ANAK-ANAK DALAM KRISIS
HIDUP DI TEPI TEBING YANG RAPUH
ADAKAH YANG PEDULI ?
Oleh: Rudy Tejalaksana, M.K.
Tuhan menyiapkan hati kita untuk memahami tantangan untuk menjadi seorang pemulih rancangan agung Allah bagi anak-anak kecil yang berharga itu.
Phyllis Kilbourn – founder of Rainbows of Hope (Children in Crisis ministry)
“…Supaya penuhlah sukacita-KU di dalam diri mereka”
Tuhan Yesus – Creator of all
SEBUAH REFLEKSI:
Ketika sedang akan menulis artikel ini, tiba-tiba saya mendengar suara tawa keponakan saya yang masih berusia 4 bulan. Dia tertawa begitu girang, dengan suara keras, ketika bermain dengan papa, mama, oma dan opanya. Begitu bahagia sambil dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya. Begitulah seharusnya menjadi anak-anak. Dikelilingi oleh kasih sayang, perlindungan, sukacita, kegirangan, dan semangat. Namun, momen itu juga menyentak saya, ketika saya teringat akan berjuta-juta anak di luar sana, yang tidak mengalami masa indah sebagai anak-anak, yang dipaksa berjuang hidup, mempertahankan hidupnya sendiri, tidak dicintai, di jalanan, lapar, kedinginan, dianiaya, dicabuli, dilecehkan, dibuang, dan mengalami trauma seumur hidup mereka. Hal itu membuat begitu banyak anak yang sudah lupa bagaimana cara bermain dan tertawa oleh karena kepahitan dan kengerian yang dihadirkan di depan mereka, sejak mereka dilahirkan di dunia ini. Kenyataan yang membuat air mata Allah kembali tumpah. Tapi, siapa yang peduli ? Semoga tulisan ini dapat menggugah batin dan abstraksi teologis kita untuk melakukan sesuatu bagi mereka, anak-anak yang terhilang dan terluka ini. Tulisan ini dipersembahkan kepada semua orang yang mencintai anak-anak: orang tua, guru, pelayan anak, dan semua orang yang rindu menghapus air mata kesedihan Tuhan bagi anak-anak di sekitar kita.
MEMAHAMI HATI SANG JURUSELAMAT:
Semua berawal dari perjalanan Via Dolorosa (Jalan Penderitaan) Tuhan Yesus. Suara gemuruh teriakan begitu banyak orang yang berseru “salibkan Dia” seakan menelan suara rintihan Sang Juru Selamat sepanjang perjalanan-Nya memikul salib ke Golgota. Rintihan-Nya itu bukan hanya rintihan kesakitan fisik saja, tetapi rintihan dari hati yang terdalam, menangisi orang-orang berdosa yang begitu dicintai-Nya, yang sedang tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Dengan langkah tertatih, namun dengan cinta Dia tetap melangkah, walaupun sesekali terjatuh. Dia memandang lembut wajah mereka yang bengis menghina-Nya, tapi juga menatap tajam wajah orang-orang yang menangisi-Nya. Sambil melihat ke kanan dan ke kiri, Tuhan Yesus sepertinya sedang mencari sesuatu. Di mana anak-anak, sahabat-sahabat kecil Tuhan Yesus ? Ternyata mereka ada di sudut-sudut kota, di lantai atas rumah-rumah, di tempat-tempat tersembunyi. Dari sanalah wajah-wajah mungil anak-anak berusaha melihat wajah Sang Sahabat, diikuti dengan deraian air mata (sebab anak-anak harus tinggal di rumah pada kondisi krisis seperti itu. Di tinggal sendiri). Tuhan Yesus, Sang Sahabat, yang sudah berpuluh-puluh kali datang ke Yerusalem, yang selalu menyempatkan diri mengunjungi, bermain dan mengajar anak-anak dengan lembut, Teman yang paling mengerti anak-anak, sekarang sedang menderita. Ketika orang-orang dewasa sedang hanyut di dalam dukacita karena penderitaan Tuhan Yesus, apakah ada orang yang mendatangi anak-anak kecil itu dan menghibur mereka ? Bukankah orang dewasa begitu sibuk menangisi Tuhan Yesus ? Tidak sempat untuk memikirkan anak-anak, makhluk kelas tiga ini. Maka Lukas 23:27-28 mencatat sesuatu yang sangat mengagetkan, “Sejumlah besar orang mengikuti Dia; diantaranya banyak perempuan yang menangisi dan meratapi Dia. Yesus berpaling kepada mereka dan berkata: hai putri-putri Yerusalem, janganlah kamu menangisi AKU, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu”. Sebuah peringatan keras dan tajam. Bukan hanya karena 40 tahun setelah kalimat ini diucapkan, Yerusalem akan hancur, dan banyak orang akan menderita, tapi juga memperingatkan kita pada masa ini, bahwa seringkali kita begitu sering berurai air mata, menangisi Tuhan Yesus pada waktu mengingat kasih dan pengorbanan-Nya. Kita pun sering menangisi diri kita dalam semua keberdosaan dan ketidakberdayaan kita. Tapi mengapa kita jarang melanjutkannya dengan menangisi anak-anak; anak kandung kita, anak didik kita, anak panti asuhan kita, anak dalam pelayanan kita ? Untuk mereka yang dianggap paling lemah, paling hina, paling kecil dan tidak berdaya ? Mengapa anak-anak-anak perlu ditangisi ? Apa yang sedang terjadi ?
