadi kelekatan yang terlalu kuat, sehingga saling bergantung secara berlebihan, munculnya sikap yang berlebihan terhadap satu hal sehingga menghambat penemuan solusi untuk masalah itu. Ini disebut enmeshment. Dipihak lain, ada yang disebut disengagement, anggota keluarga jarang bersentuhan secara emosi, sedikit sekali keterlibatan anggota lain, tidak saling memberi kontribusi. Keadaan ini tidak akan dapat membangun dan menyediakan pertolongan dan support pada waktu dibutuhkan. Keluarga yang sehat adalah keluarga yang membangun kohesifitas mereka diatas sikap mutualistik dan saling terlibat secara sehat. Tiap anggota keluarga saling terlibat di dalam keluarga, namun juga memiliki kehidupan dan keterlibatan di luar keluarga. Ini disebut differentiation, yang berguna untuk membangun keluarga yang sehat dan seimbang.
Kedua: Adaptability. Keluarga yang tingkat adaptability-nya dalam level yang sangat tinggi cenderung menghasilkan keluarga yang chaotic. Sebaliknya, keluarga yang inflexible dan tingkat adaptability yang sangat rendah mengakibatkan ketidakseimbangan dalam keluarga, yang cenderung mengganggu perkembangan keluarga itu secara keseluruhan maupun secara individual. Keluarga yang sehat harus memiliki tingkat adaptasi yang seimbang, yang cenderung melihat keadaan dan situasi sebagai unsur yang menyertai flexibilitas keluarga.
Ketiga: Communication. Komunikasi sangat penting dan mendasar dalam keluarga yang sehat. Komunikasi yang baik akan menolong menemukan clarity of perception (waktu menerima info) dan clarity of expression (waktu menyampaikan info) dan membangun empathic skills sehingga menghasilkan komunikasi yang efektif dan sehat.
Keempat: Role Structure. Tiap anggota keluarga memiliki peran masing-masing. Peran yang jelas, namun juga cukup fleksibel akan menolong setiap anggota keluarga berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini akan mendorong pertumbuhan yang sehat dari setiap anggota keluarga maupun sistem keluarga yang menjadi pendukung utama dalam keluarga.
Kesimpulan Bab 2:
Dari bab ini, saya semakin mengerti bahwa keluarga adalah unit yang sangat dinamis dan unik. Masing-masing anggota keluarga adalah bagian penting dari semua sistem yang berlaku di dalam keluarga. Keluarga yang sehat dan kuat adalah keluarga yang bertumbuh dengan sehat dalam sistem yang sehat dan masing-masing anggota keluarga menjalankan peran yang benar untuk mendukung keberhasilan keluarga secara bersama-sama. Papa, mama, anak-anak, semua saling sayang... semua berarti dan sama berharganya.... Tuhan ada di dalamnya. Sungguh indah hidup ini....n (Rudy Tejalaksana 2010)
No comments:
Post a Comment