1. Realitas pahit dan mengerikan. Jumlah anak-anak di seluruh dunia adalah jumlah mayoritas. Lebih dari separuh keluarga manusia adalah anak-anak. Jika ada 2 orang di dunia, maka salah satunya adalah anak-anak. Namun mereka telah menjadi mayoritas yang tidak pernah mampu bersuara. Aneh kan ? Biasanya mayoritas akan bersuara paling keras. Namun anak-anak tidak demikian. Mereka hanya bisa berteriak dalam keheningan. Bahkan dengan suara keraspun mereka hanya mampu berteriak dalam kebisingan yang telah menulikan telinga orang dewasa, sehingga kita jarang (kalau tidak mau dibilang tidak pernah) mampu mendengar suara mereka. Kalau ada yang “mau” mencatat, kita akan tercengang melihat apa yang sedang terjadi pada anak-anak kita sekarang, yang hidup disekitar kita. PBB mencatat ada 142 juta anak jalanan diseluruh dunia (40 juta di Amerika Selatan, 25 juta di Asia, 10 Juta di Afrika, dan 10 juta di Eropa). Ada 300.000 anak yang dipaksa menjadi tentara dalam peperangan di 30 negara. 1 juta anak menjadi pelacur setiap tahun (300,000-500,000 prostitusi anak di India, 1 juta di Asia, termasuk Indonesia. Bahkan di Bangkok, 40,000 dari 100,000 pelacur adalah anak-anak. Perang telah menimbulkan kematian 2 juta anak, 4-5 juta cacat, 12 juta kehilangan rumah dan 1 juta anak menjadi yatim piatu. Diskriminasi anak perempuan yang tertolak di Banladesh, India, Pakistan, dan China mengakibatkan jutaan anak perempuan mati, hanya karena mereka perempuan. WHO mencatat, tahun 1997 ada 600,000 anak terjangkit HIV AIDS, yang mengakibatkan kematian anak-anak sebelum mereka berusia 5 tahun. Belum lagi narkoba anak, pembunuhan anak, dan sebagainya. Bagaimana dengan anak-anak di Indonesia? Jutaan anak Indonesia hidup dalam realita yang mengerikan: terlantar dan terluka, miskin, kerja paksa, dijual, pencabulan, pemerkosaan, pelacuran, kekerasan, penghinaan, dan menderita kekejaman, yang bahkan tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Dan mereka ada di sekitar kita. Dipinggir jalan, di perkampungan kumuh, dilokalisasi-lokalisasi dipinggir kota Surabaya. Ada banyak anak jalanan yang saya temui, telah mengalami kepahitan dan kengerian realita di depan membuat mereka mengalami perubahan cara berpikir mengenai hidup, dan mengenai Allah. Beban itu terlalu berat untuk mereka tanggung sendiri. Sedang kita sibuk menangisi Salib Tuhan Yesus dan diri kita sendiri, anak-anak sedang berada di tepi tebing, yang sangat rapuh, dan akan membinasakan mereka. Apa kita peduli ?
2. Children are defenseless victims. Anak-anak adalah keluarga manusia terlemah, yang untuk membedakan tangan kanan dan kiri saja mereka kesulitan, apalagi untuk mempertahankan dan membela dirinya sendiri. Fakta ini sangat diketahui oleh iblis. Maka sasaran utama mereka adalah anak-anak. Anak-anak selalu menjadi urutan nomer satu sasaran kekejaman iblis. Wesley Stafford, ketua Compassion International berkata, “Setiap hari di seluruh dunia, ada 35.000 jiwa muda yang berharga, mati, dengan sebab sebab yang bisa dicegah, jika kita sedikit lebih peka dan peduli”. Iblis menggunakan begitu banyak cara untuk membinasakan anak-anak. Mengapa saya menulis binasa dengan huruf miring ? karena saya ingin memberitahu kita semua, orang tua, pendidik, dan pelayan anak-anak, bahwa iblis dapat membinasakan anak kita tanpa kita menyadari mereka sedang binasa. Tanpa kita sadari mereka sedang sekarat dan mati, justru pada waktu kita merasa confident bahwa anak kita aman dan baik-baik saja, dan di tempat yang kita pikir paling baik dan aman bagi mereka.
Suatu hari saya menyaksikan sebuah Talkshow di Televisi, tentang anak bernama Justin menceritakan pengalaman hidupnya, pada usia muda dieksploitasi secara seksual dan dia tidak berdaya mencegahnya. Justin seorang anak yang pandai. Seorang class president, murid teladan, dengan nilai terbaik dan kecerdasan di atas rata-rata namun sangat kesepian. Mamanya adalah seorang pekerja sosial dan melayani sebagai konselor bagi anak-anak yang dilecehkan secara seksual. Sejak kecil Justin hidup dengan mama sebagai single parent (bercerai). Semua bermula ketika Justin mengenal webcam dan belajar internet. Dia sangat menyukai chatt room, tempat dia dapat ngobrol dengan banyak orang. Awalnya mamanya bangga karena Justin sangat berkembang dalam penguasaan computer. Pembicaraan di chatt room berlanjut sampai ke titik Justin sangat mempercayai lawan bicaranya (yang ternyata pedofilis – pedofilia penyimpangan seksual, yang senang berhubugan seks dengan anak). Mulanya Justin ditantang untuk membuka bajunya dengan imbalan $50. Dalam beberapa minggu, para pedofilis di chatroom itu berhasil meyakinkan Justin untuk membuka celananya, bugil, dan dalam beberapa bulan memintanya melakukan masturbasi di depan webcam sehingga dapat diakses banyak orang. Sejak itu, Justin terus mendapat kiriman hadiah demi hadiah, yang membuatnya semakin tidak menyadari apa yang sedang dialaminya. Justin kemudian berubah menjadi seorang penyendiri, tidak mau sekolah, tidak ingin bertemu siapa pun, kecuali menyendiri di depan computer. Aksi Justin diketahui banyak orang di sekolahnya (yang mengakses video porno live dari Justin). Karena malu, Justin melarikan diri dan dibawa oleh “pelanggannya” ke Las Vegas untuk dicabuli dan diperkosa. Karena tidak tahan, Justin melarikan diri dan pergi ke tempat tinggal ayahnya di Mexico. Yang terjadi setelah itu lebih mengerikan lagi. Ayahnya membantu Justin meng up grade situs porno pribadinya. Ayahnya mulai mencarikan perempuan untuk diajak berhubungan badan dengan Justin. Semua direkam dan dijual. Lebih dari 1.500 pedofilis menjadi pelanggan Justin. Uang semakin banyak di usia 16 tahun, tapi hatinya hancur. Hatinya remuk dan sepi. Justin sangat menderita, sampai kisah ini diungkap oleh FBI Amerika, dan pelaku ditangkap. Justin berkata “I am lonely.” Mama Justin (Karen) syok. Dia tidak mengira hal mengerikan itu akan terjadi dalam hidup anaknya. Dia merasa semua baik-baik saja. Dia memberi pesan bahwa ketika kita merasa semua baik-baik saja, dan anak kita tidak mungkin mengalami yang buruk, maka itu adalah celah terbesar dan awal kehancuran. Anak-anak tidak dapat membela dan mempertahankan diri mereka sendiri. Tidak ada tempat yang paling aman bagi anak-anak kita, murid-murid kita, anak asuhan kita, kecuali kita mulai memutuskan untuk mulai membela mereka. Defend the defenseless.
Saya pernah melayani seorang anak di Surabaya, sebut saja namanya Yeti. Usianya 11 tahun. Sejak usia 7 tahun, Yeti telah dijual oleh orang tuanya menjadi komoditi seks untuk membayar utang judi ayahnya. Selama bertahun-tahun dia hidup di dalam penderitaan fisik dan batin. Dia tetap ke Sekolah minggu, tetap seperti anak-anak lainnya, namun dengan kemarahan yang besar kepada Allah, yang dia pikir tidak dapat membelanya. Seorang anak pemurung, pemarah, namun juga sangat kesepian. Yeti hanya satu dari jutaan Yeti-Yeti yang hidup di Indonesia, yang sedang berteriak minta tolong di tengah hiruk pikuk egoisme dan pementingan diri sendiri manusia, termasuk gereja dan kita, yang menyebut diri sebagai pengikut Tuhan Yesus. Apa kita peduli ? Kita tidak akan pernah dengan tulus menangisi Tuhan Yesus yang menderita di Salib, sebelum kita mampu menangisi diri kita sendiri dan anak-anak kita. Tuhan Yesus bahkan yang menangisi kita dan anak-anak kita (Luk 19:41). Tuhan Yesus telah menangis dan tetap menangis sampai sekarang melihat apa yang sedang terjadi bagi dunia ini.
Tuhan Yesus menangisi gereja-gereja yang tidak peduli
Seorang rekan saya di Gerakan Pecinta Kehidupan Indonesia, pernah membuat survei dibeberapa gereja besar untuk melihat seberapa jauh gereja peduli kepada pelayanan misi. Dalam surveinya dia mendapati bahwa hanya sekitar 3 % dari dari seluruh keuangan gereja yang dialokasikan untuk pelayanan misi. Jika total hanya 3 % untuk seluruh pelayanan misi, ada berapa % yang diberikan untuk melayani anak-anak yang terhilang ? Sungguh mengerikan ketika kita mendapati kenyataan modern bahwa bahkan gereja pun tidak peduli kepada anak-anak. Anak-anak mendapat prioritas ketiga setelah laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, gereja menjadi milik terbatas, yang melayani untuk kalangan sendiri. Gereja yang kekenyangan ketika orang-orang di sekitarnya mati kelaparan. Gereja yang hanya bisa mengakses atau diakses oleh orang yang datang ke gereja. Lalu, dimanakah panggilan gereja untuk “pergi dan jadikanlah semua bangsa muridKU ?” seperti yang Tuhan perintahkan? Apa kita peduli ? Apakah gereja peduli untuk anak-anak Indonesia dari 125 suku terabaikan, yang belum pernah mendengar injil, dan lebih dari 4000 bahasa suku yang belum dapat membaca Alkitab dalam bahasa mereka sendiri ?Berapa banyak dana gereja yang dipakai untuk acara ini, acara itu, seminar ini-seminar itu, perayaan ini-perayaan itu, yang tidak pernah ada habisnya – dengan api dan semangat yang artifisial ? Mother Teresa pernah berkata dengan sedih, “ Seandainya semua dana perayaan Natal dari semua gereja di seluruh dunia dikumpulkan, maka semua dana itu dapat memberi makan semua orang miskin di seluruh Afrika selama satu tahun.Seandainya gereja lebih peduli”. Wesley Stafford, ketua Compassion International, pun membenarkan hal ini. Bahkan dia berkata bahwa kenyataan bahwa gereja tidak peduli kepada anak-anak tidaklah terlalu mengherankan. Wesley Stafford berkata, “ …bahkan murid-murid Yesus menganggap bahwa anak-anak amat tidak penting yang mengganggu Guru Besar itu mengajar. Padahal anak-anak itu berusaha keras melepaskan diri dari tangan ibu-ibu mereka dan menerobos kaki para murid, sebetulnya mereka berjuang untuk dipeluk oleh lelaki yang ramah dan lemah lembut itu. Mereka tahu dari pancaran mata-Nya, senyum-Nya, yang terdapat pada wajah yang telah menjadi kasar karena terik matahari, dan kehangatan suara-Nya, bahwa bila mereka dapat mencapai-Nya, mereka akan disambut dalam pelukan-Nya yang penuh kasih sayang”. Tapi pertanyaannya, bagaimana anak-anak itu mencapai Tuhan Yesus, jika kita bukan hanya tidak membawa anak-anak datang kepada-Nya, namun juga kita menghalangi mereka datang kepada Sang Juruselamat ?
Dunia ini sedang terluka. Dan luka itu harus ditanggung anak-anak, jauh lebih lama dari mereka yang dewasa. Di Indonesia ada hampir 70 juta orang miskin. 1,3 juta orang hidup dengan air kotor. 1,1 juta tinggal di rumah yang benar-benar tidak layak. Ada lebih dari 3 juta bayi yang dibunuh lewat Aborsi setiap tahun. Setiap tahun, di seluruh dunia, ada 46-60 juta bayi mati karena kekejaman Aborsi dan 40.000 anak yang mati kekuarangan gizi dan penyakit setiap hari. Apakah gereja peduli ? Untuk anak-anak, yang kurang gizi, atau bahkan lebih tragis; mati kelaparan ? Yang tidak dapat bersekolah karena tuntutan keadaan ? Yang dijual dan diperkosa di lokalisasi-lokalisasi untuk menebus “biaya kehidupan” orang tua mereka ? Untuk anak-anak jalanan yang dilecehkan dan dianiaya ? Untuk anak-anak pengemis dan pedagang asongan ? Untuk anak-anak yang di dalam penjara ? Untuk bayi-bayi yang akan diaborsi ? Untuk anak-anak tertolak di panti-panti penampungan sebagai anak yang lahir karena kegagalan aborsi ? Untuk anak-anak terluka yang datang ke Sekolah Minggu setiap minggu ? Untuk anak-anak yang menjadi korban kehancuran keluarga (broken home) ? Untuk anak-anak yang kesepian dan sendiri, dan untuk jutaan anak-anak lain disekitar kita ? Hampir sebagaian besar anak yang datang ke sekolah minggu, datang dalam keadaan compang-camping setelah enam hari sebelumnya diserang habis-habisan oleh penguasa kegelapan dalam berbagai bentuk. Mereka ada di sekitar kita.Lalu apa yang kita lakukan ? Apakah gereja sungguh peduli jika anak dibawa kepada Tuhan Yesus atau tidak ? Lalu siapa yang membawa mereka kepada Tuhan Yesus ? Kepedihan hati Tuhan Yesus dalam Markus 10:14 masih terdengar sepanjang jaman dan menegur kita semua. Tuhan Yesus, marah (baca: sangat sedih) ketika melihat anak-anak dihalangi untuk datang kepada-Nya.
Tuhan Yesus menangisi Sekolah Kristen yang tidak peduli
Adalah hal yang lumrah ketika kita mendapati bahwa sekolah Kristen telah menjadi sekolah ekslusif, yang hanya dapat diakses oleh orang-orang kaya dan mampu membayar. Maka tidak heran, orientasi sekolah Kristen banyak mengalami pergeseran yang signifikan. Dari respon terhadap mandat budaya dan mandat Injil menjadi mengejar profit atas nama mahalnya biaya pendidikan. Saya bertemu dengan banyak anak sekolah Minggu yang baik, yang tidak dapat bersekolah di sekolah Kristen hanya karena tidak memiliki biaya untuk sekolah.
Orientasi utama banyak sekolah Kristen bukan lagi menolong anak bertemu dan mencintai Tuhan Yesus. Orientasi utama bergeser kepada apa yang perlu kita berikan kepada anak agar mereka dapat hidup mandiri, berprestasi, memiliki banyak kelebihan, sehingga menjadi kebanggaan sekolah dan orang tuanya. Semua diukur dengan prestasi, kecakapan, kelebihan dan Iman menjadi salah satu bagian yang dipelajari. Tuhan Yesus hanya menjadi salah satu dari sekian banyak tokoh yang dikenal murid-murid di sekolah Kristen. Bahkan mungkin ada anak yang lebih mengenal Charles Darwin daripada Tuhan Yesus. Ketika memimpin kamp sebuah sekolah Kristen, saya sempat terkejut ketika mengetahui bahwa ada beberapa anak sekolah itu yang sudah lebih dari 5 tahun bersekolah di sekolah Kristen itu namun tidak mengenal siapa Tuhan Yesus ? Lalu mengapa masih menggunakan nama sekolah Kristen? Apakah hanya karena sekolah itu masih memiliki jam ibadah, pelajaran agama Kristen, guru-guru Kristen, dan semua kebenaran legalistik ibadah ? apalah gunanya semua pelaksanaan pernak-pernik ibadah Kristen, tanpa mengenal Tuhan yang benar ? Berapa banyak sekolah yang jujur dapat mengatakan bahwa tujuan utama dari sekolah Kristen adalah menghadirkan dan memperkenalkan Tuhan Yesus dalam segala seluruh proses pendidikan anak. Berapa banyak kepala sekolah yang berani menjadikan Tuhan Yesus sebagai pemimpin Sekolah dan kepala sekolah menjadi pelayan-Nya ? Berapa banyak guru-guru Kristen yang mengajar anak-anak sebagai pengabdian dan cintanya kepada Tuhan Yesus ? Berapa banyak guru yang bertelut setiap hari di hadapan Tuhan hanya memohon supaya Tuhan membuka anugerah keselamatan bagi murid-muridnya ? Tuhan Yesus sungguh sedih. Dia menangis. Tetapi Tuhan tidak mau kita menangisi-Nya. Dia mengatakan,” Tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu”. Apakah kita peduli ?
Tuhan Yesus menangisi Keluarga Kristen yang rapuh
Kalau Tuhan Yesus datang ke dalam keluarga kita menyelidiki keadaan keluarga kita, apa yang akan dikatakan-Nya ? Mungkin sekali, Tuhan Yesus akan menangis lagi. Keluarga tidak lagi menjadi tempat orang tua menolong anak-anak tumbuh untuk mengenal Tuhan Yesus. Demi memenuhi apa yang disebut sebuah tuntutan hidup, banyak papa dan mama “merelakan” hidupnya menjadi milik pekerjaan, milik harta, pergi atas nama tuntutan hidup. Tidak pernah ada zaman, melebihi zaman postmodern ini, dengan tingkat kehancuran keluarga yang terbesar sepanjang zaman. Tidak pernah ada masa, anak-anak mengalami kesepian yang paling mendalam, seperti sekarang ini. Bahkan tahun 2006, oleh konferensi pelayan anak dunia, disebut sebagai fatherless world, parentless world. Anak-anak dipaksa untuk menanggung beban, yang seharusnya kita pikulkan untuk mereka. Anak-anak dipaksa menjadi lebih cepat dewasa dan mandiri, mengurus dirinya sendiri, bertanggungjawab untuk dirinya sendiri, dan bahkan mendidik dirinya sendiri. Tidak ada zaman yang lebih mengerikan bagi anak-anak, dibanding zaman ini.
Suatu hari, saya melihat seorang murid saya (sebut saja Adi) kelihatan pucat sekali. Dia sedang sakit, dan badannya demam. Ketika saya memeluk Adi, dia menangis – begitu sedihnya, sambil terus batuk. Dengan sedih, saya memeluknya dengan erat. Kebetulan waktu itu adalah waktu istirahat, dan saya menggendongnya ke ruang makan sekolah dan melihat perbekalan yang dibawanya. Adi membawa makanan yang menurut saya tidak pantas diberikan kepada anak yang sedang sakit seperti itu. Saya bertanya “Siapa yang menyiapkan bekalmu? Dia menjawab “mbak”. Saya meminta dia agar tidak memakan bekalnya. Saya membelikannya roti. Ketika bertemu dengan papa yang menjemputnya saya meminta agar orang tua membawakan makanan yang tepat, untuk kondisi Adi yang sakit. Esok harinya, ketika jam istirahat, saya menemani Adi makan lagi. Tahu apa yang terjadi ? Adi membawa makanan yang sama, seperti yang kemarin. Adi berkata mbak yang menyediakan. Papa mama tiap hari pulang malam, karena bekerja, kuliah, dan puluhan alasan lainnya. Papa-mama tidak ada waktu, bahkan untuk memikirkan makanan yang sehat untuk Adi. Adi mengatakan kadang orang tuanya pulang pada waktu dia sudah tidur. Hati saya sungguh pedih bercampur marah. Ketika berbicara dengan orang tuanya, mereka berkata “Adi baik-baik saja. Kami sudah berbicara dengan Adi dan dia mengerti kok. Semua ini kami lakukan untuk Adi. Suatu alasan yang paling membuat saya marah. Demi Anak ? Sungguh menyedihkan. Apa yang sedang terjadi dengan orang-orang tua di kota Surabaya ? orang tua di dunia ? Apa yang sedang dikejar oleh begitu banyak keluarga, termasuk keluarga Kristen ? Jangankan untuk peduli kepada anak-anak lain, untuk peduli kepada anak kandungnya pun sudah tidak sempat. Dengan berbagai dalih, pengejaran terhadap harta, kedudukan, kemapanan bahkan “pelayanan”, telah menjadi nafsu yang mengikat, sampai banyak orang tua tidak menyadari mereka sedang melukai begitu banyak anak, yang dengan penuh harap menunggu papa dan mamanya di rumah.
Ketika saya melayani di Jakarta, saya pernah mendengar ada seorang anak Sekolah Minggu (sebut saja Jerome) dari keluarga yang kaya berkata demikian, “ Saya iri dengan Budi. Kalau saya boleh memilih, saya lebih memilih dijemput dengan sepeda ontel namun dengan papa daripada dijemput mobil mewah dengan sopir di dalamnya. Sungguh bahagia bisa menjadi seperti Budi.” Budi hanyalah anak tukang cuci pakaian, tapi dengan kebahagiaan yang penuh, karena kehadiran orang tua yang mencintainya. Sambil terisak, Jerome menghampiri saya dan saya memeluknya dengan erat dan menangis bersamanya.
Masih banyak kisah sedih anak-anak yang dipaksa tumbuh dewasa dan berpikir dewasa sebelum waktunya di dalam keluarga, hanya karena mereka kehilangan papa-mama, yang jarang ada pada waktu mereka membutuhkan. Anak-anak dipaksa untuk mengerti sesuatu yang belum saat mereka mengerti, hanya untuk memuaskan ambisi dan cita-cita orang tuanya, atau dengan berbagai macam dalih. Air mata Tuhan terus menetes…SIAPAKAH YANG AKAN MENGHAPUS AIR MATA TUHAN YESUS UNTUK ANAK-ANAK INI ? Air mata yang pernah tumpah ketika Dia begitu berbahagia ketika menciptakan kita, sekarang harus tertumpah lagi dalam kepedihan dan dukacita yang mendalam karena melihat kejahatan dan ketidakpedulian kita. Air mata yang tertumpah melihat kepedihan, kesendirian, luka, dan penderitaan anak-anak di seluruh dunia. Apakah kita peduli akan air mata yang ditumpahkan SANG JURUSELAMAT untuk kita dan anak-anak kita ? Jika kita peduli, ubahlah tangisan kita – tangisan Tuhan Yesus, menjadi sebuah aksi yang menjangkau. Tangan yang terulur bagi anak-anak yang di tepi tebing yang rapuh itu.
1. Children are special to God, and HE loves them dearly
Anak-anak perlu mengetahui bahwa Tuhan mengasihi mereka dan menantikan anak-anak itu datang kepada-Nya. Lalu bagaimana anak-anak dapat tahu bahwa Tuhan mengasihi mereka ? Kasih Allah akan terlihat jelas apabila ada yang menghadirkannya bagi anak-anak. Memang, Tuhan dapat langsung menghadirkan kasih-Nya bagi anak-anak, termasuk lewat pekerjaan Tangan supranatural-Nya. Tapi, anehnya Tuhan jarang sekali memakai cara supranatural-Nya. Dia lebih senang memakai cara natural untuk menyatakan diri-Nya. Tuhan ingin memakai kita. Tuhan ingin memakai tangan kita untuk menghadirkan tangan-Nya bagi anak-anak. Tuhan ingin memakai kasih kita untuk menghadirkan kasih-Nya. Tuhan ingin memakai kita. Itulah anugerah. Itulah yang sering saya sebut ON MISSION WITH GOD. Kita bukan siapa-siapa. I am noone, but GOD makes me someone to do something HE wants. Bukankah sejarah membuktikan hal itu ? Allah memakai begitu banyak orang, yang mencintai-Nya, untuk menyatakan kasih Allah.
Suatu hari seorang Biarawati dari Korea mendapat kesempatan untuk mewawancarai Mother Teresa. Setelah mendengar begitu banyak hal yang dilakukannya bagi orang-orang terbuang dan terluka di India, Biarawati itu bertanya, “May I know the secret of your strength ? In spite of so many difficulties, you always work with joy. Where does the joy come from ? Mother Teresa dengan senyum lembut menjawab, “We all work for Jesus, and all through Jesus, and all to Jesus. Jesus is the strength and joy.” Dia melanjutkan, “ Jesus said that very clearly, what ever you do to the least is what you do to me”. Kasih adalah sebuah aksi, justru kepada mereka yang paling tidak berdaya.
Kitapun dapat melakukan sesuatu yang sederhana untuk anak-anak kita temui setiap hari, di jalan, di sekolah minggu, di sekolah anak kita, di sekitar rumah kita. Ketika kita memeluk anak-anak, kita membagi hati Allah kepada mereka. Ketika kita memberi mereka makan, menolong mereka dapat bersekolah kembali, bermain bersama mereka, dan membagi kasih dengan cara unik kita masing-masing, anak-anak itu akan menemukan Kristus di dalam kita dan mengerti bahwa Tuhan sungguh mencintai mereka.
Suatu hari, ada seorang anak jalanan (sebut saja Jupri, usia 6 tahun) di salah satu daerah kumuh Surabaya, datang kepada saya, setelah saya melayaninya beberapa bulan. Dalam beberapa bulan itu, saya selalu menceritakan tentang Tuhan Yesus yang penuh kasih dan sangat mencintai anak-anak di sana. Setelah pertemuan selesai, dia datang kepada saya dan bertanya, “Kalau Tuhan Yesus sayang pada saya, mengapa Dia tidak pernah datang ke sini ? “ Saya terpaku, tidak tahu harus menjawab apa. Beberapa bulan berselang, saya mengajak Jupri (atas ijin neneknya yang tinggal bersamanya) untuk menikmati makanan yang tidak pernah disantapnya sebelumnya, ayam goreng dan ice cream McDonald. Pada waktu makan, ada satu kalimat kembali muncul dari bibir mungil anak kritis ini, “ Kalau Kakak saja sebaik ini, bagaimana Tuhan Yesus ya ? pasti Dia lebih baik dari kakak. Kakak kan sering bilang kalau Tuhan Yesus itu guru kakak.” Saya tercengang, bahagia sekaligus terharu. Seorang anak kecil, yang tidak pernah bersekolah, yang dipandang kecil dan hina dalam kemiskinannya, sekarang menemukan kebenaran Allah mencintainya. Saya jadi mengerti apa artinya menghadirkan Tuhan Yesus bagi mereka yang membutuhkan-Nya. Bagaimana dengan Anda ? mau mengambil bagian menjadi saluran kebahagiaan Tuhan bagi anak-anak disekitar kita ? Bila ya, kita bisa mulai dari hal-hal kecil di sekitar kita. Dan ketahuilah, kita akan mendapat kebahagian terbesar, karena menyediakan tangan “lemah” kita untuk menyeka air mata Kristus bagi anak-anak di sekitar kita. Mulailah dengan cara yang sederhana, tipikal kita masing-masing untuk anak-anak itu. Menjadi Tangan Tuhan bagi dunia. GOD’S HAND FOR THE WOUNDED WORLD.
John Ortberg, dalam bukunya The Life You’ve always wanted, menuliskan dengan sangat mendalam bahwa “Inti kekristenan adalah mengenai transformasi, tentang Tuhan yang bukan hanya peduli dengan “kehidupan rohani” kita, tapi yang ingin memberi dampak dalam setiap aspek kehidupan. Ternyata Tuhan bisa saja tidak menemui kita di biara (tempat ibadah), tapi di jalanan, dan setiap kehidupan biasa sehari-hari memiliki potensi untuk dijalani seakan Yesus sendiri yang menjalaninya”.
2. Children need someone to help them in their spiritual Walfare (fight against the darkness, evil and sin) Alkitab dalam Efesus 6, dengan sangat jelas mengatakan bahwa perjuangan hidup kita bukanlah melawan darah dan daging (yang kasat mata). Perjuangan kita adalah melawan penguasa-penguasa kegelapan (yang tidak kasat mata). Realita ini seharusnya membuat kita tersentak dan menyadari betapa seriusnya perjuangan ini. Setiap hari, kita harus menghadapi kuasa kegelapan dan peperangan rohani. Bagaimana dengan anak-anak kita ? murid-murid kita ? anak sekolah minggu dan anak panti asuhan kita ? Anak-anak yang kecil dan sederhanapun menghadapi hal yang sama, bahkan dengan intensitas dan serangan yang jauh lebih besar. Untuk membedakan tangan kanan dan kiri saja (dalam arti yang sebenarnya) mereka tidak mampu, bagaimana dengan peperangan rohani yang harus mereka hadapi setiap hari ? Jika kita menyadari betapa mengerikannya peperangan ini, perlawanan melawan iblis, maka kita tidak akan pernah membiarkan anak-anak kita berjuang sendirian. Allah memanggil kita; orang tua, guru, dan para pelayan anak, dengan tujuan yang paling utama, yaitu mendampingi anak-anak untuk menghadapi peperangan rohani melawan penguasa kegelapan. Mereka tidak bisa membela diri mereka sendiri. Children are defenseless. Jika kita membiarkan mereka berjuang sendiri, mereka pasti akan binasa. Maka yang menjadi tugas utama kita adalah memperkenalkan Tuhan Yesus kepada semua anak yang kita temui. Sebab inilah satu-satunya jalan untuk menghadapi kuasa kegelapan. Seluruh waktu dan pusat pelayanan kita bagi anak-anak adalah membawa mereka mempercayai Tuhan Yesus sebagai juru selamat pribadi mereka. Tanpa ini, segala hal yang lain akan menjadi sia-sia. Semua pendidikan rohani, pendidikan iman, pendidikan karakter dan moral akan sia-sia, tanpa anak menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan juruselamat mereka. Perlu di ketahui bahwa jumlah manusia yang belum terjangkau oleh injil saat ini sekitar 1,7 Milyar manusia. Jika setengahnya adalah anak-anak, maka ada hampir 1 milyar anak di seluruh dunia yang belum pernah terjangkau oleh injil. Bahkan sebagaian besar dari anak-anak yang tak terjangkau oleh injil adalah anak-anak yang dalam krisis. Tahun-tahun ini, dunia memerlukan pelayan anak lebih dari yang pernah ada sebelumnya. Maka pasti inilah doa tak terucap yang diungkapkan anak-anak terhilang di seluruh dunia; Mereka merindukan kedatangan orang-orang yang menjadi pembela hak mereka, yang bersuara bagi mereka. Bukankah itu yang diserukan dengan tajam dan keras, sebagai penutup kitab bijaksana, “ Bukalah mulutmu untuk orang (anak) yang bisu, untuk hak semua orang (anak) yang merana. Bukalah mulutmu, ambillah keputusan secara adil dan berikanlah kepada yang tertindas(anak dalam krisis) dan yang miskin hak mereka” (Amsal 31:8-9). Ambillah keputusan untuk melayani seorang anak di dekat kita saat ini juga.
3. God is still working and walking with HIS cross to share HIS love
Beberapa hari yang lalu, saya diberi anugerah oleh Tuhan, menggendong seorang bayi berusia 12 hari, yang ditemukan di sebuah tempat sampah, di dekat sebuah panti penampungan di Surabaya. Ketika saya memandang wajah bayi laki-laki itu, saya menangis karena hati saya pedih sekali. Namun wajah mungil dengan kulit kecoklatan yang sedang tertidur pulas di pelukan saya itu seakan ingin mengingatkan saya “Hey Rudy, God is still working around all children, that’s why you cry, for I am crying for them more than you”, Tuhan Yesus masih terus bekerja, menggapai anak-anak yang terhilang. Tangan yang telah berlubang paku itu masih terus diulurkan kepada anak-anak yang di tepi tebing yang rapuh. Bahkan Tuhan tetap berjalan berkeliling memanggul salib-Nya, hanya untuk menunjukkan betapa cinta-Nya pada anak-anak itu, seakan Dia bertanya kepada kita, “ maukah kamu memikul salibmu bagi anak-anak yang KU cintai ini ? Memakai tanganmu untuk menggapai tangan anak-anak yang ada di tepi tebing yang rapuh itu ?”
Dalam misiologi, ada istilah Jendela 10/40. Apa artinya ? Fokus misi terletak di bagian bumi 10o Lintang Utara sampai 40o Lintang utara, mulai dari Afrika sampai ke Asia. Tempat-tempat 10/40 adalah tempat hampir semua suku yang belum terjamah, terbentang 89 % orang yang paling miskin di seluruh dunia, terkumpulnya agama-agama terbesar di dunia, dengan 50 kota metropolis yang tidak mengenal Kristus. Dan tahukah kita, bahwa setiap hari, Tuhan Yesus terus membangkitkan para pelayan anak-anak, dari hari ke hari, untuk menjangkau anak-anak yang terhilang ini di seluruh dunia. Doakanlah para pelayan anak, sebab inilah pelayanan yang disebut pelayanan tanpa ucapan terima kasih, pelayanan tanpa penghargaan, dan pelayanan dalam pengabdian. Seperti ketika Tuhan memanggil Musa dan dia menjawab “Allah memanggil dia … dan ia menjawab, Ini aku (Kel 3:4 – NKJV).
Why me ? Tuhan bisa memakai malaikat (seperti untuk Maria), atau keledai (Seperti untuk Bileam). Dia bisa pakai burung, manna, batu, tongkat (untuk orang pilihan-Nya), tapi anehnya, Tuhan malah memilih kita. Dia mau memakai kita semua. Mengapa ? Dia mau kita menerima upah di Surga yang mulia. Dia menyediakan mahkota untuk salib yang dipikulkan bagi-Nya. Opendoors mencatat bahwa setiap tahun, ada 160.000 orang di 50 negara yang rela memberikan nyawa mereka, mati untuk Injil, yang bersedia membayar harga untuk memikul Salib Kristus, demi menghapus air mata Kristus bagi mereka yang terhilang. “…mereka sangat gembira, karena mereka telah dianggap layak untuk menderita penghinaan oleh karena nama Yesus. Dan setiap hari mereka melanjutkan pengajaran mereka di Bait Allah dan di rumah-rumah orang dan memberitakan Injil tentang Yesus yang adalah Mesias”. (Kis 5:41-42)
Penutup: Sebuah doa untuk anak-anak
Amy Carmichael adalah seorang sederhana yang menyerahkan hidupnya untuk membalut luka dan kesedihan anak-anak terbuang di India dengan kasih Allah. Dalam pergumulannya yang mendalam mengenai anak-anak, Amy menulis sebuah doa yang benar-benar menggugah hati saya. Inilah doanya: “Bapa, dengar doa kami. Dengar seruan hati kami berkata, Kami berdoa untuk anak-anak kami. Lindungilah mereka dari kuasa si jahat, Yang tersembunyi dan membahayakan, Bapa, dengarkanlah kami demi anak-anak kami. Dari pusaran air yang mengisap mereka, Dari cidera pasir yang menghanyutkan, tariklah mereka, Bapa, dengarkanlah kami, demi anak-anak kami.Dari orang-orang duniawi yang kesukaannya hampa, Dari sengat kesusahan yang tidak setia. Bapa, Bapa, lindungi anak-anak kami. Pimpin mereka melalui kesulitan hidup, Angkatlah hati mereka melalui pergumulan hidup yang pahit, Bapa, Bapa, dekatlah dengan mereka. Dan kemanapun mereka pergi, Pimpin mereka pulang pada waktu senja”.
Betapa indahnya saat kita menyadari bahwa Tuhan mau memakai kita untuk menjadi TANGAN-TANGAN yang terulur untuk membalut luka dan menyeka air mata anak-anak, serta membawa berita kesukaan yang membawa anak-anak yang berharga ini kembali tersenyum dan tertawa bahagia. “…supaya penuhlah sukacita-KU di dalam diri mereka” (Yoh 17:13). Anak-anak tertawa lagi. Hore…mereka tertawa lagi !!! What a wonderful moment, right ? Tuhan Yesus sungguh-sungguh mencintai anak-anak. Let us ON FIRE FOR THE KING, WITH PASSION FOR THE LOST. (RT07)
No comments:
Post a Comment